Ini adalah pengalaman saya nyaris jatuh saat naik maskapai LCC asal Jepang, Peach Airlines.
Saya pernah membaca jurnal yang menyatakan jika pesawat adalah transportasi paling aman di dunia dibandingkan moda transportasi lainnya. Rata-rata hanya ada satu kecelakaan dalam 16 ribu penerbangan. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan kecelakaan yang terjadi pada bus, mobil, hingga kereta api. Oleh karena itu, saya sering menggunakan transportasi udara saat bepergian. Selain merasa lebih aman, naik pesawat juga lebih hemat waktu.
Di antara banyaknya pengalaman naik pesawat udara, ada satu penerbangan yang nggak bisa saya lupakan sepanjang hidup. Itu adalah pengalaman saat naik Peach Airlines, maskapai LCC asal Jepang dari Kansai (perfektur Osaka) menuju Narita (Tokyo).
Daftar Isi
Keunggulan Peach Airlines
Seperti yang saya singgung di atas, Peach Airlines adalah maskapai berbiaya rendah (LCC) dari Jepang. Peach Airlines melayani penerbangan domestik (Jepang) dan penerbangan internasional dari Osaka menuju Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Hongkong.
Keunggulan utama Peach Airlines dibandingkan dengan maskapai LCC lainnya adalah harga tiketnya yang kelewatan murahnya. Harga tiket pesawat Peach Airlines dari Osaka ke Tokyo bisa jauh lebih murah ketimbang tiket kereta Shinkansen dengan rute yang sama.
Jika kita bandingkan dengan harga tiket pesawat di Indonesia, Peach Airlines terlihat seperti maskapai yang sedang bersedekah alih-alih cari untung. Bayangkan saja, tiket pesawat dari Osaka ke Tokyo (400km) hanya Rp800ribuan. Bandingkan dengan tiket pesawat Indonesia dari Surabaya ke Bandung (680km) yang dibandrol seharga Rp1,2-Rp1,8 juta.
Meskipun menjual tiket murah, Peach Airlines adalah maskapai LCC yang nggak sembrono dan tetap mementingkan keselamatan penumpang. Melalui laman web-nya, Peach Airlines menuliskan jika mereka berkomitmen mengganti armada pesawatnya setiap 8-10 tahun sekali. Padahal, rata-rata pesawat bisa digunakan sampai 20 atau 25 tahun.
Fasilitas di dalam kabin pesawat
Armada yang digunakan Peach Airlines nggak berbeda dengan Citilink dan Lion Air, yaitu menggunakan Airbus A320-200. Kursi di dalam kabin Peace Airlines terbilang nyaman untuk rute penerbangan pendek hingga sedang, tapi akan terasa nggak nyaman saat perjalanan jauh. Maklum, kursinya agak tipis dan nggak memiliki headrest. Standar kursi maskapai LCC lah.
Semua keperluan administrasi penumpang mulai dari cetak tiket pesawat, check-in, bahkan menimbang bagasi bisa dilakukan penumpang menggunakan mesin yang sudah disedikan oleh pihak maskapai. Prosesnya simple, no ribet-ribet club.
Fasilitas di dalam kabin pesawat sebenarnya standar saja, sama dengan maskapai LCC di Indonesia. Di dalam kabin ada kursi, meja lipat, toilet, dan nggak ada fasilitas entertainment. Akan tetapi, Peach Airlines menyediakan majalah yang bisa dibaca atau dijadikan sarana hiburan selama penerbangan.
Meskipun fasilitasnya B saja, tapi kebersihan kabinnya patut diacungi jempol. Kualitas kebersihannya di atas rata-rata maskapai LCC lain, sampai kaca pesawatnya kinclong tak bernoda. Toiletnya juga bersih, harum, dan dilengkapi berbagai macam jenis sabun juga tisu.
Pengalaman hampir mati di atas pesawat Peach Airlines
Pramugari Peach Airlines juga ramah. Meskipun secara postur tubuh pramugarinya terlihat lebih pendek dari rata-rata pramugari di Indonesia, tapi pramugari Peach Airlines sangat cekatan dan sopan. Selain ramah, mereka juga memiliki kemampuan untuk meredam kepanikan penumpang.
Waktu itu, pesawat yang saya tumpangi mengalami masalah. Penerbangan dari Bandara Kansai menuju Narita seharusnya ditempuh selama 1 jam 38 menit, tapi kami terpaksa harus kembali ke bandara padahal baru saja berada di atas awan kira-kira selama 15 menit.
Pilot dan awak kabin nggak memberikan informasi secara spesifik masalah yang sedang terjadi. Penumpang hanya diberi tahu kalau pesawatnya akan kembali ke Bandara Kansai karena ada sedikit problem.
Saya kebetulan duduk di dekat jendela waktu itu. Saya melihat cuacanya bagus, langitnya cerah, tapi pilot memutuskan kembali ke Bandara Kansai. Fakta tersebut membuat pikiran saya nggak tenang dan saya merasakan ada sesuatu yang nggak beres.
Lampu indikator kenakan sabuk pengaman selalu menyala dan alarmnya pun tak berhenti berbunyi. Pramugari Peach Airlines juga menjelaskan prosedur pendaratan darurat. Kami diminta untuk duduk dengan posisi merunduk dan melindungi kepala dengan tangan.
Tepat saat pilot menginformasikan pesawat akan landing, beberapa penumpang di bangku belakang berteriak dan panik. Setelahnya saya sudah nggak bisa menyerap informasi dengan baik lantaran pening dan merasa jika pesawat yang saya tumpangi menukik dengan tajam. Rasanya seperti saat naik roller coaster dan melunjur ke bawah dengan cepat.
Kondisi di dalam kabin pesawat sedikit riuh. Saya mendengar orang-orang memanggil Tuhannya masing-masing, anak-anak menangis, dan suara pramugari yang mencoba menenangkan penumpang. Saat itu saya sudah pasrah. Meski nggak ingin menangis, tapi air mata keluar dengan sendirinya.
Menghadapi kematian ternyata sangat menakutkan. Saya pun hanya bisa merapal doa dan menutup mata rapat-rapat. Di benak saya muncul wajah orang-orang yang saya sayangi.
Ada masalah di bagian belakang pesawat
Saya merasa waktu berjalan lambat. Menunggu beberapa menit terasa seperti beberapa tahun. Akhirnya saya merasakan roda pesawat menyentuh landasan dengan keras sehingga membuat tubuh saya terguncang.
Begitu pesawat berhasil mendarat, ada perasaan sedikit lega di dada saya saat itu. Tapi kemudian saya kembali takut lantaran lampu di dalam kabin seluruhnya padam dan saya melihat asap di bagian belakang pesawat. Sekali lagi, pramugari Peach Airlines meminta para penumpang segera keluar dengan mengikuti garis di lantai yang berwarna merah tanpa membawa barang bawaan.
Penumpang bagian tengah (termasuk saya) diminta keluar dari pintu darurat. Kami nggak keluar dengan tangga, melainkan meluncur di evacuation slide. Saya melihat ada dua ambulans standby di dekat pesawat dan dua mobil pemadam kebakaran yang menyemprotkan air di bagian belakang pesawat.
Para penumpang dipandu menuju ke dalam ruangan tersendiri, di ruangan tersebut semua kru Peach Airlines membungkukkan badan sampai 90 derajat (semacam gestur minta maaf). Saya nggak bisa memikirkan apa pun sampai saya diberi air mineral oleh petugas Peach Airlines.
Setelah merasa agak tenang, saya baru benar-benar menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata, pesawat yang saya tumpangi mengalami kerusakan di bagian belakang. Kami beruntung lantaran pilot segera menyadari masalahnya dan membawa kami kembali. Andai telat beberapa menit saja, pesawat kami bisa saja terbakar sebelum sempat melakukan pendaratan darurat.
Merasa bersyukur atas pengalaman tersebut
Hari buruk nggak pernah tertulis dalam kalender, tapi saya merasa beruntung lantaran masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Saya juga mendapatkan pelajaran berharga tentang betapa pentingnya antrean. Penumpang pesawat Peach Airlines yang mayoritas orang Jepang nggak ada satu pun yang berusaha menerobos dan berebut keluar meski mereka sudah melihat dan mencium aroma besi terbakar.
Sikap penumpang yang patuh dengan instruksi keselamatan membuat awak kabin lebih mudah mengendalikan keadaan sehingga seluruh penumpang bisa keluar dengan selamat, tanpa ada yang terluka.
Saya nggak bisa membayangkan jika kejadian seperti ini saya alami di Indonesia. Jangankan dalam keadaan darurat, dalam kondisi normal saja penumpang pesawat di Indonesia sudah berdiri dan berebut keluar.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bandara Juanda: Bandara Elite, Transportasi Sulit.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.