Ketika bicara UMR Jogja, solusinya selalu merantau. Tapi tidak semua orang mampu untuk itu. Beberapa terpaksa kuat untuk bertahan, meskipun upah murah kian mencekik.
Merantau adalah kata penuh impian. Terbayang hidup lebih baik di negeri orang, dan pulang sebagai orang sukses. Berjibaku demi memperbaiki kehidupan, meskipun jauh dari orang tua. Merantau terdengar romantis, sampai almarhum Didi Kempot menjadikan kata ini sebagai tema utama karyanya. Apalagi bagi warga Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) yang UMP-nya kelewat ngenes.
Bahkan banyak yang menyarankan, dan memaksa, orang Jogja untuk merantau. Seolah merantau adalah satu-satunya solusi untuk hidup lebih layak. Apalagi kalau Anda mengeluh tentang upah murah, pasti bakal disuruh merantau. Harga tanah mahal, disuruh merantau. Ada klitih, disuruh merantau. Bercita-cita jadi gubernur, disuruh merantau.
Tapi saya pribadi enggan untuk merantau. Lebih tepatnya tidak bisa. Meskipun UMP termasuk paling rendah se-Indonesia, dan tidak bisa punya pemukiman karena mahal, saya harus dan ingin bertahan. Dan percayalah, saya tidak sendiri. Ada banyak warga Jogja yang tidak merantau dan sesak karena situasi yang mencekik. Dan mungkin alasan mereka sama seperti alasan saya ini.
Banyak yang bilang merantau adalah pilihan. Tapi sebenarnya merantau adalah privilese. Dan sialnya saya tidak punya privilese untuk merantau. Merantau tidak sesederhana pergi dari rumah dan tiba-tiba jadi karyawan. Untuk pergi dari rumah saja, tidak semua orang bisa. Masalah upah murah tak selesai hanya dengan pergi dari Kota Istimewa ini.
Saya tidak bisa meninggalkan Jogja karena ada tanggungan besar. Dari kesehatan sampai mencari makam bagi eyang membuat saya tidak bisa merantau. Apalagi saya anak tunggal, dan orang tua berharap banyak pada saya. Saya harus mendampingi kedua orang tua yang usianya juga meninggi.
Banyak teman saya yang dalam situasi yang sama. Dan saya yakin masih banyak orang Jogja yang harus rela untuk tidak merantau. Harus berperan aktif menjaga keluarga. Apalagi jika orang itu sudah berkeluarga, merantau berarti meninggalkan pasangan dan anak. Sehingga keinginan untuk merantau harus dipendam. Karena tanggung jawab ini tidak bisa berkompromi, maka merantau jadi mustahil.
Selain tanggung jawab, merantau tak semudah membalikkan telapak tangan karena perkara satu: lapangan pekerjaan.
Lapangan pekerjaan yang kepalang cocok
Pergi dari Jogja (mungkin) mudah, tapi lapangan pekerjaan tak semudah pergi dari kota ini. Kita bicara skill dan pengalaman kerja. Jika orang tersebut memang biasa kerja di dunia pariwisata, Jogja jadi lebih cocok sebagai tempat kerja. Mosok seorang tour guide di Jogja malah merantau ke Cikarang, yo ra mashok bosku. Pekerja yang erat di dunia seni juga terpaksa untuk bertahan di Jogja. Karena skill mereka lebih laku di daerah yang istimewa upahnya ini.
Sebenarnya skill saya cukup laku di luar Jogja. Tapi setiap melamar, pasti yang cocok juga di Jogja. Kalau saya disuruh merantau, belum tentu skill saya dibutuhkan dunia kerja di luar sana.
Bicara privilese, saya tidak ada saudara yang tinggal di luar Jogja. Tidak banyak teman yang merantau ke luar daerah. Maka merantau jadi hal yang sulit. Bagi beberapa orang, mereka bisa menumpang bahkan dapat relasi orang dalam. Lha kalau seperti saya, merantau sama saja judi yang sudah dimanipulasi bandar. Alias kemungkinan menang, atau sukses, menjadi sangat kecil.
Mungkin alasan ini terdengar klise. Tapi bagi saya, ada ikatan batin dengan Jogja. Ikatan yang terbentuk setelah 3 dekade hidup di Jogja. Meninggalkan Jogja berarti meninggalkan tempat yang sudah saya kenal baik bahkan sampai ke gang-gang ruwetnya. Dan dengan situasi-situasi sebelumnya, meninggalkan Jogja akan membawa masalah baru
Tak usah jadi seperti motivator yang bilang keluar dari zona aman. Lha nek kon milih, pasti semua ingin di zona aman. Saya tidak punya cukup kapital untuk mengadu nasib. Dan zona aman ini juga diganduli banyak tanggung jawab.
Pada akhirnya orang seperti saya jadi takut untuk merantau. Dan memilih untuk bertahan di Jogja dengan segala keruwetan yang romantis itu. Maka menuntut upah minimum naik sesuai Kriteria Hidup Layak (KHL) adalah cara kami hidup layak. Sama seperti orang lain yang merantau agar hidupnya juga layak.
Jadi sebelum koar-koar nyuruh merantau, coba cuci muka dahulu. Jangan lupa sikat gigi agar ucapan Anda tidak bau. Siapa tahu justru Anda adalah orang yang lebih beruntung daripada kami yang tidak bisa merantau. Dan ketika orang Jogja seperti saya memperjuangkan kenaikan upah agar layak, itu sama seperti Anda yang berani merantau.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Upah Minimum Yogyakarta Itu ya Harus Minimum, Nggak Usah Berharap Naik Signifikan, Halu!