Nampaknya pemerintah sangat serius dalam persoalan pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa dan menempatkanya di bagian pulau yang letak geografisnya tidak terlalu kebarat-baratan dan ketimuran biar terkesan Indonesia-sentris. Pemindahan ini pun juga akan dapat mematahkan sangkaan tentang pemerataan pembangunan Indonesia yang katanya lebih condong terpusat di wilayah tertentu, sebut saja dengan Pulau Jawa.
Padahal jelas pemerintah tidak sejahat seperti sangkaan-sangkaan itu. Dari dulu hingga sampai sekarang komitmen pemerintah tetap sama seperti yang tertulis di sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kecuali jika alasan pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa alasanya untuk menghindari Anies, eh maaf. hehe
Nah, baru-baru ini lewat tanya jawab antara berbagai wartawan dan Jokowi seusai mengunjungi kawasan wisata The Kaldera Toba Nomadic Escape di Toba Samosir pada Selasa, 30 Juli 2019 yang terpampang nyata di website Sekretaris Kabinet Republik Indonesia (Setkab) beliau menyatakan bahwa keputusan untuk memindahkanya akan dipilih Kalimantan sebagai bakal Ibu Kota Negara baru Indonesia. Persisnya provinsi mana ini akan disampaikan pada Agustus ini.
Demi progres Indonesia yang semakin baik ke depanya, tentu pemindahan tersebut disambut hangat oleh masyarakat. Setidaknya dapat memberi suntikan semangat bagi calon mantan Ibu Kota yang akan ditinggalkan untuk memperbaiki tata ruang kota dan permasalahan pelik lainya yang mendera contohnya kemacetan, kualitas udara buruk akhir-akhir ini dan permasalahan yang membuat haru biru masyarakat Jawa Timur terkhusus Surabaya dengan pernyataan siap membantu permasalahan sampah di Jakarta dari Ibu Tri Rismaharini. Jujur, Rek—dari situ saya mbrebes mili terpukau.
Namun dari rencana manis pemindahan Ibu Kota, di sisi lain kita semua akan memiliki kekhawatiran tinggi bagi terjaganya flora dan fauna di Kalimantan meski nantinya konsep yang diambil adalah Forest City. Di sini sungguh tidak ada alasan sedikitpun rasa tidak percaya kepada pemerintah dalam hal menjaga kelestarian hutan.
Walau nantinya Ibu Kota baru hanya akan memindahkan pusat pemerintahan sedangkan pusat ekonomi dan bisnis tetap bertumpu di wilayah Jakarta dan sekitarnya, hal tersebut juga tidak akan mengurangi kekhawatiran pasalnya saya yakin meski sudah dipisah-pisah kaya begitu sedikit banyaknya pegiat ekonomi dan bisnis tetap ikut pada wilayah pusat pemerintahan sebab dirasa wilayah pemerintahan sangat menjanjikan dalam segi ekonomi.
Sebagai contoh, lihat saja Surabaya yang memikul beban berat selain jadi pusat pemerintahan juga menjadi pusat perekonomian potensial. Ini jujur sangat dilematis sekali. Saya takut nantinya banyak deforestasi yang dilakukan entah sebagai perkantoran, perumahan terlebih lagi menjadi pabrik. Jangan.
Fauna yang statusnya punah tersebut seperti orang utan jelas menjadi hal yang patut disorot. Jangan sampai perpindahan Ibu Kota juga menjadi ajang pembalakan hutan secara besar-besaran—jangankan nanti ketika sudah terjadi perpindahan yang pasti dan sudah melangsungkan pembangunan, sekarang saja kerusakan hutan di wilayah Kalimantan dapat dikatakan mengancam habitat langka tersebut. Apalagi nanti digadang-gadang sekitar satu juta jiwa Aparatur Sipil Negara (ASN) di berbagai kementerian juga ikut pindah menemani kinerja pemerintah. Tentu efeknya bukan hanya bukan kepada hutan saja tetapi juga tingkat emisi dari kendaraan baik umum maupun dinas kemudian menyebabkan polusi.
Namun, meski begitu tidak usah ragu dengan pemerintah. Khawatir yang amat dalam akan lingkungan memang hal baik tapi ragu pada pemerintah tidak semestinya dilakukan, harusnya sebagai warga negara yang baik kita harus tetap mendukung. Sekali lagi demi kemaslahatan umat maksudnya masyarakat untuk menyongsong kehidupan masa depan dengan penuh kemakmuran.
Pokoknya pengkajian wilayah harus benar-benar matang untuk menekan terancamnya kelestarian hutan dan berdampak buruk kepada populasi flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Ini hanya sebatas opini saja yang tidak perlu dicermati lalu disungging tinggi-tinggi sebagai alasan salah bagi fenomena yang ada. Tulisan ini hanya cerminan kalau di negara ini memang masih bisa berdemokrasi. Pendapat umum masih dihargai.
Kalau menurutmu bagaimana? Pokok yang terpenting dari semua ini yakni jangan sampai orang utan yang terbiasa hidupnya di hutan menjadi orang kuto (orang kota)—jangan sampai. Tidak usah terlalu serius, my lov~