Jumat malam, saya bertemu dengan beberapa penulis Terminal Mojok di Jogja. Saya lumayan sering bertemu mereka. Awal pertemuan, niatnya adalah srawung dan berbagi ide tentang menulis. Sekarang, jarak mereka dengan saya amat pendek, hingga saya tak lagi mendaku redaktur ketika bersama mereka. Apalagi dengan Taufik dan Sengget Macul, saya dekat dengan mereka berdua. Saking dekatnya, saya kepengin melempar mereka berdua dari puncak Hartono Mall.
Ketika saya bertemu orang atau sirkel baru, saya tak pernah luput menceritakan mi ayam Pak Sabar. Mi ayam Pak Sabar, seperti namanya, adalah warung mi kepunyaan Pak Sabar. Di balik kesederhanaannya, ada cerita pilu yang jujur saja terdengar aneh. Tapi, anggap saja ini adalah kenyataan, soalnya di kampung saya orang sudah sepakat ini adalah fakta.
Pak Sabar dulunya berjualan di daerah Gudang Seng. Oleh karena dia sering dipalak orang sekitar, makanya dia pindah ke selatan, di daerah kampung saya. Perpindahan tersebut menarik perhatian karena sudah ada dua warung mi ayam di kampung saya, milik Pak Kumis dan Pak Susul. Ada yang menganggapnya tak tahu malu, tapi kebanyakan memilih bodo amat.
Dalam waktu singkat, warung mi ayam Pak Sabar sudah terkenal. Meski kampung saya itu ndeso dan masih susah sinyal Telkomsel, tapi kampung saya terletak di jalan menuju tempat wisata, dekat dengan kantor polisi, plus dekat dengan waduk. Pelanggan jenis apa pun bisa didapat dengan mudah. Pemancing dari Solo yang lapar? Ada. Bapak-bapak kampung yang bosan dengan masakan istri? Ada. Polisi-polisi yang kelaparan? Ada. Dua sejoli yang mau pacaran di waduk? Ada.
Oleh karena banyaknya jenis pelanggan yang datang, dagangan Pak Sabar sering habis dalam waktu singkat. Yang saya maksud singkat adalah bisa jadi dalam waktu tiga jam, dagangan sudah ludes. Strateginya menambah pegawai—yang sebenarnya adalah anaknya sendiri—plus menambah stok mi pun tidak begitu berarti dalam perkara jam buka. Ya paling nambah dua jam lah, pun seringnya tidak sampai segitu.
Meski akamsi, jika saya pulang, saya sering tak kebagian mi ayam Pak Sabar. Ya itu tadi, soalnya udah habis, udah ludes saking ramenya.
Bapak saya, Edi Firaun—ini serius, Bapak saya dipanggil Firaun—sering berkata bahwa Pak Sabar mendapat karma baik. Orang ditindas suatu saat akan diberkahi Tuhan, dan Pak Sabar adalah contoh yang nyata. Saya setuju, tapi tak sepenuhnya.
Begini. Mi ayam Pak Sabar tak bisa dimungkiri memang enak. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan mi ayam Titoti, yang lebih terkenal bahkan skala nasional. Namun, Titoti tidak akan seberani Pak Sabar dalam perkara harga dan porsi. Tapi kita akan bahas rasanya dulu.
Mi ayam Pak Sabar rasanya begitu gurih. Ledakan rasa (cara saya menyebut rasa makanan yang begitu meriah di lidah) akan menghantammu ketika mi dan ayamnya dimakan bersamaan. Mi yang tebal dengan daging ayam yang gurih bakal membuatmu sedikit lupa akan kesedihan. Penyajiannya saja yang kurang estetik. Ha ning kan payu, yo prek wae.
Sekarang ke harga dan porsi.
Semangkuk mi ayam Pak Sabar dihargai enam ribu. Sumpah, enam ribu. Porsinya kira-kira semangkuk penuh hampir tumpah. Kalau rasanya biasa saja sih, nggak ada yang spesial. Tapi, ini enak. Ayamnya enak, minya enak, kuahnya enak. Sembilan tahun di Jogja membuat pikiran saya agak tak bisa memahami apa yang Pak Sabar pikirkan. Enam ribu untuk kualitas segini? Kalau dia agak kapitalis, dihargai sepuluh ribu pun tetap masuk akal.
Saya pernah iseng bertanya ke Pak Sabar, kenapa harganya semurah itu. Pak Sabar justru kaget, dia pikir harganya nggak bisa dibilang murah banget. Dia malah bertanya balik, memangnya harga mi ayam di Jogja semahal itu sampe harga enam ribu dibilang murah banget? Saya memilih cengar-cengir, dan dikatain lagi mabuk.
Seperti yang biasa terjadi, banyak orang sempat curiga kalau Pak Sabar pakai penglaris karena hampir tak masuk akal dagangan dia selaris itu. Kecurigaan orang-orang semakin menjadi-jadi ketika beliau memilih menyewa rumah yang terkenal angker di kampung untuk tempat jualan. Tapi, ya orang yang menuduh itu sebenarnya kalau ditraktir makan mi ayam yo mangkat-mangkat wae. Fenomena ini, menurut saya, ya hanya karena orang tidak paham dan berusaha paham atas apa yang mereka tidak tahu.
Kadang saya kasihan sama demit Indonesia. Kalau demit di luar job desc-nya adalah menghancurkan dunia, melakukan pembunuhan massal, dan menyebabkan bencana, demit Indonesia tugasnya adalah ngeludahin makanan.
Bahkan dalam perkara demit pun, Indonesia pun kalah.
Jika kalian kebetulan main ke Wonogiri dan ingin merasakan warung mi ayam Pak Sabar, pergilah ke arah selatan. Tanya orang sekitar, mana ke arah Kalpataru. Nah, setelah melewati Lapas, lihat sebelah kiri (asumsinya kalian dari utara, dari kota). Kalau udah keliatan Alfamart, kalian berhenti, warung mi ayam Pak Sabar terletak di sebelah Alfamart.
Hidup adalah berjalan dari satu kesialan ke kesialan yang lain, tinggal kita mau menerimanya atau tidak. Pak Sabar mungkin merasakan ini juga. Dia berpindah dari kesialan dipalak preman menuju ke kesialan dimaki orang yang tak kebagian dagangan yang sudah ludes.
Setidaknya, kesialan ini bisa beliau terima dengan senyum yang lumayan lebar.
BACA JUGA Eden Hazard Main 20 Menit Jauh Lebih Bagus dari Vinicius Junior dalam 3 Musim dan artikel Rizky Prasetya lainnya.