Peredaran berbagai genre musik di telinga manusia satu dan manusia lainnya layaknya kemajemukan yang ada di Indonesia, beragam. Musik katanya tidak hanya tentang suara penyanyi, ketukan drum, atau petikan gitar. Namun lebih dari itu, sebagai penyampai pesan yang tak bisa disampaikan lewat jalur konvensional.
Musik sejauh yang saya tahu tidak hanya sebagai sebuah seni yang lahir dari kreativitas. Selain itu musik bisa digunakan sebagai metode penyembuhan hingga yang paling umum untuk hiburan. Di Indonesia sendiri musik sering dimanfaatkan tidak hanya sebagai hiburan. Ada yang menggunakannya sebagai pengiring ritual adat hingga menjadi simbol kebudayaan setiap daerah di Indonesia. Yang paling mutakhir, musik bisa dijadikan ajang pelarian bagi hati-hati yang merana dengan suntuknya cinta yang tak kunjung jelas. Kita bisa menengok betapa populernya Didi Kempot belakangan dengan skema musik ambyarnya.
Tapi lucunya, musik yang katanya universal (ada juga yang menganggap musik itu eksklusif) masih saja dijadikan ajang untuk memperdebatkan perbedaan dan sekat genre. Saya sering menemui ribut-ribut konyol ini di berbagai momen entah itu ketika nongkrong di dunia nyata sampai nongkrong di dunia maya.
Nongkrong di dunia nyata, saya menemui masih ada perdebatan terstruktur soal My Chemical Romance itu band emo atau band pop, dan Imagine Dragon bukan band rock. Nongkrong di dunia maya, saya menemui perdebatan menyoal musik pop dan musik rock masih saja masif terjadi. Persoalannya masih itu-itu saja, mana yang lebih sampah di antara keduanya.
Di dua tongkrongan itu saya menemui berbagai perdebatan aneh nan konyol (menurut saya) terkait beragam jenis genre musik yang diperdebatkan oleh mereka yang mengaku penikmat musik jenis A, jenis B, hingga jenis Z. Kira-kira satu minggu belakangan, saya mencoba memanfaatkan Facebook untuk mencoba masuk ke grup-grup yang isinya orang-orang yang mengaku penikmat band A, musik B, dan penyanyi C. Sambil mencoba terus memantau, saya sesekali melemparkan pertanyaan memancing di grup-grup tersebut meminta pendapat soal musik-musik yang berbeda genre dengan selera orang-orang di grup-grup tersebut.
Satu kesimpulan yang bisa saya dapatkan, masih terlalu banyak orang yang egois terkait genre musik. Bahkan ketika bicara musik rock yang cabangnya cukup banyak. Ketika saya mengaku suka band Avenged Sevenfold pun, banyak orang mencibir bahwa Avenged Sevenfold bukan band rock, padahal musik rock kan cabangnya banyak. Tapi orang-orang tersebut tetap keras kepala bilang bahwa Avenged Sevenfold telah menodai kemurnian metalcore, dan menganggap Avenged Sevenefold bukan band yang layak disebut band rock. Istilah kemurnian tadi membuat saya bergidik. Semacam penjual madu yang madunya dituntut kemurniannya oleh pembeli.
Di grup lainnya saya sempat melihat perdebatan yang seru. Soal perbandingan antara musik K-pop, Hip Hop, rock, dangdut, sampai religi. Iya, musik religi yang itu, yang sering dinyanyiin sama Opick juga dijadikan perdebatan. Saya sempat ketawa-ketawa sendiri membaca adu opini di postingan grup tersebut. Facebook ternyata masih menarik, gumam saya dalam hati. Kesimpulan dari adu opini tersebutlah yang menginspirasi saya menulis ini. Bahwa masih ada orang-orang yang memandang mereka yang menikmati beragam genre musik adalah suatu kesalahan. Mungkin jika kalian tahu istilah poser dalam dunia musik, label jadul tersebut menjadi gambaran jelas bahwa sejak dahulu penikmat musik beragam genre memang sering dihujat.
Sebetulnya kalau dipikir-pikir secara sederhana dan logis, musik itu tidak untuk diperdebatkan. Kalau bagi saya musik itu ya untuk hiburan, relaksasi, dan kadang untuk pelarian. Kalaupun pada akhirnya diperdebatkan, toh musik tersebut sudah beredar di mana-mana dan hasilnya hanya lelah ngebacot saja. Sejauh yang saya tahu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan tiap manusia harus menikmati satu jenis genre musik dalam hidupnya.
Membandingkan genre musik pop dan rock, K-pop dan metal, hingga dangdut dan hip hop, sebenarnya hanya akan membuat esensi musik yang kalau kata Addie MS sebagai pemersatu akan hilang. Menikmati musik yang beragam tentu bukanlah kesalahan fatal. Slipknot pun tidak akan pernah protes jika lagu psychosocial mereka berada dalam satu playlist dengan lagu-lagu Didi Kempot. Dan tidak ada yang perlu disesali saat harus mengatakan bahwa album Amo-nya Bring Me The Horizon itu keren. Genre sering kali diciptakan oleh media dan penikmat. Dan itu bukan sebagai ukuran kualitas musik yang dihadirkan. Bahkan menikmati beragam genre musik jauh lebih baik daripada hanya menikmati satu jenis genre. Bisa bikin mood bagus, kata artikel-artikel yang berseliweran di Google.
Kalau kita mencoba menggunakan dalih open minded dan kebebasan yang kebablasan yang sering didengungkan di luar sana. Setiap manusia tentunya punya hak untuk menikmati beragam genre musik. Dalih kebebasan tidak hanya tentang isu selangkangan dan berpendapat. Kebebasan menikmati beragam genre musik juga termasuk kebebasan yang harus didengungkan.
BACA JUGA Penyusun Daftar Lagu di Mobil, Antara Dibenci dan Dipuji atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.