Selama ini, problematika dalam dunia perkampusan nggak melulu soal mata kuliah, nilai, ujian, organisasi ataupun kisah romansa sesama mahasiswa. Ada banyak problem lain, tapi yang paling menyebalkan bagi saya adalah masalah aturan berkirim chat ke dosen.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berkirim pesan ke dosen itu ribetnya ngalahin persiapan agustusan di RT. Ada banyak hal yang harus disiapkan dan perlu kehati-hatian yang tinggi sebelum benar-benar menekan tanda “kirim”. Saking ribetnya, beberapa kampus bahkan merasa perlu untuk mencetak banner besar-besar dan dipasang di tiap sudut kampus. Tujuannya sungguhlah mulia, agar para mahasiswa selalu tahu adab dan etika dalam berkirim chat ke dosen.
Di kampus saya yang dulu, terdapat lima langkah sebelum chat benar-benar boleh dikirimkan ke dosen.
Pertama, tuliskan salam di awal. Salam bisa apa saja, berbasis agama seperti Assalamualaikum ataupun yang netral seperti selamat pagi, siang, sore, dll. Pokoknya, sampaikan salam dahulu.
Kedua, memohon maaf. Awalnya, saya nggak ngeh mengapa harus meminta maaf. Lah, salah saya apa? Tapi, kata para senior, mengirim chat pada dosen saja sebenarnya adalah sebuah kesalahan karena sudah berniat untuk mengganggu waktu si dosen. Makanya, perlu memulainya dengan kalimat basa-basi: mohon maaf mengganggu waktunya ya, Pak.
Ketiga, perkenalkan identitas diri. Ini bagian yang paling penting. Pasalnya, si dosen bisa saja nanti melakukan cek ulang saat sudah di kelas. Dan, nama yang tertera dalam chat tersebutlah yang biasanya ditandai. Makanya, penting untuk menulis nama dengan jelas dan lengkap.
Keempat, bagian paling inti yaitu menyebutkan kepentingan. Menyebutkannya pun nggak langsung grudukan dan to the point, melainkan perlu dijelaskan secara singkat dan ringkas alasan yang melatarbelakangi keperluan tersebut. Pokoknya, gaya berkomunikasi sangat diperlukan di bagian ini. Dan, banyak sekali mahasiswa yang gagal dalam menyampaikan keinginannya secara lugas dan ringkas. Akibatnya, chat-nya justru malah berakhir diabaikan. Hehehe.
Kelima, sampaikan terima kasih. Usahakan juga penulisan terima kasihnya sesuai PUEBI, ya. Kata /terima/ dan /kasih/ dipisah, bukan digabung, lho~
Setelah semua keribetan dan persiapan yang telah dilakukan sesuai etika tersebut, apakah itu menjamin bahwa chat yang dikirimkan akan dibalas? Tentu saja nggak. Justru, malah banyak yang gagal dan berujung diabaikan. Kadang dibiarkan saja centang abu-abu berhari-hari, atau yang lebih nelangsa justru cuma di-read saja. Hiks.
Awalnya, saya masih berusaha berpikiran positif. Kali aja, beliau-beliau itu sedang sibuk. Makanya nggak sempat untuk sekadar ngecek chat WA. Mungkin juga karena saya mengirimkan chat di waktu beliau nggak pegang gawai. Atau, bisa jadi karena mereka sudah membaca chat-nya, tapi kelupaan yang mau dibalas. Ya, intinya saya nggak penting-penting amat bagi beliau.
Namun, lama-kelamaan justru pengabaian pesan tersebut membuat saya sedikit kesal. Cuma sedikiiiiiiiit lho, ya. Saya kemudian melakukan pengecekan kembali, apakah chat saya benar-benar terkirim? Apakah nomor kontaknya benar? Mungkinkah saya salah dalam step by step saat mengirimkan chat? Apakah Bapak dan Ibu dosen ini ganti nomor kontak dan nggak bilang-bilang pada saya?
Tapi nihil. Tetap saja saya merasa sudah memenuhi semua klasifikasi sebagai mahasiswa yang seharusnya chat-nya dibalas oleh beliau. Lantas, mengapa oh mengapa chat saya diabaikan?
Teman-teman saya yang lain juga banyak yang merasakan hal yang sama. Bahkan, ada seorang teman saya yang merasa selalu ketakutan tiap kali ingin chat dosen. Dia sampai harus konsultasi pada mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia untuk meminta tolong dalam penyusunan kalimat, dan juga melakukan pengecekan tiga kali sebelum chat-nya benar-benar dikirim. Namun, saat bertatap muka dengan dosennya di kelas, ia tetap saja kena sindir. Peristiwa tersebut tentu saja membuat ia dan teman-teman sekelasnya trauma.
Saya juga pernah merasakan hal serupa. Hampir setiap hari mengirimkan chat ke dosen untuk bertanya perihal jam bimbingan dan berakhir diabaikan. Setiap hari tanpa pernah mengenal lelah, saya selalu mengirimkan chat. Terakhir kali, chat saya justru malah cuma centang satu dan beliau ternyata memutuskan ganti nomor, hiks. Pedih sekali nasib skripsi saya.
Maka dengan berdasarkan pengalaman kepedihan dan traumatis yang saya dan teman-teman rasakan, saya mau usul sama Pak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia untuk membuat terobosan semacam aturan tertulis mengenai etika dosen dalam membalas chat mahasiswanya. Ya, biar seimbang saja. Jadi, nggak cuma mahasiswa yang harus mengirimkan chat dengan beradab pada dosen, tetapi dosen juga memiliki kewajiban dalam membalas chat mahasiswanya—apalagi kalau chat-nya sudah sesuai dengan aturan yang tertulis.
Mengapa aturan ini perlu? Ya karena mendapatkan balasan chat dari dosen itu sama pentingnya dengan mendapatkan balasan chat dari gebetan. Makanya, chat mahasiswa itu perlu dibalas, bukannya malah digantungin. Asal Pak Nadiem tahu, digantung itu sama sekali nggak enak. Apalagi digantung perkara jam berapa mahasiswa harus antre bimbingan. Capek lho, Pak.
Bisa dibayangkan, dulu setiap kali akan bimbingan, dosen pembimbing saya sama sekali nggak pernah membalas chat mahasiswanya. Mahasiswa bimbingannya juga nggak diberitahu kapan beliau mulai membuka jam bimbingan—hanya anak-anak tertentu saja yang tahu dan sayangnya mereka pelit banget sama informasi sepenting ini. Akhirnya, yang terjadi justru kami semua antre setiap pagi, setiap hari dan melewatkan jam-jam untuk rebahan, main game, hingga sarapan. Hish, kesel kan?
Makanya, saya mohon agar usulan saya dipertimbangkan ya, Pak. Dan kalau Bapak nggak keberatan, saya sekalian mau usul apa saja poin-poin yang dapat dimasukkan dalam aturan bagi dosen dalam membalas chat mahasiswa. Cuma sedikit kok, Pak. Nggak sebanyak aturan buat mahasiswa.
Pertama, dosen diharuskan untuk membalas chat mahasiswa yang sudah sesuai dengan kriteria dan etika dalam berkirim chat dan chat tersebut berada dalam rentang waktu antara pukul 7 pagi sampai pukul 8 malam. Selebihnya, Bapak dan Ibu dosen berhak untuk mengabaikan pesan si mahasiswa.
Kedua, memberikan konfirmasi jika terjadi perubahan jadwal. Ya kali, kalau sudah janjian untuk bimbingan pukul 8 pagi, lalu Bapak dan Ibu dosen tiba-tiba saja mager, nggak mood, dan malas ke kampus, mohon untuk konfirmasi ulang ya Pak, Buk. Jangan biarkan mahasiswa kalian ini menunggu. Capek lahir dan batin—ditambah lapar juga.
Sudah, saya cuma usul dua aturan di atas saja. Menurut saya, kedua aturan tersebut sudah merangkum semua keinginan mahasiswa. Mohon untuk dimaklumi juga bahwa mahasiswa juga sama sibuknya dengan dosen.
Kami sibuk untuk mengerjakan tugas kelompok—yang realitasnya justru dikerjakan sendirian, sibuk penelitian, memperbaiki nilai, baca jurnal, mencari referensi, main game, stalking gebetan, ngebucin dan kesibukan-kesibukan lainnya. Jadi, keseharian kami nggak cuma dihabiskan untuk menunggu balasan chat Bapak dan Ibu dosen saja. Harap dimaklumi.
BACA JUGA Dosen yang Mengagungkan Jurnal Ilmiah Itu Motivasinya Apa sih? atau tulisan Siti Halwah lainnya.