“Cling,” bunyi notifikasi gawai saya berdenting untuk yang kesekian kalinya. Undangan webinar tentang media pembelajaran daring lagi. Tentu saja setelah hampir sembilan bulan sekolah ditutup akibat pandemi Covid-19, pembelajaran reguler di sekolah sudah hampir berubah total. Aplikasi Learning Management Study semisal Google Classroom menggantikan nyaris seluruh fungsi pedagogis seorang guru dalam membimbing pembelajaran para siswanya. Hampir setiap minggu, saya menerima undangan tugas mengikuti semacam tutorial atau seminar daring tentang pembuatan berbagai media pembelajaran, tentu saja di luar media yang sudah umum dipakai, misalnya Microsoft Word dan PowerPoint.
Situasi ini membuat banyak guru sedikit tergagap dan mohon maaf, tertatih-tatih menyesuaikan diri. Kita tentu mengetahui bahwa rata-rata guru terutama yang berstatus ASN sudah berada di ambang usia lima puluh, atau bahkan mulai memasuki tahun-tahun terakhir menjelang purna tugas. Beliau-beliau inilah yang menjadi bagian paling terdampak pada pembelajaran daring selama lebih kurang hampir satu tahun ini.
Pada sebuah sesi pelatihan singkat selama kurang lebih lima jam, tentu dengan protokol kesehatan, kami para guru mengikuti proses pembuatan aplikasi pembelajaran. Sebagian dari kami berusia awal lima puluhan, sedangkan sisanya tak berbeda jauh, semuanya berkacamata. Pelatihan dibimbing oleh seorang guru pria berusia paling muda dari kami semua, dengan kegesitan dan kecepatan alamiah yang dulu juga pernah kami miliki. Dengan bersemangat, dia menjelaskan program aplikasi yang diklaimnya sebagai ciptaannya sendiri.
“Jadi begini cara masuknya, tekan tombol ini, kemudian ini, sehabis itu lakukan ini, terus diblok,…”, katanya memberikan instruksi dengan tempo cepat khas usia tiga puluhan. Dulu saya juga seperti itu kalau bicara, seperti sepeda gowes yang tali remnya putus. Nah, Anda bisa bayangkan. Di mata orang-orang tua seperti kami, jajaran keypad laptop terlihat sama seperti kue balok. Warna dan konturnya sama. Mana kami tahu ada karakter titik, garis miring, titik koma dalam sekali lirik? Apalagi keypad tanpa backlight. Sempurnalah penderitaan kami sepanjang pelatihan itu. Bukan tertatih-tatih lagi, tapi terjungkal-jungkal, seperti naik lori pengangkut tebu yang jalan dan berhenti mendadak semaunya. Mual, pusing, dan rasanya ingin muntah.
Beberapa yang benar-benar senior katakanlah, tampak beberapa kali terlihat menahan perasaan terluka karena ketidaksabaran instruktur IT cabutan itu. Sebenarnya karena faktor kematangan emosilah, akhirnya semua bisa menahan diri dengan berbagai cara. Kami tahu, pelatihan ini mengandung konten yang penting dan kami butuhkan saat ini, tapi tidak seperti ini juga mainnya.
Akhirnya setelah direfleksikan kembali ke dalam sanubari masing-masing, kami mendapatkan pencerahan dalam pelatihan ini. Bukan ilmunya, sama sekali bukan itu. Akhirnya kami ingat kembali rasanya menjadi murid dan bagaimana seorang murid ingin diperlakukan saat kami memberikan sebuah bimbingan pembelajaran. Teori-teori pedagogi, psikologi pendidikan, dan model-model pembelajaran mendadak jelas ter-kapita selecta kembali dalam ingatan kami saat itu. Tidak semua murid memiliki high achievement, dan hari itu kami terjungkal dalam posisi low achievement, sambil teringat kembali betapa selama ini kami begitu tidak adil pada golongan ini.
Mengikuti perkembangan jaman katanya adalah spirit milenial. Guru berspirit milenial, harus bisa IT termasuk bikin aplikasi. Lah, memangnya kita kreator konten atau operator IT? Kita ini guru, lho. Kalau tolok ukur guru berspirit milenial di era Revolusi 4.0 harus bikin aplikasi ya, apa bedanya kita sama pegawai startup? Ini gegara waktu kampanye kemarin ada capres yang unicorn minded dan Mobile Legend oriented. Jadilah semuanya terbalik-balik begini, termasuk dunia pendidikan. Para guru harus bersabar setidaknya sampai pandemi berlalu dan penderitaan karena disalah-salahkan akibat tidak bisa menyerupai karyawan startup ini segera berakhir.
Ya tidak salah kalau guru harus melek IT. Tapi, ya melek saja, tak perlu sampai melotot-melotot IT, begitu lho maksud saya. Guru dalam tugasnya secara garis besar adalah sebagai pendidik dan pengajar. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah. Mendidik, dalam operasionalisasinya adalah rangkaian proses mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, membentuk contoh dan membiasakan. Semua itu akan mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian sempurna (good character).
Sedangkan sebagai pengajar (instruksional), guru bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan program yang telah disusun dan melaksanakan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Jadi tugas guru itu lebih besar daripada sekedar disuruh-suruh mengoprek aplikasi-aplikasi dan maintenance yang sifatnya sangat teknis. Terkecuali guru teknik mesin dan informatika dan elektronika, seorang guru tetap harus berbobot pada pengembangan karakter pribadi siswa alih-alih hanya mencetak seorang mekanik belaka.
Saya tidak hendak mengatakan guru tidak perlu belajar IT, aplikasi atau semacamnya. Kesemuanya itu tentu akan menjadi nilai tambah jika dapat dikuasai dengan baik oleh seorang guru. Saya hanya tidak setuju jika para guru akhirnya latah dan ikut-ikutan menempelkan label spirit milenial pada guru yang mahir IT saja, sementara yang kurang menguasai atau sedang dalam perjalanan menguasai, disebut “tidak berspirit milenial”, “tidak mengikuti perkembangan jaman”, atau “kalah sama honorer”.
Saya kasih tahu ya, tugas-tugas guru itu lebih banyak menangani benda biotik, artinya kita sedang mengolah makhluk hidup. Ini anak manusia lho, bukan benda-benda tak bernyawa yang bisa diperlakukan sembarangan. Semakin senior (lama bertugas) seorang guru itu soft skill-nya akan makin terasah dalam menangani kompleksnya permasalahan mendidik siswa. Jadi jangan sembarangan kalau membuat komparasi. Hanya waktu yang bisa membeli kebijakan, kelembutan, kesabaran sekaligus ketajaman seorang guru dalam mengolah dan mempersiapkan kepribadian murid-muridnya untuk berkembang menjadi seorang dewasa yang sukses.
Ya, itu tadi, kami para guru adalah kumpulan makhluk-makhluk lembut dan pemaaf, akhirnya dengan penuh kesabaran kami berusaha menerima semua kritik sambil terus belajar. Dicaci maki juga sudah biasa, namanya juga guru. Guru itu kan seperti gula, selalu disalahkan namun giliran bikin bagus, tak akan pernah disebut-sebut. Contohnya kalau anda menikmati secangkir kopi yang mantap. Anda akan memuji kopinya, namun saat rasanya terlalu pahit atau melenceng dari ekspektasi, Anda katakan “kurang gula” (salah gula, bukan salah kopi).
Tidak apa-apa, mendidik dan mengajar tetap harus jalan terus, apa pun keadaannya. Pekerjaan ini memang bukan untuk “orang kecil”. Inilah pekerjaan orang-orang yang berjiwa besar, yang sudah selesai dengan pergumulan dalam dirinya. Pekerjaan berkarakter matahari, yang menyingkap tabir-tabir gelap kesempitan dan kepicikan pikir dan rasa.
BACA JUGA Nggak Usah Ngeyel, Mie Sedaap Lebih Enak daripada Indomie