“Soal Natuna kita cool saja, Cina itu negara sahabat.”
Itu bukan media yang bilang, tapi pemerintah. Melalui Menhan, Prabowo Subianto. Lebih kurang begitu pesannya.
Apa yang diucapkan oleh seorang menteri, saya kira sudah terkoordinasi dengan presiden. Tak mudah bagi Prabowo untuk mengambil sikap sendiri, tanpa persetujuan presiden. Apalagi doi terbilang orang baru di kabinet ini. Meskipun kedekatan Prabowo dengan PDI-P dan Ibu Mega bukan hal baru. Akan tetapi dalam konteks kerjasama di kabinet, Prabowo baru. Lagipula ini koordinasi antar anggota kabinet, bukan antar ketua partai.
Dan… ucapan adalah bagian dari sikap politik. Ucapan menteri bisa juga ditafsirkan sebagai sikap politik pemerintah.
Gaya cool Prabowo memang harus dimunculkan. Pertama, agar irama permainan pemerintah RI sesuai dengan cara Pak Jokowi yang tenang dan tak mudah terprovokasi. Sangat kontras dan tidak elok dilihat kalau (misalnya) Prabowo lebih agresif-provoktif dalam masalah ini. Sementara Pak Jokowi kalem-kalem saja. Yang ada malah aneh, kan?
Kedua, gaya cool ini bukti bahwa Prabowo sudah berpengalaman mengatasi konflik yang berpotensi perang. Dari pengalamannya di dunia militer, saya kira Prabowo memang harus menunjukkan sikap berbeda dibanding para politisi lainnya. Kalau sama saja, meledak-ledak, condong amarah, justru itu bukan sikap seorang mantan Danjen Kopassus. Apa bedanya dengan netizen kardus yang berkeliaran di mana-mana itu? Dan tak usah jugalah dibanding-bandingkan dengan sikap Mahfud MD atau Susi Pudjiastuti. Mereka jelas beda kalkulasi.
Sikap ini tampaknya pengamalan filosofi perang Cina, the Art of War-nya Sun Tzu: Seni tertinggi perang adalah menaklukkan musuh tanpa pertempuran.
Sehingga, wajar kalau Prabowo cenderung defensif. Ngobrol baik-baik dengan musuh, tanpa harus perang itulah yang ingin dilakukan Prabowo. Negosiasi akan mengantarkan RI-RRC pada titik temu yang menguntungkan keduanya. Apalagi Cina adalah salah satu mitra strategis pemerintah RI saat ini. Kalau bisa diselesaikan dengan ngobrol kenapa mesti ribut-ribut? Berunding dengan Cina juga membuat sumber daya militer tidak terkuras.
Tidak ada contoh dari negara-negara yang memperoleh manfaat dari perang berkepanjangan—begitulah dalam the Art of War.
Stephen R. Covey dalam bukunya yang berjudul the 3rd Alternative, memberikan pandangan serupa soal ini. Menurutnya, konflik yang terjadi antar individu hingga persoalan negara, haruslah dimulai dari keinginan antar pihak untuk saling mendengarkan. Lebih lanjut, sikap ini akan menjelma saling bekerja-sama agar sama-sama mendapatkan keuntungan. Kata Covey, bekerjasama untuk saling mendapatkan untung adalah level tertinggi dari dialog.
Selama ini, dalam penyelesaian konflik kita terjebak dalam dua level resolusi. Pertama, win-lose solution. Di mana salah satu pihak menang, pihak lain kalah. Kedua, win-win solution. Di mana setiap pihak “merasa” mendapatkan hasil terbaik dari hasil perundingan. Tapi sayangnya, bantah Covey dalam tafsiran pribadi saya, win-win solution hanyalah kamuflase dari lose-lose solution, sebab kedua belah pihak terpaksa mengalah satu sama lain agar tidak terjadi konflik berkepanjangan.
Itulah kenapa? alternatif ketiga harus dimunculkan. Yaitu ketika kedua belah pihak tak hanya merasa menang atau mengalah demi perdamaian. Tapi dapat mengambil “keuntungan lebih” dari penyelesaian konflik antar keduanya. Toh, bukankah RI dan Cina sudah lama bekerjasama demi keuntungan satu sama lain? Kenapa tidak diterapkan juga untuk masalah Natuna? Perkara keuntungannya apa saja, yah coba tanya mereka, kan mereka yang sudah berpengalaman kerjasama dengan Negeri Tirai Bambu itu?
Ketiga, publik memang harus dididik oleh pemimpinnya. Salah satunya dengan bijak dalam merespons konflik dengan negara lain. Mantan Capres 2014 dan 2019 ini sepertinya ingin menakar public mood agar riak-riak tak menjadi gelombang yang kontraproduktif. Berisik-berisik di medsos memang tak bisa dihindarkan, tapi setidaknya ia ingin memberi contoh, “Begini lho cara merespon konflik.”
Di era masyarakat digital ini, salah satu keterampilan yang harus diperhatikan oleh netizen ialah contingency management skills, salah satunya cara merespons suatu peristiwa. Di tengah-tengah provokasi dan konflik yang kerap terjadi selama ini, harusnya skill ini diajarkannya di sekolah-sekolah dan pendidikan informal.
Bukankah konflik horizontal yang kerap terjadi selama ini lebih banyak digiring oleh kesalahan kita dalam merespons? Renungkan lagi! Itu semua karena kita gampang diprovokasi! Drama, drama, drama!
Nah, di sinilah saya lihat pentingnya para pemimpin negara menunjukkan sikap yang bijak dan logis dalam merespons konflik. Agar masyarakat bisa mencontoh. Bukan malah memprovokasi publik macam buzzer politik bayaran itu.
Keempat, sikap “melembut” ala Prabowo ini bisa saja hanyalah sebuah ilusi di tengah kabut. Sebagaimana Sun Tzu mengatakan, biarkan rencana Anda menjadi gelap dan tak tertembus seperti malam. Dan ketika Anda bergerak, jatuh seperti petir.
Mem-blur-kan strategi adalah bagian dari seni tempur yang lazim diterapkan. Dengan bersikap “nggak jelas” begini, musuh akan kesulitan menakar “mental imagery” dari pemerintah RI dan segenap masyarakat Indonesia yang ia wakili. Beragam noise yang terjadi di pinggiran tak bisa dijadikan patokan untuk melihat bagaimana Indonesia bersikap. Ini membuat Cina akhirnya lebih berhati-hati kalau mau cari gara-gara.
Jadi, begini, Netizen. Kita tak perlulah mencak-mencak dalam merespons konflik Natuna ini. Marah boleh. Tapi kelola dengan bijak kemarahan itu. Tetap logis. Santuy. Bukankah kita dikenal sebagai warganegara yang santuy? Biarkan para buzzer kecapekan ngomporin kita.
Kritik boleh. Tapi lihatlah dari worldview yang lebih luas. Sebab, politik yang yang kita lihat ini, kadangkala lebih banyak terlihat di satu sudut, lalu melupakan sudut lain dan kedalaman permukaannya.
Terakhir, secanggih apa pun strategi perang Prabowo, tak lebih hebat dari strategi-nya Jokowi. Toh, Jokowi sudah menang dua kali melawan Prabowo, kok.
BACA JUGA Sengketa Natuna dan Alasan Prabowo dan Luhut Bersikap Lunak atau tulisan Ahmad Risani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.