Begini, Kamerad. Sebetulnya dari semua yang kita alami dalam hari-hari kita ini seberapa banyak sih yang bisa kita jamin akan sejalan dengan rencana kita?
Dari hal yang biasa saja—bisakah kamu menjadwal aktivitas kencingmu sendiri? Saat enak-enak tidur dalam perjalanan naik bus, misalnya. Lalu terbangun dan tiba-tiba kebelet nguyuh—tak tertahan. Seseorang meminta ijin kepada si kondektur agar si sopir menghentikan bus sejenak. Perjalanan semua penumpang terpaksa tertunda lima menit untuk prosesi kencing si penumpang brengsek di bawah pohon pinggir jalan itu tadi. Atau barangkali kita semua pernah mengalami ini—saat malam sebelum tidur, kita memasang alarm bangun pagi, begitu alarm berbunyi malah kita matikan. Kita bangun terlambat lalu mengumpat dan mengutuk diri sendiri.
Juga ini: sejak awal kita memang jomblo sejati. Lalu naksir dan menambatkan hati kepada pacar. Berjalan banyak hari, bulan, dan tahun. Eh akhirnya kok putus juga. Hati kadung terbiasa dengan ‘memiliki’ pacar. Begitu putus, kita terombang-ambing. Padahal menambatkan hati adalah pilihan kita sendiri. Kita yang cari masalah sendiri. Suruh siapa hati kok ditambatkan ke orang yang lain. Atau yang lebih rumit seperti ini: bisakah kamu menjamin pacarmu selalu setia? Tentu, kita tidak mau pacar kita selingkuh, tapi kok perlakuan kita amat egois.
Barangkali kita sudah amat pengertian kepadanya, tapi ia tetap selingkuh—entah karena mungkin ada kemauan yang mendesaknya yang kita tak bisa mewujudkan. Jadi cinta macam apa seperti ini? Hahaha
Ya, kita mau jika nanti bisa menikah dengan pacar kita yang saat ini. Tapi toh tak ada yang tahu. Bisa saja jodoh kita adalah teman sekelas saat di sekolah yang dulu tak kita lirik sama sekali.
Nggg…apalagi kemauan-kemauan yang rumit lainnya ya? Oh, kita mau selalu dapat gaji setiap bulan, tapi juga malas bangun pagi untuk berangkat kerja. Kita mau bekerja, tapi tak mau ikuti aturan dalam bekerja.
Pekoknya, kalau bisa segala hal berjalan sesuai yang kita mau. Kita mendapat apa yang kita mau. Yang kita mau…yang kita mau…
Tentu kita mau semua yang kita alami itu berjalan dengan baik. Baik versi kepentingan kita. Kita mau sesuatu sesuai dengan yang kita mau. Kita mau enaknya saja. Barang enak kok, siapa yang tak mau? Siapa yang mau sesuatu terjadi tak mengenakkan dirinya sehingga menyisakan trauma-trauma dan penyesalan di kemudian hari?
Kita cenderung membayangkan apayang enak-enak, bukan? Nah untuk memenuhi angan-angan yang enak versi kita itu, kita selalu mengusahakannya–tentu dengan usaha-usaha yang kita sukai. Untuk mencapai tujuan yang enak itu saja tak jarang kita mencapainya dengan cara yang juga seminimal mungkin merugikan kita. Alias seperti dagang, ingin untung banyak dengan cara tidak rugi—dengan biaya yang minim dan jalan pintas. Tapi kembalilah ke pertanyaan awal, berapa persen dalam hidup ini yang sesuai dengan yang kita mau? Memangnya kita lahir di tempat dan lingkungan kita saat ini atas kemauan dan hajat sendiri?Hahahaha
Hidup sering memperlakukan semena-mena bagi kita yang tidak cukup lantip memandangnya. Hidup selalu terasa “di sana”, bukan “di sini”. Bahkan ada yang bilang, kalau hidup itu mirip seperti saat kita menyetel TV, sementara tayangan favorit kita baru saja usai.
Menyisakan tabrakan antara harapan dan kenyataan. Sebagian keinginan kita terwujud memang, tapi toh kita punya rahasia-rahasia penyesalan dan trauma sendiri.
Nah inilah kemalangan! Manusia memang lemah dan malang! Memang malang.. Memang malang..
Saat kita berada dalam adegan ‘tabrakan’ itu lah ketegangan menyergap seluruh kesadaran. Bisa mengakibatkan kemarahan, stress dan keterpurukan.Dan itu wajar-wajar saja. Sebab kita berperasaan. Perasaan kita yang penuh muatan harap atas apa yang kita anggap enak-enak itu tadi terbentur dengan kenyataan.
Puncaknya nanti, kita bawa-bawa dan kita suruh Tuhan mewujudkan keinginan kita—dengan doa-doa kita. Tidak salah kok dan itu sah-sah saja. Sebab doa adalah kesadaran bahwa manusia ini memang lemah. Butuh kekuatan yang lebih tinggi untuk menyokong semua kemauan-kemauan dan kita meyakini itu.
Nasruddin Hoja, seorang Sufi terkenal di Turki kuno, pernah berkata,”Tertawakanlah hidupmu”. Hemat saya, kemalangan itulah yang patut kita tertawakan. Pengalaman-pengalaman ‘tabrakan’ memang membuat dada kita sesak. Tapi jika kita mengambil jarak barang sejengkal, niscaya kita memergoki kekonyolan diri sendiri.
Nasruddin menyarankan agar manusia bisa mentransformasikan segala penderitaan hidupnya dalam kegembiraan. Artinya, jangan serius-serius dan menegangkan untuk menjalani semua ini. Toh, sebagaian besar dalam hidup tak sesuai dengan yang kita mau. Semua kemalangan sebetulnya menjadi humor belaka untuk kita kelak. Mari tertawakan dan ambil pelajaran.
Jadi, mari terus berkeinginan. Jika terwujud mari terus bersyukur. Jika tidak terwujud atau bahkan kita kecewa dan dibuatnya menderita, maka menderitalah. Kita nikmati penderitaan dan keterpurukan itu. Tapi, jangan lama-lama. Sebab segala yang berlebihan itu tidak baik. Hahaha marimenikmati sisi kegalauan hidup itu. Kalau bisa beri durasi bagi diri kita untuk menikmatinya. Barang satu hari sampai seminggu. Boleh dan setelahnya mari bahagia.
Sebab kelak semua kemalangan itu akan menjadi lelucon saja.