Draft RUU KUHP terbaru memuat hukuman penghinaan terhadap martabat presiden. Bagi pelaku penghinaan dikenai ancaman 3,5 tahun penjara. Banyak reaksi terhadap kabar terbaru ini, rata-rata memberikan reaksi negatif, terutama hal ini membuat banyak orang merasa demokrasi dikebiri. Rasa-rasanya, negara ini makin menuju era kegelapan. Tak kaget kalau suatu saat kita akan ditangkap karena punya nalar yang logis.
RUU KUHP tersebut menegaskan bahwa aturan ini termasuk delik aduan. Yang berarti, presiden dan wapres harus melapor jika ada ujaran yang memuat penghinaan terhadap presiden. Melihat tugas presiden dan wapres yang begitu banyak, sepertinya aturan ini pada akhirnya akan jadi aturan yang muspro.
Namun, selain aturan ini muspro alias sia-sia, saya melihat ada hal lain, yaitu aturan ini justru merugikan untuk presiden dan wapres karena tidak ada kritik untuk memberi kontrol terhadap kebijakannya.
Sebelum terlalu jauh, pasti kalian protes kok saya ngomongin kritik, padahal aturannya saja menyebutkan bahwa ini menyangkut penghinaan terhadap martabat presiden. Jelas-jelas dua hal tersebut berbeda. Begitu, kan?
Masalahnya, sekarang kritik sering diplintir jadi hinaan. Orang memberi kritik yang terstruktur dan berbasis pada kenyataan bisa dipenjara karena dianggap menghina. Aturan tersebut punya potensi untuk membungkan kritik-kritik, dengan memelintirnya jadi hinaan. Contoh sudah banyak, nggak perlu saya tulis di sini. Mau kritik itu terstruktur dan memuat banyak hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut, kalau sudah diplintir ya dianggaplah kritikan tersebut sebagai hinaan. Maka, dalam artikel ini, yang ditekankan adalah usaha untuk melindungi hak menyampaikan suara, kritik termasuk.
Lanjut.
Kritikan adalah pengingat di kala kita melenceng dari jalur. Kritikan yang muncul di evaluasi acara, meski jadi beban tambahan di pundak di kala letih, adalah hal yang berharga. Kita tidak bisa memutar waktu, dan kritik adalah modal bagus untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik. Dan Pak Jokowi harusnya tahu betapa pentingnya kritik.
Namun, ketika aturan ini muncul, hal itu bikin Pak Jokowi rugi. Risikonya adalah tidak ada kontrol terhadap kebijakannya. Kalau bagus, nggak masalah, lha kalau jelek?
Ruginya itu begini. Kalau Pak Jokowi tidak ada yang mengkritik, produk dari kebijakan yang dia buat nggak bisa dikontrol kualitasnya. Jika kualitas tak bisa dikontrol, produk yang dihasilkan pasti buruk. Setidaknya, risiko produk cacat jauh lebih besar ketimbang yang terkontrol. Ini logika paling dasar.
Yang mengalami kerugian dari produk-produk cacat tersebut ya rakyat. Saya (masih) yakin kalau Pak Jokowi nggak pengin juga liat rakyatnya sengsara. Kalau manusia masih punya nurani, melihat manusia sengsara pasti akan bikin hatinya kecewa.
Selain itu, kerugian yang diterima Pak Jokowi—selain tiadanya kontrol—adalah hal itu bikin blio terlihat kayak orang gabut.
Begini loh, presiden kan orang yang sibuk. Ya blio—layaknya manusia biasa—juga main medsos, tapi nggak akan menghabiskan banyak waktu juga. Andai ada yang menghina dia, dia harus lapor sendiri. Terus menghadiri sidang hingga perkara tersebut selesai. Waktu yang dibutuhkan pastilah tidak sedikit.
Padahal, banyak yang harus blio selesaikan. Seperti mengawasi pembangunan proyek di daerah tertentu, atau blusukan ke daerah tertentu, atau rapat dengan petinggi negara yang lainnya. Tugas presiden udah banyak, ngurusin penghinaan terhadap martabat presiden hanya jadi beban tambahan yang nggak perlu.
Lagian, sekelas presiden ngurusin orang-orang yang tidak signifikan di media sosial buat apa coba? Orang sekelas presiden udah nggak ngurusin mulut-mulut jahat netizen. Pak Jokowi ya mestinya tahu bahwa cocot orang Indonesia ini kalau udah ngejek orang jahatnya minta ampun. Tetangga sendiri yang hidup berdampingan selama belasan tahun saja bisa nyocot sing jahatnya nggak kaleng-kaleng. Kadar jahatnya bisa sama kayak pemeran antagonis sinetron Indosiar.
Maka dari itu, pasal penghinaan terhadap martabat presiden sebenarnya justru merugikan Pak Jokowi dan wakilnya. Sebab, selain itu bikin mereka tak lagi diingatkan oleh juragan mereka sebenarnya, yaitu rakyat, juga bikin mereka dapat kerjaan yang bener-bener nggak penting.
Tapi, jujur saja saya punya asumsi waton. Pasal ini muncul bukan untuk menjaga martabat kepala negara, namun memberi ruang untuk kepala negara agar bertindak gegabah dan bikin reputasinya turun.
Kalau iya, plot twist banget. Tapi, kalau beneran, ya nggak kaget juga.
BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan artikel Rizky Prasetya lainnya.