Belakangan, netizen Indonesia dihebohkan oleh sebuah tayangan bertajuk Clash of Champions yang diprakarsai dan disiarkan di kanal YouTube Ruangguru. Duel kecerdasan yang diikuti sekawanan mahasiswa berprestasi dari dalam dan luar negeri tersebut sukses menyita atensi publik. Animo ini wajar mengingat sekian lama program televisi dibanjiri sinetron klise dan acara gelar wicara yang padat humor slapstick.
Kehadiran Clash of Champions oleh Ruangguru dianggap membawa angin segar. Di lain sisi, seiring bertambahnya episode, acara ini justru membuktikan ketidaksesuaiannya bagi penonton Indonesia. Alih-alih memetik nilai dari tayangan adu kepintaran tersebut, mayoritas masyarakat justru lebih tertarik pada kehidupan personal para peserta yang berujung pada debat kusir di dunia maya.
Daftar Isi
Bukannya tergiring belajar matematika, Clash of Champions Ruangguru malah menyulut drama
Dianugerahi kecerdasan luar biasa tentu membuat banyak netizen terpesona. Akibatnya, beberapa peserta yang tampak lebih menonjol di acara Clash of Champions seketika meraup pemuja. Apalagi segelintir dari mereka diberkahi paras rupawan. Ya, keunggulan visual dan otak encer adalah perpaduan sempurna menjadi idola remaja sekaligus orang tua.
Bagi penonton yang waras, sosok Xaviera dan teman-temannya boleh jadi sumber motivasi. Namun, ternyata tak sedikit pula penikmat tayangan ini yang bersikap bak sasaeng. Bukan hanya menciptakan komunitas penggemar, penonton yang terlampau larut bahkan dengan senang hati mengulik latar belakang berikut keseharian para peserta dan menuntut mereka untuk selalu aktif di media sosial. Unggahan masa lalu peserta pun tak luput diusut.
Rasa suka yang menjurus posesif akhirnya memupuk ekspektasi berlebih. Idola mereka dituntut sempurna di berbagai aspek sebagaimana kemampuan otaknya. Ketika ada peserta yang terpeleset lidah saat berbicara, ribuan hujatan tak reda menimpa. Bahkan tak jarang celaan tersebut turut menyeret nama universitas serta prestasi yang telah diraih peserta.
Ada yang menghina, tentu ada yang membela. Akan tetapi, hal ini seperti menuang minyak tanah ke dalam api. Ketimbang belajar bagaimana memecahkan teka-teki Cryptarithm, netizen Indonesia justru lebih niat memperkeruh suasana demi mempertahankan pendapat mereka.
Selain bikin pusing, CoC juga bikin yang nonton makin overthinking
Walau banyak yang mengaku terpecut untuk lebih ambisius, sebagian pemerhati Clash of Champions Ruangguru jelas menyiratkan kecemasan. Dilihat dari tempat peserta menimba pengetahuan saja, bisa diperkirakan mereka menggenggam privilese. Tidak semata finansial, lingkungan tempat bertumbuh dan belajar mereka tampaknya juga sangat mendukung untuk berdiri di posisi saat ini.
Kegeniusan bisa saja bawaan genetik. Akan tetapi, melahap makanan bergizi jelas merupakan kemewahan di Indonesia. Pun, tidak semua orang dibekali informasi mengenai peranan asupan nutrisi yang memadai untuk kerja otak. Jangankan memenuhi kebutuhan protein, bisa makan kenyang saja sudah berucap amin.
Tanpa bermaksud mengerdilkan bakat yang dimiliki, masa depan gemilang yang dijelang oleh para peserta Clash of Champions Ruangguru tentu ditunjang pula oleh waktu belajar mereka yang tidak diganggu gugat dengan perkara lain. Boro-boro memikirkan tingginya UKT, urusan domestik saja mungkin mereka bebas tugas. Kondisi ideal tersebut kemudian menjadi tolok ukur kriteria menjadi orang tua baik.
Sekali lagi, tidak semua keluarga dilimpahi keberuntungan. Menyaksikan CoC mungkin membuat banyak orang tua menuturkan doa harapan untuk buah hati. Namun, di pihak lain hal ini menjadi beban pikiran. Tak pelak, ketika anak mengalami kegagalan, orang tua rentan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu memberikan rentetan privilese seperti yang diimpikan.
Faktanya, bukan acara edukasi, tapi drama untuk kepentingan promosi
Orang Indonesia sebenarnya bukan tidak siap dengan konten edukatif. Beberapa dekade lalu, tayangan televisi berbau uji ilmu pengetahuan cukup diminati. Misalnya saja kuis Tak Tik Bom yang menantang wawasan atau kuis Galileo yang menekankan ilmu sains.
Clash of Champions Ruangguru kurang cocok bagi masyarakat karena cara mengemasnya yang tanggung. Meski lahir dari layanan bimbingan belajar online, CoC sejatinya bukan bertujuan bagi-bagi ilmu. Sejujurnya, tayangan ini tak ubahnya konten promosi dalam bentuk ajang kompetisi. Buktinya, bocoran mengerjakan soal hanya diberikan sekilas ketika mengiklankan aplikasi terkait. Sisanya, tontonan lomba ketangkasan menjawab pertanyaan.
Makanya lumrah saja jika Clash of Champions Ruangguru dibumbui drama sebagai salah satu upaya menarik pasar. Gimik tersebut tampak saat peserta melakukan monolog. Beberapa dari mereka digambarkan sebagai karakter superior yang berkomentar atas ketidakbecusan peserta lain. Ada pula yang dicitrakan sebagai pelajar pintar dan tengil tapi sukar dibenci.
Acara edukasi murni pastinya tidak membutuhkan narasi yang seakan merepresentasikan pribadi setiap peserta layaknya penokohan dalam cerita. Perpaduan konten hiburan dan pendidikan semacam ini dikhawatirkan akan membentuk pandangan umum yang menyesatkan. Contohnya saja asumsi bahwa orang pintar lazimnya minim empati sebagaimana yang ramai digunjingkan akhir-akhir ini.
Publik sebaiknya memperlakukan program Clash of Champions Ruangguru seyogyanya pertunjukan semata. Tidak ada yang salah dengan menjadi ambisius atau mempunyai tokoh panutan. Akan tetapi, mematok Clash of Champions yang telah melalui proses sunting sebagai standar keberhasilan diri bisa jadi membuat depresi.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Orang Indonesia Memang Benci Lihat Orang Cerdas dan Ini Terbukti di Clash of Champions Ruangguru.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.