Sebelum berangkat ke Jeddah, saya bisa melihat kegundahan saudara-saudara dan teman-teman saya tentang bagaimana saya akan menjalani hidup di sana, tempat tinggal, untuk makan dan hal lainnya. Bahkan ada yang memberikan pendapat dan gambaran mereka bagaimana kehidupan di Arab Saudi itu.
Baik itu dari kenalan saya yang sudah pernah ke Jeddah atau kota lain di Arab Saudi atau dari kenalan yang tahu dari berita melalui WhatsApp atau desas desus tetangga. Ada yang positif, tapi lebih banyak yang negatif.
Karena saya belum pernah ke Arab Saudi, semua yang saya dengar itu tidak terlalu saya anggap serius dan saya jadikan sebagai penambah ilmu. Malah saya merasa sangat diperhatikan. Wajar saja mereka khawatir, ini bukan sekedar merantau beda kota namun beda negara.
Sesampainya di sini, perlahan lahan saya beradaptasi dan satu persatu saya tau apa perbedaannya tinggal di Jeddah dan di Indonesia. Di sini, saya akan beri beberapa hal yang saya tahu setelah saya hidup di Jeddah.
Harga kuota internet yang bikin galau
Pertama kali datang ke sini salah satu hal yang berbeda dan membuat saya kaget adalah harga kuota internet. Bukannya lebay, membeli paket internet di sini memang bikin galau. Sebelum memilih paketan yang mana, saya harus menghela nafas panjang dulu. Ini dikarenakan di tempat tinggal saya tidak diperbolehkan memasang layanan internet rumah seperti IndiHome.
Berdasarkan provider yang saya gunakan, pilihan paket internet di sini berkisar dari 165sar atau sekitar 600 ribu rupiah untuk 10GB hingga 450sar atau sekitar 1,7 juta rupiah untuk 300GB. Dua pilihan ini masa aktifnya untuk tiga bulan. Terkadang ada promo-promo yang menguntungkan seperti plus unlimited media sosial atau 300GB free 300GB.
Dengan kata lain, beli lebih banyak kuota untungnya juga lebih. Namun mengeluarkan uang dengan jumlah segitu setiap kali isi ulang kuota internet tetap membuat saya antara ikhlas nggak ikhlas. Terlebih di masa pandemi ini penggunaan kuota internet melonjak drastis untuk video call bersama teman atau menonton drama korea kecintaan, kadang belum sampai tiga bulan kuota udah habis.
Sorry! Closed for prayer
Mungkin Arab Saudi adalah satu satu negara Islam yang memberlakukan istirahat atau tutup sementara ketika waktu shalat lima waktu. Baik itu toko-toko, restoran, pom bensin hingga di mall-mall pun ketika waktu shalat mereka pasti menutup sementara pelayanannya sekitar 15-20 menit.
Di sini kita bisa shalat di mana saja. Maksudnya bukan literally dimana saja tapi tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu di sini tidak terbatas. Contohnya kalau di mall-mall di Jakarta kita biasanya shalat di musholla yang disediakan, kalau disini di mall nya tidak ada musholla karena kita bisa shalat di depan toko-toko yang juga tutup ketika shalat
Di pusat perbelanjaan pun kita juga bisa melihat pemandangan orang-orang shalat berjamaah ketika waktu shalat datang. Mereka akan berbondong-bondong menutup toko mereka dan menggelar sajadah untuk shalat berjamaah.
Keuntungan memakai abaya
Kalau di Jakarta kita para perempuan biasanya musti bawa mukenah untuk shalat, bedanya di sini kita tidak perlu bawa-bawa mukenah kalau nge-mall. Di tulisan sebelumnya saya bilang saya tetap mengenakan abaya atau baju gamis panjang ketika keluar rumah walaupun sudah tidak diwajibkan untuk ekspatriat atau pendatang.
Selain tujuannya untuk kenyamanan sendiri juga untuk kemudahan kalau ingin shalat. Di sini, untuk perempuan, kalau waktu shalat tiba, kita tinggal ambil wudhu, memasang hijab dan mencari tempat shalat yang di rasa wajar. Ya bukan di tengah jalan juga. Biasanya itu kalau di mall-mall kita bisa shalat di samping atau di depan toko yang juga tutup kalau waktu shalat. Tapi pastikan seluruh aurat tertutup, jadi lebih gampang gitu lho hehehe.
Masakan Indonesia
Kak, di sana makannya nasi briyani terus ya? Kebab mulu ya? Kalau kangen sambel terasi gimana dong kak? Pertanyaan seperti ini pernah saya dapatkan dari beberapa teman saya. Jangan sedih teman-teman, di sini ada dua pilihan kalau sedang rindu masakan tanah air.
Satu, makan di restoran Indonesia. Ada beberapa tempat makan khas masakan Indonesia yang terkenal di sini. Sekitar 15 menit dengan taksi dari tempat tinggal saya. Menunya sangat beragam dan lumayan mengobati rindu, seperti bakso, mie ayam, sate, siomay, pempek, cendol, dan lainnya. Dan tentu dengan harga dua kali lipat dengan harga di Indonesia.
Pilihan kedua, masak sendiri. Selain ada restoran indonesia, di sini juga ada toko kelontong Indonesia yang menjual tempe, tahu, tolak angin, bakso, sayur kangkung, terasi, rawit, sereh, lengkuas, dan lain-lain. Tidak bisa dimungkiri, selama tinggal di sini kemampuan memasak saya meningkat karena kalau kangen ini itu ya harus bisa masak sendiri.
Kangen ngomong bahasa Indonesia
Selain perut kenyang, makan di restoran Indonesia juga mengobati kangen saya ngomong bahasa Indonesia. Bukan berarti saya di sini tidak ngobrol bahasa Indonesia. Teman satu rumah saya orang Indonesia juga kok. Maksud saya, suasana makan di restoran Indonesia dan bertemu dengan orang Indonesia lainnya itu beda lah, bikin pengen pulang.
Apalagi sering bertemu dengan jamaah dari Indonesia yang biasanya makan dan berbelanja di Jeddah sebelum balik ke tanah air. Jadi biasanya bisa ngobrol sebentar dan tak jarang ternyata sama sama dari Padang, saya makin senang lah bisa berbahasa Minang.
Begitulah secuil gambaran bagaimana rasanya tinggal di Jeddah, Arab Saudi. Sebenarnya masih banyak hal yang membuat tinggal di Jeddah sangat berbeda dengan di Indonesia. Tapi yang ingin saya bilang, tinggal di Jeddah tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
BACA JUGA Melarikan Diri dari Arab yang Gersang dengan Dianxi Xiaoge dan tulisan Latifa Ibrya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.