Saya sedang duduk manis menanti azan Subuh sembari scroll-scroll cantik ketika sebuah isu ramai di Twitter. Kolom rekomendasi menunjukkan tagar #IndonesiaTanpaPacaran, yang kemudian menarik banyak perhatian warganet. Isu yang sudah sering ramai tersebut kembali naik daun karena sebuah video dokumenter tentang gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) pada Februari lalu dari BBC World, diunggah lagi oleh salah seorang reporter BBC.
Dalam video tersebut menunjukkan sejumlah kegiatan dalam gerakan Indonesia Tanpa Pacaran dan laporan wawancara dengan founder serta salah satu anggotanya.
La Ode Munafar sebagai founder Indonesia Tanpa Pacaran menyatakan bahwa Indonesia Tanpa Pacaran ingin menghapuskan budaya pacaran di Indonesia pada tahun 2024. Dan pada 14 Februari lalu mereka melakukan gerakan untuk mendukung agar hari tersebut ditetapkan sebagai hari Indonesia Tanpa Pacaran.
Hal utama yang dikampanyekan oleh gerakan ini adalah menghindari adanya perzinahan dalam hubungan pacaran. Solusinya? Ya dengan menikah. Kampanyenya pun dilakukan dengan cara apa pun seperti menjual brand, kartu anggota, kajian, dan semacamnya. Terlepas dari itu, ada dua statement yang benar-benar membuat saya dan juga netizen Twitter, menjadi geram bahkan justru kesal dalam video dokumenter tersebut.
Dalam wawancaranya, founder Indonesia Tanpa Pacaran mengagungkan pernikahan dengan model taaruf sebagai bentuk pencegahan atas perilaku zina. Bahkan dia memperbolehkan anak 12 tahun, yang sudah siap menjadi suami/istri dan bisa menjalankan kewajiban, untuk menikah. Hei! Hei! Sek toh. Umur segitu tuh masih asyik-asyiknya main bola bekel atau adu petasan pas lagi tarawih. Njuk ini malah disuruh nikah? Hadeeeh~
Dan salah satu anggota yang diwawancarai oleh pihak BBC menyatakan bahwa dia merasa jijik melihat orang pacaran atas dasar pengalaman kelam di masa lalu, yakni pernah gagal menikah. Saya sendiri malah merasa geli, apa ya nggak ada statement yang lebih cerdas dikit, gitu, ya?
Pernyataan ini jelas menuai kritik sana-sini. Tetapi nyatanya gerakan ITP memiliki banyak peminat bahkan hingga saat ini. Yah, sasaran mereka memang orang-orang yang masih berada di usia labil. Bahkan dulu ketika baru lulus SMA, saya juga pernah ikut mengagungkan gerakan ini. Walau sekadar follow Instagram-nya, sih.
Tapi terlepas dari semua cara yang mereka lakukan untuk mendeklarasikan Indonesia Tanpa Pacaran, menghindari perzinahan ada banyak sekali caranya selain dengan menikah. Pasalnya kalau kalian tahu ya, menikah itu ribet. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Toh, ada banyak cara lain yang lebih simpel kalau mau terhindar dari zina. Salah satunya dengan berpuasa.
Seorang ulama, Izzuddin bin Abdul Salam, menuliskannya dalam kitab Maqashid al-Shaum. Beliau mengatakan ada delapan manfaat puasa yang beliau sebutkan dalam kitab itu, yakni:
“Puasa memiliki beberapa faedah: meningkat kan kualitas (iman), menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, menyempurkan ketaatan, meningkatkan rasa syukur, dan mencegah diri dari perbuatan maksiat.”
Sehingga bulan Ramadan bisa digunakan sebagai wadah untuk memperbaiki kualitas iman dan ketakwaan. Puasa, selain dengan hanya menahan lapar dan haus saja memang tidak mudah. Tapi setidaknya itu salah satu cara paling ampuh untuk mengontrol diri kita dari hawa nafsu yang tidak baik, seperti segala perkara yang mendekati zina ini.
Apalagi untuk anak 12 tahun, misalnya. Menghindari zina dengan menikah bukanlah satu-satunya jalan keluar. Ayolah, mbok mikir sedikit. Apa risiko yang akan dihadapi oleh ada 12 tahun atau anak belia lainnya yang harus menikah hanya demi terhindar dari zina? Baik secara biologis maupun psikologis, mereka jelas belum siap. Belum lagi beban moral di masyarakat. Mereka (anak-anak usia belia) akan lebih mudah jika diajarkan untuk berpuasa, sebagai salah satu upaya untuk menghindari zina.
Masalahnya banyak orang yang koar-koar nikah muda, tapi habis itu nggak bakal mau tahu kehidupan mereka setelahnya. Kalau toh ada permasalahan seperti KDRT bahkan yang berujung perceraian, orang-orang itu cenderung nggak mau tahu.
“Nggak mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain,” katanya. Halaaah~
Nikah muda, apalagi di usia yang belum benar-benar matang itu wes jan ramashoook. Mending tingkatkan kualitas iman dengan berpuasa. Lagipula esensi puasa juga tidak hanya menahan lapar dan haus, tapi lebih dari itu.
Kalau dalam kitab yang berjudul Risalatus Shiyam, Kiai Ali Maksum menerangkan tentang beberapa hikmah diwajibkannya puasa. Di antaranya, puasa dapat membersihkan dan menjernihkan jiwa pelakunya dari sifat kebinatangan, sedang ibadah-ibadah lain yang dikerjakannya akan terwarnai dengan keikhlasan dan kemurnian batinnya, lepas dari kotoran keragu-raguan dan kekacauan.
Jadi, mbok sudahi rame-rame Indonesia Tanpa Pacaran itu. Mau sampai kapan bakal dibahas terus~
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.