Bonek adalah salah satu representasi masyarakat Surabaya, bukan hanya soal antusiasme dan militansi mereka mendukung tim kebanggaan Persebaya. Bonek adalah Surabaya dan Surabaya adalah bonek, dalam urusan apa pun. Bonek telah menjelma menjadi ikon jatidiri masyarakat Kota Pahlawan, meski secara historis kemunculan Bonek jelas nggak bisa dilepasin dari fenomena kelompok suporter yang terkenal dedikatif dengan militansi tanpa kompromi.
Julukan Bonek konon diperkenalkan Dahlan Iskan lewat Jawa Pos. Dalam kompetisi era perserikatan musim 1987-1988, Persebaya berhasil lolos 12 besar dan harus melawat ke Senayan untuk menantang tim Macan Kemayoran Persija Jakarta sebagai tuan rumah. Pada masa-masa tersebut, adalah pemandangan yang nggak lumrah jika kelompok supporter sampai mengawal tim dukungannya di laga tandang.
Para pendukung Persebaya menjadi satu-satunya kelompok supporter yang nekat berangkat ke kandang lawan dengan gelombang besar. Mereka berbondong-bondong datang ke Jakarta. Punya tiket atau nggak urusan belakang, yang penting berangkat dulu. Di Jakarta nanti bisa makan atau nggak, bisa tidur di mana, sudah bukan menjadi persoalan yang patut dirisaukan. Mengawal Persebaya adalah yang paling utama.
Dari fenomena inilah Dahlan Iskan mencetuskan sebutan Bonek untuk mereka, yang merupakan akronim dari Bondho Nekat (modal nekat). Isitlah untuk menggambarkan loyalitas tanpa pamrih dan di luar logika. Hanya dengan modal nyali dan tekat, mereka memberi dukungan pada tim kesayangan tanpa dikungkung keterbatasan materi.
Saya akhirnya terpantik menggali lebih jauh fenomena tersebut dari sudut pandang genealogis. Apakah militansi dan loyalitas yang dimiliki masyarakat Surabaya muncul begitu saja? Kalau hanya untuk urusan bal-balan, rasa-rasanya kok berlebihan. Saya berkeyakinan, pastinya mentalitas semacam ini sudah mengendap sedemikian lama sehingga mendarah daging.
Sadar atau tidak, fenomena bonek alias bondho nekat tadi juga bisa kita lihat pada gelanggang pertempuran 10 November 1945 antara masyarakat Surabaya melawan pasukan sekutu. Saya menyebutnya bondho nekat karena pada saat itu para pejuang di tanah Surabaya hanya bermodal bambu runcing dan peralatan seadanya.
Sementara musuh yang dihadapi memiliki persediaan senjata yang cukup lengkap. Mulai dari pesawat tempur, tank, dan limpahan amunisi lainnya. Meski begitu, masyarakat Surabaya tetap tak gentar, mereka terus menerjang. Secara nalar, pastilah persenjataan yang canggih lagi komplet tersebut mampu memborbardir masyarakat Surabaya dalam waktu sekejap. Nyatanya pertempuran tak imbang tersebut baru padam justru berminggu-minggu kemudian.
Ngeliat fakta tersebut saya jadi menyimpulkan mentalitas bonek bukan semata kebetulan diambil Dahlan Iskan. Dan mentalitas tersebut telah diwarisi masyarakat Surabaya dari para leluhurnya di masa yang sangat jauh sebelum hari ini, yakni dari awal berdirinya Kerajaan Majapahit (tahun 1293 Masehi), menitis dari darah sang raja pertama Nararrya Sanggrama Wijaya atau Raden Wijaya.
Menurut buku Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit yang ditulis Damar Shashangka, nama Surabaya pertama kali dicetuskan Arya Lembu Sora yang pada masa itu menjabat sebagai rakryan mahapatih (setingkat perdana menteri) untuk wilayah Kahuripan, di mana Ujung Galuh termasuk ke dalam cakupannya. Ujung Galuh ini di masa depan menjadi wilayah yang kita sebut Surabaya.
Dalam sebuah pertemuan di puri kediaman Arya Lembu Sora, tuan rumah menuturkan kepada tamunya, Raden Rahmad Sunan Ampel, yang kebetulan sedang membangun pesantren di daerah Ngampeldenta (masih masuk Ujung Galuh) bahwa tanah Ujung Galuh adalah tanahnya ksatria, tanahnya para pemberani. Maka menurut Sang Arya, amat sangat cocok jika Ujung Galuh disebut juga dengan nama Surabhaya. Sura artinya keberanian dan keperkasaan, sementara Bhaya adalah marabahaya. Jika disatukan, Surabhaya bisa diartikan sebagai perlambang keberanian dan keperkasaan dalam menghadapi segala marabahaya.
Nah, kisah di balik nama Surabaya inilah yang akan saya kaitkan dengan mentalitas bonek. Jadi penamaan Surabhaya oleh Arya Lembu Sora sejatinya untuk mengenang pertempuran masyarakat Jawa (lebih khusus pasukan Ujung Galuh) manakala memecundangi pasukan Jayakatwang dari Kediri dan pasukan Tatar (Mongol) pimpinan Ike Mese yang dikirim oleh Kubilai Khan untuk menguasai Jawa.
Mulanya Mongol melayangkan ultimatum agar Kerajaan Singasari (Kerajaan di Jawa sebelum Majapahit) bersedia tunduk di bawah kekuasaan Mongol (Dinasti Yuan), namun ditolak mentah-mentah oleh Raja Singasari, Prabu Kartanegara. Bahkan Sang Raja melukai wajah utusan Mongol bernama Meng Qi yang diutus membawa surat ultimatum tersebut.
Kubilai Khan merasa kewibawaan Mongol telah dilukai Singasari. Namun, sebelum dia sempat melancarkan balasan, Kartanegara sudah terlebih dulu gugur oleh pemberontakan yang dilakukan Jayakatwang dari Kediri. Jika dia menghendaki balas dendam, yang paling mungkin adalah menaklukkan Jayakatwang. Tanpa pikir panjang, Khubilai Khan pun mengirim pasukan untuk meluluhlantakkan Jawa.
Momentum tersebut dimanfaatkan oleh Raden Wijaya, seorang keturunan Kartanegara. Sesudah pemberontakan Jayakatwang, Raden Wijaya dibantu penguasa Madura (Arya Wiraraja) mendirikan kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan nama Majapahit. Raden Wijaya yang masih menaruh dendam atas mangkatnya Prabu Kartanegara menyatakan akan tunduk di bawah Mongol dengan satu syarat: Mongol harus bersedia membantu Raden Wijaya menumpas Jayakatwang. Permintaan tersebut dipenuhi.
Singkat cerita, dipimpin oleh Ike Mise pasukan Mongol berangkat bersama-sama dengan pasukan Raden Wijaya dan pasukan dari Madura pimpinan cucu Arya Wiraraja (Raden Ranggalawe) melancarkan serangan yang gagal dibendung Jayakatwang. Dia pun tumpas di medan pertempuran yang digelar di Ujung Galuh (Surabaya). Selepas perang besar tersebut, Raden Wijaya beserta pasukan dari Madura justru berbalik menyerang Mongol, sekutunya sendiri, juga masih berlangsung di Ujung Galuh.
Sebuah siasat yang tidak terduga dan terlalu nekat. Terlalu nekat karena pertama, Mongol adalah kekuatan besar tanpa tandingan pada masa itu. Kedua, terlalu nekat karena bisa-bisanya Raden Wijaya menyerang pasukan yang telah membantunya menumpas musuh. Inilah bentuk bondho nekat yang saya maksudkan menurun dan diwarisi oleh masyarakat Surabaya sampai pada masa sekarang.
Nah, mylov, nggak heran kan masyarakat Surabaya lebih-lebih kelompok suporter Bonek terkenal sangat nekat dalam banyak hal. Marabahaya yang menanti di kandang lawan bukan menjadi masalah berarti. Dan memang sudah seharusnya yang demikian itu. Seperti wasiat dari Arya Lembu Sora selaku pemberi nama Surabhaya: “Bahwa siapa pun yang tinggal di bumi Surabhaya, haruslah menjadi seorang pemberani, tak gentar dengan ancaman model apa pun. Ingat-ingat itu!” (Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit, hlm. 83).
Ilustrasi: Bendera Majapahit, Wikimedia Commons
BACA JUGA Kelakar Menyikapi Cuaca Panas di Surabaya dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.