Kenapa kita, generasi muda, tidak bisa beli rumah?
Jika kalian bertanya pada orang sok keras, pasti yang disalahkan adalah gaya hidup. Entah hobi ngopi, healing, atau kegiatan yang dinilai foya-foya. Berbeda dengan orang tua kita yang selalu berhemat dan hidup sederhana. Tapi apa benar?
Sebelum makin terpuruk dan mengutuk, aku ingin buka mata kalian. Kita tidak bisa beli rumah bukan karena gaya hidup. Bukan juga karena tidak hidup sederhana. Tapi karena negara ini sudah bobrok. Lebih jauh lagi, kita tidak bisa beli rumah karena generasi sebelumnya merebut jatah!
Opini yang menyalahkan gaya hidup itu jelas tolol! Bukannya menunjuk masalah utama, malah menyederhanakan isu nasional dengan kopi dan healing. Masalah hunian adalah kanker yang dibiarkan menggerogoti negara bertahun-tahun. Lalu kita yang kena getahnya dan siap diamputasi sistem ekonomi!
Orang tua kita adalah generasi emas properti
Mungkin kita sering mendengar kisah perjuangan berat orang tua (Generasi X). Tapi konteksnya untuk memotivasi kita agar mau kerja keras. Ketika bicara kemampuan beli rumah, orang tua kita adalah generasi emas. Mereka hidup produktif di masa ketika beli rumah masih masuk akal.
Pertama, ketersediaan properti masih melimpah. Terutama dengan dorongan pembangunan Perumnas oleh pemerintah. Beberapa daerah yang kini jadi area pedestrian dulunya adalah tanah berharga amat murah. Sebagai contoh di Jogja, daerah Seturan yang kini mewah itu dulu adalah desa yang dikepung kebun tebu.
Kedua adalah sistem kredit rumah yang lebih ramah. Selain sistem bunga tetap, biaya DP masih terjangkau upah pada masa tersebut. Umumnya bunga KPR yang dirilis BTN adalah 5% dengan sistem flat. Ini membuat alokasi biaya hidup lebih tertata. Meskipun upah minimum nasional masih 40 ribu, dan rerata upah karyawan tetap adalah 100 ribu per bulan.
Harga rumah di masa itu juga tergolong masih masuk akal. Harga rumah yang ditetapkan pemerintah adalah 7 juta. Dengan upah 100 ribu dan cicilan 35% dari gaji, maka butuh 16 tahun untuk melunasi. Bandingkan sekarang, rata-rata rumah tipe 41-60 dihargai 300 juta. Dengan upah 4 juta dan skema cicilan sama, butuh 17 tahun untuk lunas.
Sebentar, kok mirip ya? Nah, inilah angka jebakan. Karena ada faktor lain yang membuat orang tua kita lebih bisa beli rumah.
Orang tua kita hidup di situasi indah, jadi bisa beli rumah
Beli rumah tidak pernah sederhana, karena ia melibatkan urusan biaya hidup kita. Berarti juga dipengaruhi situasi pekerjaan dan kehidupan sosial. Nah, orang tua kita ada pada masa yang lebih indah dari kita.
Pertama adalah sistem kerja yang lebih memberi keamanan. Sektor kerja formal lebih mudah diakses orang tua kita. Tentu berbeda dengan kita yang saat ini belum menemukan realisasi 19 juta lapangan kerja. Menjadi karyawan tetap di sektor formal tidak hanya memberi kepastian nafkah. Tapi mempermudah akses pinjaman ke bank.
Kelimpahan properti juga memberi kondisi indah. Apalagi untuk di daerah sekitar kota. Orang tua kita tidak berebut hunian, bahkan jika ikut program pemerintah. Dukungan program Tabanas (Tabungan Pembangunan Nasional) dan Taska bukan hanya pemanis. Tapi program serius dan memberi manfaat, meskipun pada akhirnya juga bobrok. Tapi masih lebih hebat daripada ide Tapera.
Model konsumsi dan kebutuhan hidup juga memberi ruang untuk menabung. Bukan karena tidak foya-foya, tapi memang harga kebutuhan hidup lebih terjangkau. Inflasi dari 1980 sampai 1995 selalu stabil di bawah 10%. Sistem pengeluaran juga lebih sederhana. Tentu berbeda dengan pengeluaran kita hari ini yang bisa 3-4 kali UMR. Bukan untuk foya-foya, tapi agar kerja lebih lancar dan waras.
Terakhir, dunia begitu ideal di masa itu hingga tidak melahirkan generasi roti lapis. Pengeluaran bulanan bisa difokuskan untuk keluarga sendiri. Sehingga masih ada sisa untuk tabungan dan membeli properti. Sialnya, mudahnya membeli properti akan menyumbang situasi rumit di generasi kita.
Hidup kita lebih rumit, dan negara bikin sulit
Apakah kita hidup di dunia yang sama dengan orang tua? Tentu saja. Tapi situasinya berbeda. Tidak ada lagi hidup yang sederhana. Menabung dan beli rumah bukan lagi sebuah hal lumrah. Tapi kemewahan yang tidak semua orang bisa rasakan.
Perkara kesenjangan properti saja sudah membuat sesak. Kini gaji kita sudah jutaan. Tapi harga properti juga naik ratusan juta. Seperti simulasi sebelumnya, selisih harga properti dan upah hari ini lebih lebih besar. Tapi jebakan tambahan kini membuat properti makin tidak terjangkau.
Selisih biaya hidup dan upah jelas berbeda. Generasi orang tua kita memiliki kebutuhan hidup lebih sederhana. Sedangkan kita memiliki pos pengeluaran baru yang sebelumnya tidak ada. Tapi jangan dikira ini foya-foya. Biaya sosial seperti ngopi dan healing bukan hanya konsumtif, tapi juga produktif. Baik membangun relasi ataupun meningkatkan motivasi kerja. Model interaksi sosial ini berbeda jauh dibanding 2-3 dekade silam.
Dari berbagai sumber, kebutuhan hidup generasi x pada masa produktif menghabiskan sekitar 60% dari upah. Masih ada sisa 40% untuk tabungan dan menyicil properti. Sedangkan kebutuhan hidup hari ini bisa mencapai 90% dari upah. Jendela tabungan makin kecil dan kerentanan makin terasa. Jangan lupa, masih ada pajak yang terus mencekik lebih erat tiap tahunnya.
Hidup tanpa keamanan sosial, kok mikir beli rumah
Posisi rentan juga disempurnakan model pekerjaan hari ini. Sektor informal, kerja lepas, hingga gigs economy mendominasi dunia kerja usia produktif hari ini. Selain membutuhkan biaya yang dikeluarkan pribadi, keamanan finansial juga makin lemah. Dunia kerja yang tidak pasti juga menjadi tantangan ketika pengajuan pinjaman dan KPR pada bank. Akses hunian murah makin rumit bagi generasi hari ini.
Sistem KPR hari ini yang lebih umum menggunakan sistem bunga mengambang juga jadi tantangan. Kini kita harus lebih cermat mengajukan kredit, serta memiliki proyeksi valid perihal penghasilan. Bahkan kerja di sektor formal tetap merasakan rumitnya KPR yang jadi solusi paling mudah punya rumah.
Kelangkaan properti akibat investasi yang dilakukan generasi X juga menambah kerumitan. Akses untuk pemenuhan kebutuhan hunian kini bersaing dengan investasi non-produktif. Kemudahan akses di masa lalu dan kemapanan finansial orang tua kita ternyata ikut menyumbang ancaman.
Tapi tidak semua orang tua semapan itu. Maka lahirlah masalah tambahan: generasi kue lapis! Jangankan menabung untuk beli rumah. Kita harus menafkahi dua sampai tiga keluarga sekaligus. Meskipun tidak semua mengalami, tapi kerentanan sosial satu ini ikut menambah kekacauan.
Masih banyak lagi ancaman yang membuat kita kehilangan keamanan sosial. Menabung makin sulit, tapi properti tetap tidak terbeli. Apakah kita perlu mengutuki sendiri? Tidak! Karena pemerintah punya andil paling besar dalam derita kita.
Salah siapa kita tidak bisa beli rumah? Salah Pemerintah!
Kenapa aku ajak kalian menyalahkan pemerintah? Karena mereka adalah arsitek derita ini!
Pemerintah sudah lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan hunian. Tidak ada lagi program berbasis kesejahteraan seperti Perumnas dan KPR bunga tetap. Pemerintah membiarkan urusan hunian ditelan mekanisme pasar bebas. Mengubah kebutuhan primer menjadi investasi. OJK yang sejatinya punya kendali juga membiarkan sistem perbankan melakukan diskriminasi pada angkatan kerja muda.
Pemerintah hanya menyediakan solusi hambar. Program KPR FLPP hanyalah obat pereda nyeri dari kanker properti. Tapera bahkan lebih parah! Setelah pemerintah gagal mengendalikan pasar properti, mereka memaksa kita menerima dampaknya.
Apakah kita harus puasa ngopi dan healing? Silakan saja, karena tidak ada dampaknya! Frugal living mungkin bisa memberi harapan, tapi jika tidak bisa mendapat KPR juga untuk apa? Bayangkan ini: kalian di usia 60 tahun harusnya menimang cucu. Tapi kalian malah sibuk melunasi KPR yang entah kapan berakhir. Atau di usia senja kalian tetap tidak punya hunian. Terus membayar uang sewa sampai mati.
Tidak perlu dibayangkan. Karena gambaran itu sudah pasti kita alami. Kecuali pemerintah sedikit waras dan mulai serius mengurus kekacauan pasar properti. Tentu saja percuma karena semua sudah terlambat. Jadi silakan nikmati hidup sebagai kontraktor: orang yang ngontrak seumur hidup. Inilah masa depanku, kamu, dan anak cucu kita.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Hancurnya Mimpi Saya Punya Rumah di Jogja karena Harga Rumah di Jogja Begitu Tinggi!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















