Pengangguran bukan sesuatu yang memalukan, bahkan jika kalian memutuskan resign tanpa mendapat pekerjaan pengganti. Jadi, selow ae, mungkin memang belum cocok.
Ayah saya mulai mengeluh (lagi) setelah mendengar keputusan “resign” saya untuk yang ke tujuh kalinya di dalam satu setengah tahun terakhir. Padahal, baru tiga bulan berjalan semenjak saya terakhir kali kerja mengajar di sekolah.
Keputusan itu sudah saya timbang dengan pasti. Ya meski terbilang “nyeleneh” bukankah berani mengambil keputusan juga sesuatu yang patut diapresiasi?
Salah satunya adalah yang terjadi pada teman saya yang selalu mengatakan “Aku pengen deh kayak kamu yang berani. Kalau saya kayak gitu, pasti sudah dimarahi, diusir dari rumah.” Kadang membingungkan, namun begitulah adanya.
Saat tahu saya resign lagi, dan lagi, teman-teman saya suka heboh, heran, tercengang, lalu memberikan ceramah yang berfaedah.
“Ya ampun, udah pindah lagi? Kamu tuh, ya mbok sabar toh. Nggak bisa banget bersyukur apa, di luar banyak yang susah cari kerja, eh kamu malah gonta-ganti nyia-nyiain.”
Saya cuma bisa mbatin, “Nyia-nyiain kata kalian? Tuker posisi yuk.”
Sayangnya, orang-orang memang hanya bisa melihat yang tampak tanpa tahu kebenarannya. Toh resign yang terlihat mudah saya lakukan juga dengan pertimbangan, bukan asal resign tanpa alasan yang jelas. Kayak si doi yang meninggalkanmu, eh.
Berbeda dengan ayah saya yang telah melakoni pekerjaannya sejak pertama kali ia terjun di dunia kerja. Padahal, pekerjaan ayah terbilang tidak mudah. Harus jatuh bangun, dimarahi atasan, dan digigit nyamuk. Ia melakoninya hingga kini. Dua tahun yang lalu ia naik jabatan. Sementara anaknya, jangankan naik jabatan, bertahan setengah tahun saja sudah gerah.
Desas-desus tentang saya mulai ramai terdengar di kampung halaman karena saya memutuskan untuk jadi pengangguran sementara. Saya kadang sok kuat dengan dalih, “Lagi pengen nguatin hati sambil nunggu yang pas.” Tapi ya namanya juga tetangga, kan kebanyakan resek.
Habis resign, besoknya pas ketemu saya malah pada nanya,
“Kerja apa?”
“Nggak masuk sekolah?”
“Nggak ngajar?”
“Lagi libur ya?”
Dan seabrek pertanyaan lainnya yang senada. Kalau kata ibu sih, namanya tetangga, ya wajar dong nanya-nanya. Oke, seandainya semua orang berpikir positif terus ya, kayaknya nyaman banget hidup kita.
Terkadang, saya sampai iri melihat orang-orang yang menua hingga pensiun dengan satu pekerjaan yang dilakoninya setelah berpuluh-puluh tahun. Segala masalah yang datang seperti buih tak bernilai bagi mereka. Sementara saya? Baru diterpa angin kecil saja sudah tumbang, megap-megap, nggak kuat, pengen mundur. Ah, dasar aku, lemah.
Bahkan mungkin, masalah yang dihadapi mereka jauh lebih berat ketimbang masalah saya. Namun perbedaannya ada pada respons kita terhadap masalah tersebut. Kita sering dengar kalimat “Kalau ada masalah, bicarakan, jangan malah pergi atau diam.”
Namun faktanya, praktik tak semudah teori.. Di lapangan, tak semua orang mampu mengutarakan perasaan dan masalahnya kepada orang lain yang bersangkutan. Ada yang memilih diam, atau membicarakan lewat surat.
Sialnya, saya tipe yang ketika ada masalah, tidak bisa mengungkapkannya, apalagi ditambah sifat perfeksionis. Lengkap sudah. Keadaannya menjadi sangat rumit, serumit kisah kita, Bang.
Semua permasalahan di sekolah tempat saya bekerja sebelumnya terbilang sangat remeh. Misal kayak rapat yang ngaret terlalu lama. Sederhana kan? Namun tidak bagi saya, saya meresponsnya dengan berlebihan. Hanya karena hal tersebut saya memilih “resign” dari tempat pertama. Maklum, di rumah biasa disiplin dengan segala aturannya yang mengikat. Ayah saya bukan militer, tapi disiplinnya ya ampun deh.
Dengan kondisi saya yang apa adanya, nggak salah dong kalau sekarang memilih resign dan pengangguran? Toh kalau kerja cuma jadi beban sekolah, nantinya justru susah. Setelahnya, ayah saya pun sibuk nyariin saya kerja. Hingga datang juga tawaran buat mengajar di sekolah favorit, saya tolak lah. Kapasitas pas-pasan, mau ngajar di sana, dua hari mungkin saya udah resign lagi.
Kini saya pengangguran karena pilihan saya sendiri. Kadang ya brondol, ngutipin sawit orang. Hitung-hitung nambahin buat beli bakwan satu. Itu juga udah syukur banget.
Terkadang ibu mencoba menenangkan ayah saya,
“Nggak usah didesak kerja dia. Biar di rumah aja dulu. Tenangkan diri. Pikirkan mau kerjaan yang kayak apa yang sungguh-sungguh. Jangan sampai nanti ada masalah sedikit keluar. Mau sampai kapan dia kayak gitu.”
Ternyata memang berat ya bertahan dengan pilihan yang sudah kita ambil. Jadi, untuk orang yang kayak aku, udah perfeksionis, bisanya cuma mendem, mending pikirin mateng-mateng deh kalau pengen kerja.
Daripada sedikit-sedikit resign, kan dapat kesan yang nggak baik, kayak saya. Yuk, pilih pengangguran dulu, nggak usah cek loker-loker dulu deh. Perbaiki diri kita aja, udah. Coba buat ngungkapin unek-unek, ke orang lain, karena ini nggak mudah. Karena kalau kita gini terus, adanya malah nyusahin.
Nggak apa-apa menyandang predikat pengangguran sebentar. Anggap saja kita disuruh belajar memaknai hidup buat bekal nanti pas ada masalah di tempat kerja yang baru. Paling nggak kita sudah berani buat mengungkapkan. Dan nggak bakalan berimbas ke keputusan resign lagi di tempat kerja selanjutnya. Kita kadang butuh waktu untuk belajar yang tak kita pelajari di sekolah.
BACA JUGA Pengangguran Terjadi Bukan karena Keadaan, tapi Faktor Gengsi dan artikel Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.