Asma timur (nama kecil) Pangeran Diponegoro (1785-1855) adalah Raden Mas Mustahar. Ia lahir pada Jumat Wage, 11 November 1785, menjelang fajar.
Saat masih bayi merah, Sri Sultan Hamengkubuwono I telah berfirasat cicitnya itu kelak akan membuat Belanda kalang kabut. Belanda akan dibuat porak-poranda oleh putra Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro (kelak Sri Sultan HB III) dan Raden Ayu Mangkorowati tersebut.
Sri Sultan HB I langsung memberikan amanah kepada sang permaisuri, Ratu Ageng, untuk turut mengasuh dan membimbing Raden Mas Mustahar. Di keputren, Raden Mas Mustahar di-emong bersama sang ibunda dengan pantauan Sri Sultan HB I dan ayahnya.
Ketika Sri Sultan HB I wafat pada 1792, Ratu Ageng membawa Raden Mas Mustahar yang berusia tujuh tahun ke sebuah daerah yang terletak tiga kilometer arah barat laut keraton. Sembari membuka lahan pertanian, Ratu Ageng juga memperkuat basis keagamaan di daerah ini. Daerah ini berdekatan dengan empat pathok nagari, yakni Kasongan, Dongkelan, Papringan, dan Mlangi.
Hasil pertanian garapan Ratu Ageng melimpah, bahkan diekspor ke luar Jawa. Saking makmurnya, daerah yang dikelola Ratu Ageng ini disebut Tegalrejo, artinya lahan kemakmuran. Setelah Ratu Ageng wafat pada tahun 1803, Raden Mas Mustahar menjadi satu-satunya ahli waris.
Masa kanak-kanak yang dilalui di keraton dan Tegalrejo menempa kepribadian, watak, dan keilmuan Raden Mas Mustahar. Dia termasuk pembaca ulung. Kitab-kitab Islam dan Jawa suntuk dikaji, seperti Al-Qur’an, At-Tuhfah, Nasihatul Muluk, Arjuna Wijaya, Babad Majapahit, Babad Mataram, dan beberapa kitab lain yang telah disebutkan sejarawan.
Menjelang usia 20 tahun, tepatnya 3 September 1805, Raden Mas Mustahar memperoleh nama dewasa Raden Ontowiryo. Saat dewasa ini dia terus menggembleng diri, melakukan olah spiritual dan hidup prihatin. Bahkan pada usia 20 tahun menurut kalender Jawa, Raden Ontowiryo sudah memulai pengembaraan. Namanya diubah menjadi Syekh Ngabdurahim agar tidak dikenali orang. Penampilannya juga diubah, termasuk memakai pakaian rakyat jelata.
Peter Carey memaparkan secara rinci pengembaraan Pangeran Diponegoro. Riset Babad Diponegoro dituangkan sejarawan asal Inggris itu dalam bukunya yang berjudul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
Dalam babadnya, Pangeran Diponegoro bercerita, saat itu dia berkelana dari pesantren ke pesantren dan dari masjid ke masjid. Makan dan tidur berbarengan dengan para santri di tempat yang dia singgahi. Setelah perjalanan ke berbagai pesantren itu, Raden Ontowiryo melakukan uzlah, yaitu menyendiri dan menyepi di tempat-tempat keramat. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gua Song Kamal.
Di Gua Song Kamal, Raden Ontowiryo mendapat penampakan seorang laki-laki yang wajahnya bersinar. Kemungkinan Sunan Kalijaga. Penampakan itu berkata bahwa Raden Ontowiryo akan menjadi pemimpin di kemudian hari. Setelah dari Gua Song Kamal, Raden Ontowiryo berjalan menuju Imogiri. Di sini, dia menziarahi makam para leluhur. Selain itu, dia bertafakur di Bengkung. Konon, Bengkung adalah tempat spesial Sultan Agung kala menyepi.
Sepekan di Imogiri, Raden Ontowiryo menapaki jalan ke Pantai Selatan. Sampai di Gua Siluman, dia menginap semalam. Tempat yang dituju selanjutnya adalah Gua Surocolo atau disebut Gua Sigolo-golo yang terletak di sisi kiri Kali Opak. Raden Ontowiryo berada di gua ini selama dua hari.
Hari berikutnya, Raden Ontowiryo menyusuri jalan berliku ke Gua Langse. Di gua ini selama dua pekan, Ratu Kidul sempat muncul, namun tak mau mengganggu Raden Ontowiryo yang sedang fokus bertapa. Usai dari Gua Langse, dia menyusuri pantai menuju Parangtritis dan Parangkusumo. Di Parangkusumo, saat sedang beristirahat, Raden Ontowiryo mendengar suara gaib agar dirinya mengubah nama menjadi Ngabdulkamid.
Sebelum suara gaib itu hilang, terdengar ucapan, “Tidak ada yang lain, engkau hanyalah sarana, tetapi takkan lama, hanya agar sejajar di antara para leluhur.” Nama Ngabdulkamid digunakan Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa sampai akhir hayatnya. Kejadian di Parangkusumo senantiasa terpatri di benak Raden Ontowiryo karena saat itu ada kilatan cahaya menerpa dirinya, yang ternyata adalah anak panah. Mata panah ini bernama Sarutomo.
Setelah dari Parangkusumo, Raden Ontowiryo berjalan melewati Sawangan di muara Kali Opak, lalu melanjutkan perjalanan ke Lipuro dan menyambangi Selo Gilang. Selo Gilang termasuk keramat yang konon merupakan sebongkah meteor yang jatuh ke bumi, yang dahulu pernah menjadi tempat istirahat Panembahan Senopati. Setelah semalaman di Selo Gilang, Raden Ontowiryo berjalan menuju Gua Secang di Selarong, lantas kembali ke Tegalrejo.
Sesampainya di Tegalrejo, anak panah Sarutomo yang dia peroleh di Parangkusumo dijadikan cundrik atau sebuah belati kecil. Sekitar tahun 1827, belati kecil itu dilebur bersama dua senjata pusaka lain menjadi satu keris dan diberi nama Kiai Ageng Bondoyudo. Dalam babadnya, Diponegoro berkata bahwa keris itu yang dia bawa saat Perang Jawa. Sejarah menerangkan, keris pusaka Kiai Ageng Bondoyudo ikut dimakamkan bersama Diponegoro saat wafat di Makassar.
Sejak dari pengembaraan di tempat-tempat keramat, Raden Ontowiryo terus mengolah tanah dan mengembangkan keagamaan di Tegalrejo. Dia bolak-balik antara keraton dan Tegalrejo karena juga menjadi anak kesayangan dan orang kepercayaan ayahnya. Dia juga membangun tempat menyepi di timur laut Tegalrejo, yakni di Selorejo. Selain di Tegalrejo, Raden Ontowiryo juga membuka lahan pertanian dan perkebunan di Selarong. Di tempat ini, dia memiliki tempat menyepi di Gua Secang.
Berdasarkan catatan Peter Carey, sebelum Perang Jawa benar-benar pecah, Diponegoro mendapatkan penampakan lagi. Pada 21 Ramadan tahun 1751 Jawa (19 Mei 1824), dalam kesendirian di Goa Secang Diponegoro dalam kondisi setengah sadar didatangi seseorang. Seseorang itu mengajaknya berjalan ke arah tenggara menuju puncak sebuah gunung. Diponegoro akhirnya tiba di puncak gunung itu, yang bernama Gunung Rosomuni. Di puncak gunung, Diponegoro melihat sosok yang memperkenalkan diri sebagai Ratu Adil.
Dalam babadnya, Diponegoro menceritakan bahwa sosok itu binarnya mengalahkan mentari dan menghadap ke arah barat laut. Sosok yang mengaku Ratu Adil itu berkata, “Ing Jawa rebuten mangko/lamun ana wong iku/atetakon marang sireki/nuwalanira Kur’an/kon goleki iku.” Artinya, ‘Jawa segeralah kau rebut. Jika ada orang bertanya mengenai amanatmu, itulah Al-Qur’an. Perintahkan mereka mencarinya di Al-Qur’an.”
Diponegoro diminta sosok itu untuk berperang, namun dia mengaku tak bisa bertempur dan tak tahan kalau melihat kematian, “Amba nuhun sampun tan kuwawa jurit/lawan tan saged ika/aningali dhumateng pepati.” Sosok itu pun menjawab, ”Wis dadi karsaning Sukma/Tanah Jawa pinasthi marang Hyang Widi/kang dhuwe lakon sira.” Artinya, ‘Sudah menjadi kehendak Tuhan, Jawa sudah ditentukan-Nya, yang akan menjalankan peran adalah dirimu.’
Diponegoro mengaku tak bisa bertempur sepertinya basa-basi semata. Perang Jawa sebenarnya sudah dipersiapkan sejak lama, sebab Diponegoro siap dengan pasukan bersenjata di berbagai daerah. Belanda malah harus menyusun strategi yang belum pernah diterapkan dalam perang mana pun, yakni Benteng Stelsel. Tak mudah mengalahkan pasukan Diponegoro. Belanda pun dibuat bangkrut total selama lima tahun perang.
Yang jelas, dari penampakan sosok yang menyebut dirinya sebagai Ratu Adil itu kemungkinan besar Diponegoro memiliki pemahaman terhadap kehadirannya. Penampakan ini juga menguatkannya untuk melawan Belanda dengan jalan angkat senjata.
Entah siapa sosok yang menyebut dirinya Ratu Adil itu, Gunung Rosomuni mempunyai kaitan dengan Sultan Agung di masa silam. Bahkan, Sultan Agung membuat danau di sekitar Gunung Rosomuni dengan membendung Kali Opak. Setelah sosok itu menghilang, Diponegoro serta-merta juga berdiri seperti berdirinya sosok itu menghadap barat laut.
Sekitar awal tahun 1825, suara gaib juga didengar Diponegoro saat berada di Gua Secang bahwa dia dianugerahi gelar oleh Yang Maha Kuasa, yakni Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayyidin Panatagama di Jawa, Khalifah Rasulullah. Gelar ini dipakai Diponegoro saat berlangsung Perang Jawa.
Sebelum Perang Jawa benar-benar pecah, dia mendapatkan penampakan lagi. Pada 27 Ramadan tahun 1752 Jawa (16 Mei 1825 Masehi), dia didatangi delapan orang yang membawa surat. Bersama Diponegoro, delapan orang itu mengumandangkan takbir. Pangeran Diponegoro dalam babadnya tak menjelaskan isi surat itu.
Pengembaraan spiritual Diponegoro saat usianya 20 tahun dan menjelang Perang Jawa menguatkan tekad dan batinnya. Ketika pada 20 Juli 1825, Tegalrejo terkepung Belanda, Diponegoro mengenakan pakaian serbaputih lalu menunggang seekor kuda hitam bernama Kiai Getayu menuju ke arah barat. Sebelum tiba di Selarong pada 21 Juli 1825, dia melintasi Sentolo dan sempat singgah untuk salat Magrib. Dari Selarong, Perang Jawa terus berkobar selama lima tahun. Perang yang membuat Belanda kewalahan.
Menurut Peter Carey, Diponegoro adalah sang putra fajar yang telah difirasatkan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan HB I) akan mengobarkan perang akbar. Perang yang akan mendatangkan kerusakan hebat pada pihak Belanda, melebihi yang dilakukan pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat Perang Giyanti (1746-1755).
Pangeran Diponegoro menggenapkan nubuat Sultan Agung bahwa Belanda akan berkuasa selama 300 tahun setelah wafatnya pada tahun 1646 dan salah satu keturunannya akan melakukan perlawanan dahsyat. Sebagaimana penampakan di Parangkusumo, Pangeran Diponegoro telah berhasil disejajarkan dengan leluhur. Wallahua’lam.
Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh via Wikimedia Commons
BACA JUGA Menelusuri Asal Usul Nama Malioboro, Ikon Kota Jogja dan artikel Hendra Sugiantoro lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.