Bagi yang pernah atau masih berstatus santri, mengenyam atau setidaknya hidup di lingkungan pondok pesantren, maka mungkin sudah mengerti mengenai ngaji kilatan. Namun, bagi yang belum mengetahui sama sekali mengenai ngaji kilatan, maka izinkan saya untuk sekilas memberi informasi mengenai apa itu ngaji kilatan.
Ngaji kilatan bukan ngaji yang hanya dilakukan ketika ada kilat, petir, geluduk, atau apa pun itu namanya. Bukan itu maksudnya. Ngaji kilatan merupakan ngaji yang dilakukan secara kilat atau secara cepat. Kalau umumnya ngaji satu kitab di pesantren itu memakan waktu setengah hingga satu tahun, maka ngaji kilatan hanya berlangsung 15 hingga 25 hari di bulan Ramadan.
Kitab yang dingajikan sendiri cukup beragam, tergantung kemauan pengajarnya. Sementara para santrinya dibebaskan untuk memilih ngaji kilatannya sesuai dengan keinginannya. Layaknya sistem KRS-an kuliah, yang mana mahasiswa dibebaskan memilih mata kuliah sesuai keinginannya.
Nah, lebih asyiknya lagi adalah para santri dibebaskan untuk ngaji kilatan di pondok pesantren mana pun, selagi pondok pesantren yang diinginkan membuka ngaji kilatan untuk umum di bulan Ramadan. Namun setahu saya, kebanyakan pondok pesantren membuka ngaji kilatan untuk santri luar di bulan Ramadan. Jadi, sudah seperti tradisi pesantren mengadakan ngaji kilatan di bulan Ramadan kepada siapa saja.
Di saat itu pula, beberapa santri lebih memilih melancong alias ngaji kilatan di pondok pesantren lain yang diinginkan. Salah satunya saya sendiri yang pernah ngaji kilatan di pondok pesantren lain.
Kenapa kok lebih memilih ngaji kilatan di pondok pesantren lain?
Alasan utamanya, sih, tentu untuk ngalap barokah dari kiai-kiai pesantren lain, terutama yang lebih sepuh. Saya juga ingin mengaji kitab lain yang belum pernah diajarkan di pondok pesantren saya sendiri. Pasalnya, pondok pesantren saya kebanyakan mengajarkan mengenai syariat, alias ilmu fiqih.
Sementara alasan lainnya, atau lebih tepatnya alasan plus-plus, yakni karena rasa jenuh ngaji kilatan di pondok pesantren sendiri. Kurang lebih empat tahun saya ngaji kilatan Ramadan di pesantren sendiri. Setara dengan masa kuliah sarjana, normalnya.
Akhirnya di dua tahun akhir mondok, saya memilih untuk ngaji kilatan di pesantren lain. Hitung-hitung refreshing, melancong, jalan-jalan ala santri. Oleh karena itu, saya memilih pesantren yang agak jauh dari pesantren asal saya di Gresik. Saya memilih pesantren yang berada di Kediri dan di Rembang, Jawa Tengah.
Untuk yang di Kediri, saya memilih Pondok Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Krenceng, Kepung, Kediri. Pesantren ini diasuh oleh KH. Abdul Hannan Ma’shum.
Kenapa kok milih Pondok Pesantren Fathul Ulum, Kwagean? Padahal kan di Kediri ada Pondok Pesantren Lirboyo yang terkenal di kalangan santri.
Jangan salah, Pondok Pesantren Fathul Ulum ini juga terkenal di kalangan santri. Lebih tepatnya lagi terkenal mengenai ilmu mistiknya. Alhasil, setelah ngaji kilatan di sana, saya membawa oleh-oleh minyak mistik, jimat, dan perabotan mistik lainnya.
Udah kayak mau jadi dukun aja, hadeeeh.
Nggak, kok, saya nggak bermaksud aneh-aneh. Perabotan mistik itu hanya sebagai oleh-oleh khas ala Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean.
Oke, kita lanjut ke pesantren yang saya pilih ngaji kilatan berikutnya, yakni di daerah Rembang. Rembang sendiri menjadi pilihan saya karena menjadi pusat pesantren yang cukup terkenal. Salah satunya Gus Mus dan Mbah Maimoen Zubair yang berasal dari Rembang. Bahkan, kemarin Pak Jokowi ketika nyalon presiden yang kedua kalinya juga sempat sowan ke Mbah Maimoen Zubair. Nggak diragukan lagi wes kepopuleran pondok pesantren di sana.
Saya sendiri sebenarnya ngaji kilatan di dua tempat ketika berada di Rembang, yakni di Pondok Pesantren Al Anwar 1, yang kala itu masih dipangku oleh KH. Maimoen Zubair dan Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS) yang dipangku oleh KH. Said Abdurrahim.
Hanya saja untuk tidur, saya memilih menetap di satu tempat, yakni di Pondok Pesantren MUS. Ya, iyalah satu tempat. Masa iya saya tidur di dua tempat, mau pakai kage bunshin?
Saya masih ingat di Pondok Pesantren MUS, saya mengaji kitab Tafsir Jalalain, yang diajar langsung oleh KH. Said Abdurrahim. Kitab tersebut kurang lebih setebal buku Madilog dan kitab tersebut khatam kurang lebih 16 hari saja. Sat set gitu ngajinya, secepat kilat.
Sedangkan di Pondok Pesantren Al Anwar 1, saya mengaji kitab Syajaratul Ma’arif Wal Ahwal, yang diampu langsung oleh Mbah Maimoen Zubair. Kitabnya nggak terlalu tebal layaknya Tafsir Jalalain. Mungkin kurang lebih setebal dua sentimeteran. Ngaji tersebut juga rampung di malam ke 15 bulan Ramadan.
This is, melancong ngaji plus rekreasi ala santri di momen Ramadan, hehehe.
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Alasan Jemaah Tarawih Ramai di Awal, Sepi di Tengah, dan Ramai Kembali di Akhir Ramadan. #TakjilanTerminal24 dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.