Sebagai warga negara Indonesia, tentu saja saya bangga menjadi bagian dari keberagaman suku, adat, budaya, dan agama di dalamnya. Namun agaknya keberagaman ini kurang berlaku di meja-meja tamu tiap rumah pada hari raya. Walaupun hukumnya tidak tertulis, tampaknya hari raya tak lengkap tanpa kehadiran nastar di meja tamu. Mungkin hanya di rumah orang tua saya dan beberapa rumah lainnya saja yang anggota keluarganya tetap merasa perayaan hari raya lengkap tanpa kehadiran kue kering gendut berisi selai nanas ini.
Jujur saja, saya bingung dengan hype nastar ini. Apanya sih yang spesial dari nastar?
Saya nggak benci dengan nastar. Biasa saja. Lebih tepatnya lagi memilih untuk nggak nyentuh toples berisi makanan tersebut tiap kali bertamu ke rumah orang jika ada pilihan kudapan lainnya. Saya ingat betul, waktu saya masih kecil dulu nastar hanyalah salah satu jenis kue kering hari raya berbentuk bulat yang diisi selai nanas dan bagian atasnya dioles kuning telur agar terlihat mengkilat. Paling banter juga dikasih toping keju parut sedikit.
Tak tau kapan pastinya, tapi yang jelas beberapa tahun belakangan ini, nastar seolah-olah naik kelas. Nggak cuma berbentuk bulat, mulai ada juga yang dibentuk daun, nanas, jagung, bahkan ada yang adonannya diberi pewarna hijau lalu dibentuk kayak ulat bulu. Itu baru dari segi bentuk, lain lagi dari bahannya. Nastar wisman tentu saja tidak boleh dilewatkan. Mulai dari seperempat menteganya diganti wisman, bahkan sampai yang sudah nggak pake mentega sama sekali. Murni pake wijsman aja. Harganya pasti mahal. Pasti.
Dari pasar-pasar tradisional, nastar kini juga telah masuk di toko-toko kue fancy dengan label “nastar premium”. Bahkan beberapa toko kue fancy yang saya pernah kunjungi, mereka menyediakan nastar premium ini sepanjang tahun, nggak cuma menjelang hari raya saja. Hal ini konon katanya terjadi karena tingginya permintaan nastar premium yang mulai ramai dijadikan sebagai kudapan harian untuk ngopi/ngeteh sore-sore. Sungguh. Kepala saya jadi mumet. Saya yang paling banter ngopi sore pake tahu goreng yang dibungkus pake kertas bekas photocopy e-KTP koran bekas tentu saja geleng-geleng mengetahui fakta ini.
Oke, sudah cukup ngelantur tentang varian premium ini. Mari kita balik ke topik utama.
Nastar sebenarnya biasa saja. Ya enak, tapi nggak seenak itu. Bukan jenis kue yang bikin kita meneteskan air liur. Selera beda-beda, saya tahu. Tapi, hype-nya keterlaluan, padahal rasanya biasa saja, yang lain pun tak kalah enak.
Lho, ada lho kue yang sama, bahkan lebih enak ketimbang nastar. Contohnya saja kue bangkit. Siapa yang sanggup lupa dengan sensasi lumernya kue bangkit begitu menyentuh lidah? Rasa manis dan gurihnya benar-benar ajib.
Tak lupa juga kembang goyang. Walaupun sebenarnya bingung untuk memasukkannya ke kategori kue kering karena bikinnya tuh digoreng, bukan dipanggang dalam oven, tapi siapa sih yang nggak suka dengan sensasi kriuk-kriuk dari kembang goyang? Saya bisa menghabiskan satu toples kembang goyang sendirian. Seenak itu, tapi hype-nya nggak besar. Nggak dibesar-besarin juga.
Jadi, tolonglah, nastar itu biasa saja. Nggak sampe “sumpah, seenak itu, nggak bohong”. Kebetulan aja dapat eksposur berlebih, kalau nggak ya kastanya sama dengan yang lain.
Penulis: Agnes Betania
Editor: Rizky Prasetya