Saat sedang menikmati perjalanan menggunakan Suroboyo Bus dari Osowilangun menuju Pasar Ikan Gunungsari. Saya membuka Mojok dan menemukan artikel Mas Arief tentang BRT di Surabaya. Tenang, saya tidak akan menyanggah apalagi mengatakan transportasi Surabaya bagus. Lha wong selama ini saya sering menulis di Terminal Mojok betapa payahnya transportasi umum di Surabaya.
Bahkan, kalau mau dibaca lebih teliti, artikel saya sebelumnya tidak menyebut bus di Surabaya lebih baik, lho. Saya mengatakan dengan satire, meskipun Mas Arief bilang transportasi di Surabaya buruk, nyatanya Kota Pahlawan mendapatkan penghargaan Wahana Tata Nugraha. Kira-kira seperti itu.
Namun, mari kita singkirkan hal tersebut, saya menulis artikel ini bukan untuk itu. Saya hanya sedih karena artikel tentang BRT tersebut, justru menimbulkan salah paham baru pada perkara yang lebih penting yaitu tentang konsep BRT itu sendiri. Padahal di artikel sebelumnya, saya sudah highlight kalau Suroboyo Bus dan Trans Semanggi itu BUKAN BRT. Njur statement saya malah di-skip, lho. Kan jadi sedih saya tuh.
Daftar Isi
Mbok faktanya dicek dulu
Baiklah, sebelum membahas BRT, saya perlu memberi sedikit informasi kalau Kota Surabaya tidak punya Suroboyo Trans seperti yang ditulis Mas Arief. Berbeda dengan kota lain yang umumnya memiliki satu bus trans seperti Trans Jogja, Trans Semarang,Trans Jakarta, dan trans kota lainnya. Di Kota Pahlawan ada dua operator bus, yaitu Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Suroboyo Bus dikelola oleh Pemkot Surabaya melalui UPTD khusus. Sementara Trans Semanggi dikelola oleh Kemenhub RI dan Dishub Surabaya. Penggabungan keduanya, Suroboyo Trans tidak pernah ada.
Baik Suroboyo Bus dan Trans Semanggi berjalan bercampur dengan kendaraan lain (tidak memiliki jalur sendiri) dan kedua bus tersebut mengadopsi sistem pemberhentian penumpang yang hanya bisa dilakukan di halte. Bus dengan sistem seperti ini, sependek pengetahuan saya bukan BRT karena tidak sesuai dengan sistem BRT yang diakui secara internasional.
Halah, apalah arti sebuah nama, mungkin ada yang berkata demikian. Sayangnya, dalam kasus BRT, nama itu penting. Pemberian nama atau labeling BRT pada bus harus tepat. Jika salah, alih-alih mengurai kemacetan, bus-bus yang asal-asalan dilabeli BRT sering kali tidak menjadi solusi atas kemacetan. Nggak jarang malah menimbulkan masalah baru dan atau tidak laku.
Di Indonesia, ada banyak bus trans yang diklaim BRT berjalan di koridor yang sama dengan jalur yang sudah dilalui bus konvensional dan angkot. Pada akhirnya, banyak uang terbuang, tapi bus tidak efektif dan merugikan rakyat kecil (supir bus dan angkot). Selain itu, bus-bus tersebut, mayoritas tidak punya jalur sendiri sehingga tidak menawarkan nilai lebih dari sisi waktu dan harga. Giliran peminat busnya sepi, pemerintah tinggal bilang “rakyat malas naik transportasi umum”. Lagu lama!
Apa itu BRT?
Menurut ITDP, BRT (Bus Rapid Transit) adalah mode transportasi massal berbasis bus yang memiliki desain, pelayanan, dan infrastructure yang dikustomisasi untuk meningkatkan kualitas sistem dan menyingkirkan hal-hal seperti penundaan kedatangan dan keberangkatan yang sering ditemui pada sistem bus konvensional.
BRT menawarkan mobilitas, biaya terjangkau, JALUR KHUSUS, halte yang tertutup, sistem pembayaran di halte dan sistem informasi yang baik bagi penumpang. Oleh karena itu, sebuah bus setidaknya memenuhi syarat tersebut untuk bisa disebut BRT.
Sementara menurut Thomas dalam rapid transit, presentation at the institute of transportation engineering annual meeting (2001) BRT adalah suatu mode transportasi yang cepat, yang mengkombinasikan kualitas transportasi kereta dan fleksibelitas bus. Meskipun ditulis dengan bahasa yang berbeda, tapi kedua definisi tersebut cenderung memiliki banyak kesamaan dengan sistem transportasi berbasis rel dan bukan bus konvensional.
Pertanyaannya kemudian, selain Trans Jakarta, adakah bus trans lain yang layak dikategorikan sebagai BRT? Jawabannya bisa dicek di kota Anda masing-masing.
Marketing ala pejabat dan Dishub
Di Indonesia, saya juga sering mendengar ada pejabat mengatakan kalau BRT nggak harus memiliki jalur sendiri karena bukan busway. Lha ini malah lucu, BRT itu lahir untuk memudahkan dan mempercepat mobilitas orang. Konsepnya sama dengan kereta, ada jalur sendiri, tapi agar fleksibel dan bisa menjangkau jalan di perkotaan dipakailah bus.
Kalau bus nggak mampu menjangkau kampung dan jalan sempit, dioperasikan kendaraan pengumpan (feeder) yang menggunakan mobil kecil seperti angkot. Di Surabaya, kita punya feeder yang diberi nama wira-wiri. Namun, karena Suroboyo Bus dan Trans Semangginya belum maksimal dan jauh dari kelayakan BRT, kehadiran pengumpan (feeder) ini malah seperti melempar tali pancing ke sungai yang keruh alias zonk.
Kembali ke soal BRT, jalur khusus yang ada di setiap koridor tidak harus dibangun dengan biaya tinggi, lho. Kalau memang belum punya uang, cukup memberi space khusus agar bus BRT bisa melaju cepat, murah, dan tanpa hambatan. Selain berguna untuk efisiensi waktu, jalur khusus akan membuat orang tertarik naik BRT karena merasakan ada perbedaan, salah satunya bisa lebih cepat ketimbang naik mobil.
Saya kira, kalau ada pejabat yang mengatakan BRT nggak harus punya jalur sendiri. Mungkin blio-blio itu sedang melakukan trik marketing. Lantaran belum mampu menciptakan infrastruktur pendukung. Jadi mereka melakukan propaganda kalau BRT nggak harus pakai jalur khusus, nggak perlu tepat waktu, dan boleh berhenti lama di halte. Itu pun halte ala kadarnya dengan plang bertulisan bus stop.
Padahal yang namanya BRT itu ada standardisasi-nya. Salah satunya waktu berhenti di headway 5-10 menit dan sistem busnya terintegrasi (bisa transit antarkoridor).
Bukan BRT tapi berhasil, gimana tuh?
Kalaupun ada bus trans yang belum layak dikatakan BRT ternyata berhasil, maksud saya dianggap bisa mengurai kemacetan di kota tersebut dan peminatnya banyak. Hal tersebut sejujurnya menjadi anomali dalam konteks Indonesia. Karena seperti yang kita tahu bersama, ada banyak bus trans yang tidak maksimal dan terancam kukut. Jadi, jika ada bus trans yang berhasil tanpa jalur khusus tentu saja itu kabar baik dan perlu dicontoh dan diteliti lebih jauh variabel apa saja yang membuatnya berhasil.
Ya wes, sampai di sini dulu, ya. Kepala saya agak pusing lantaran menulis artikel di HP dalam kondisi Suroboyo Bus macet karena berebut tempat dengan truk gandeng di Jalan Tambak Osowilangun. Kalau punya jalur sendiri nggak bakalan terjadi kek gini, nih.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Naik Transportasi Umum di Surabaya Adalah Simbol Kemiskinan, tapi Saya Tidak Malu Menggunakannya