Mobil Listrik Adalah Solusi BBM Naik? Ngawur!

BBM Naik Solusinya Bukan Mobil Listrik, tapi Transportasi Publik Terminal Mojok

BBM Naik Solusinya Bukan Mobil Listrik, tapi Transportasi Publik (Unsplash.com)

Mobil listrik kok dijadikan solusi BBM naik? Mending pemerintah bangun transportasi publik yang nyaman dan aman lah.

Pemerintah resmi menaikkan harga BBM subsidi dan non-subsidi pada Sabtu (3/9/2022) lalu. Salah satu alasan pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM karena anggaran subsidi BBM tahun 2022 meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun, dan konsumsi BBM tersebut 70% justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik kendaraan pribadi.

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi membangga-banggakan prestasinya yang telah berhasil membangun 36 ruas jalan tol baru sepanjang 1.587,04 kilometer atau 64% dari total panjang jalan tol di Indonesia. Jumlah tersebut sekaligus menempatkan Jokowi sebagai presiden dengan jumlah pembangunan jalan tol terbanyak jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.

Betapa munafiknya pemerintah ketika mengatakan subsidi BBM habis digunakan oleh pengendara mobil pribadi sementara pemerintah sendirilah yang “memaksa” rakyatnya menggunakan kendaraan pribadi. Pemerintah pusat dan daerah tidak pernah mengimbangi capaian pembangunan infrastruktur jalan dengan pembangunan transportasi publik yang terintegrasi. Hal tersebut membuat rakyat mau tidak mau bergantung pada kendaraan pribadi.

Seiring dengan makin banyaknya pembangunan ruas jalan tol dan makin lebarnya jalan raya di perkotaan, tingkat konsumsi masyarakat pada kendaraan roda empat juga meningkat. Sepanjang tahun 2015-2021 saja penjualan mobil di Indonesia menyentuh angka 1 juta unit tiap tahunnya, bahkan pada tahun 2018 mencapai angka 1,15 juta unit hanya dalam satu tahun. Artinya, dalam tujuh tahun masa jabatan Jokowi saja ada kurang lebih 7 juta unit mobil yang dibeli orang Indonesia. Angka tersebut tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk di Surabaya, Gaes.

Jika Anda bertanya, apakah tidak ada tren penurunan pembelian mobil saat pendemi? Jawabannya tentu saja ada. Pembelian mobil dan motor di Indonesia sempat anjlok pada tahun 2020 efek dari pandemi Covid-19. Namun, pemerintah yang sejak dulu tidak pernah punya pola pikir lestari, pada tahun 2021 justru memberikan berbagai kebijakan fiskal bagi produsen dan konsumen produk otomotif (diskon PPnBM). Kebijakan tersebut tentu saja berhasil mengerek kembali angka penjualan mobil di Indonesia.

Dengan segala kemudahan membeli produk otomotif tersebut, pemerintah berharap konsumsi BBM turun? Ha, memangnya mobil-mobil yang dijual dengan tenor panjang—bisa sampai 10 tahun—itu digerakkan pakai tenaga dalam? Rasah pura-pura bodoh, deh!

Jika memang benar alasan pemerintah menaikkan harga BBM lantaran banyak orang mampu (baca: pemilik mobil) yang menikmatinya. Kenapa tidak sekalian saja melarang para pemilik mobil pribadi membeli bensin bersubsidi (Pertalite) tanpa harus menaikkan bahan bakar tersebut? Biar orang miskin dan angkutan umum saja yang bisa membeli BBM bersubsidi. Lha, ini sudah tahu salah sasaran, kok ya tetap diteruskan? Makin nyeleneh lagi ketika BBM bersubsidi boleh dikonsumsi mobil pribadi yang memiliki kapasitas 1400cc ke bawah.

Padahal city car yang harganya cukup mahal dan tentunya hanya dibeli orang kaya seperti Toyota Raize Turbo dan Daihatsu Rocky Turbo kapasitas mesinnya 1000 cc. Sementara pick up yang biasa digunakan pedagang sayur dan penjual telur umumnya punya kapasitas mesin 1500 cc. Nantinya satu tahun ke depan ketika tingkat konsumsi BBM bersubsidi ternyata masih tinggi, rakyat lagi yang salah. Rakyat kembali harus menanggung kenaikan harga BBM, sementara pemerintah terus-terusan mengulang narasi yang sama dengan mengatakan “subsidi salah sasaran”. Ente (baca: pemerintah) yang salah ngasih subsidi, kenapa jadi kita (baca: rakyat) yang disalahin? Kan nggaplekki.

Kenaikan harga BBM tentu saja memicu reaksi beragam. Ada yang demo, ada yang pasrah, ada pula yang cosplay jadi aktivis lingkungan hidup dengan meminta masyarakat beralih ke mobil listrik yang katanya ramah lingkungan. Asal tahu saja ya, energi listrik di Indonesia mayoritas masih bersumber dari batu bara, lho. Belum lagi baterai yang digunakan mobil listrik komponen utamanya adalah nikel dan lithium. Di Indonesia, tambang nikel lebih banyak memberi mudarat bagi rakyat kecil ketimbang manfaatnya.

Saya kira, pilihan jangka panjang yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan rakyat terhadap BBM bersubsidi bukanlah dengan mengajak orang membeli mobil listrik, tapi dengan memberikan perhatian khusus pada pembangunan transportasi publik yang nyaman dan efisien. Mobil listrik hanya akan memindahkan ketergantungan rakyat terhadap mobil bensin menuju ketergantungan pada mobil listrik yang bersumber dari batu bara (sama-sama merusak alam dan tidak lestari). Selain itu di sisi lain, kemacetan jalan raya di perkotaan juga tetap akan terjadi.

Sementara jika pemerintah membangun transportasi publik yang terintegrasi, rakyat jadi punya pilihan lain untuk tidak lagi tergantung pada kendaraan pribadi. Sehingga secara otomatis, mengurangi jumlah konsumsi BBM baik subsidi maupun non-subsidi. Jangan khawatir tranportasi publik tidak laku. Jakarta adalah contoh nyata bagaimana masyarakat perkotaan bergantung pada KRL (baca: transportasi publik). Selama transportasi publik yang dibangun punya rute lengkap, terintegrasi satu sama lain, tepat waktu, murah, dan nyaman, transportasi publik pasti diminati banyak orang.

Jika berkaca dari pembangunan MRT fase 1 Jakarta yang memakan biaya Rp1 triliun per/km, uang subsidi BBM sebesar Rp502,4 triliun tersebut bisa membangun MRT sepanjang 500 km (kurang lebih setara jarak Surabaya ke Jakarta). Ini hanya uang subsidi BBM dalam satu tahun, lho, ya. Bayangkan jika selama tujuh tahun uang tersebut digunakan untuk membangun MRT, mungkin setengah dari negara ini sudah memiliki transportasi publik yang memadai dan rakyat sudah bisa mengatakan sayonara kepada BBM subsidi.

Memang sih membangun transportasi publik tidak hanya kewajiban pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Namun, asalkan pemerintah punya visi dan blueprint kerja yang jelas, saya kira membangun transportasi publik seperti MRT di kota-kota seluruh Indonesia bukanlah hal mustahil.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mobil Listrik Nggak Bakal Nyelamatin Dunia dari Pemanasan Global.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version