Abdul Somad, Arifin Ilham, Yusuf Mansur, Aa Gym, dan Rizieq Shihab. Sederet nama-nama itu adalah lima ulama berpengaruh versi Lingkar Survei Indonesia (LSI). Denny JA merilis hasil penelitian mereka soal ulama dan efek elektoral mendapati pengaruh kuat ulama terhadap pemilih sebesar 51,7 persen dari 1200 responden. Angka itu jauh di atas tokoh masyarakat lain di 20 persen, politisi 11 persen, dan pengamat 4,5 persen.
Setelah dikelompokkan, para tokoh ulama yang memiliki tingkat ketenaran atau pengenalan di atas 40 persen responden survei yang dilakukan 10-19 Oktober 2018 itu, dengan tingkat kesukaan masyarakat 50 persen, dan tingkat keberpengaruhan di atas 15 persen, muncul lima nama yang saya tulis di paragraf awal tadi.
Sementara, pada bulan Oktober 2019 Pusat Studi Strategi Islam (The Royal Islamic Strategic Studies Centre) di Amman, Jordania, merilis daftar 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia. Publikasi hasil survei tersebut ada nama Presiden Jokowi menempati posisi ke 13, Kiai Said Aqil Siraj posisi ke 19, dan Habib Luthfi bin Yahya menempati posisi ke 33.
Terhitung kurang lebih satu tahun rentan waktu antara survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordania. Di sini saya tidak bermaksud membandingkan antara keduanya, tapi alangkah baiknya kita juga melihat realitas yang terjadi sekarang ini, terutama saat bulan Ramadan.
Pada bulan Ramadan, tidak terhitung lagi berapa banyak kiai dan gus-gus pesantren yang turut menyelenggarakan ngaji online, ada yang melalui akun Facebook, channel YouTube, dan aplikasi lainnya.
Tetapi ada sedikit keunikan, jumlah penonton ngaji online yang diselenggarakan oleh kiai dan gus-gus yang berasal dari pesantren ini jauh lebih sedikit dari penonton live streaming kajian Islam yang diselenggarakan oleh ustaz-ustaz seleb.
Saya sedikit tercengang ketika melihat postingan akun Facebook Reya de Bruyère yang mengunggah hasil screenshoot pengajian online yang ia simak di YouTube. Di Postingan itu saya lihat ada Kiai Said Aqil Siraj yang sedang ngaji online dengan 64 jumlah penonton di 164 Channel – Nahdlatul Ulama.
Kiai Marzuqi Mustamar dengan 61 penonton di channel YouTube KH. Marzuqi Mustamar Channel. Gus Ulil Abshar Abdalla dengan 284 penonton di akun Facebook-nya. Kiai Aguk Irawan dengan 7 penonton di akun Facebook-nya. Sementara Ustaz Abdul Somad dengan 1708 penonton di channel YouTube Ustadz Abdul Somad Official.
Barangkali jumlah angka penonton itu hanya kebetulan saja pas santri-santri tidak online, sementara fans Ustaz Abdul Somad senantiasa semangat untuk mengikuti kajian Islam yang disampaikannya melalui online.
Sebagai seorang santri, tentu saya merasa cemas melihat angka penonton ngaji online yang diselenggarakan oleh kiai dan gus-gus yang kredibel di atas. Di manakah santri-santri saat kiai ngaji online? Itulah pertanyaan pertama yang belum saya temukan jawaban pastinya sampai sekarang.
Apakah materi kajian yang disampaikan oleh kiai dan gus-gus pesantren tidak menarik? Ataukah tim media digital ngaji online kiai dan gus-gus pesantren kurang cukup lihai membaca minat masyarakat? Kurang bagus dalam pengemasan desain dan tampilan yang disajikan ke masyarakat? Sehingga jumlah penonton ngaji online beliau-beliau teramat sedikit dibanding dengan ustaz-ustaz yang viral?
Kita tahu hasil survei Pusat Studi Strategi Islam (The Royal Islamic Strategic Studies Centre) Jordania di atas tadi, Kiai Said Aqil menempati angka ke 19 dari 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia. Sementara nama Ustaz Abdul Somad termasuk 5 ulama pada hasil survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI).
Sebagai santri yang kebetulan mempunyai ketertarikan dalam dunia digital, saya mengamati secara diam-diam keunggulan ustaz-ustaz yang viral itu, mereka memiliki tim IT dan tim media yang kompeten, desain dan visualisasi mereka memang menarik.
Sementara kiai dan gus-gus pesantren tidak seberapa peduli dengan hal-hal teknis semacam desain dan visualisasi dalam dakwah di dunia maya. Santri-santri hanya fokus mengaji dan belajar. Tapi belakangan alhamdulillah banyak sekali akun-akun pesantren yang mulai besar dengan jumlah follower dan subscribe yang besar pula.
Membaca tulisan KH. Imam Jazuli, Lc. MA yang berjudul Trend Ngaji Online dan Ambyarnya Kharisma Kiai NU, Sudah Saatnya Move On!, beberapa hari lalu, saya kemudian mencoba membuktikan seberapa besar ketertarikan santri-santri atau masyarakat dengan pengajian online dengan melakukan live streaming di akun Instagram @dawuhguru. Alhamdulillah pengajian online Kitab Tafsir al-Jailani yang diselenggarakan oleh Kiai Aguk Irawan di Pesantren Baitul Kilmah ternyata ada 700-an penonton yang menyimak dengan durasi pengajian selama setengah jam.
Angka penonton sedikit atau banyak, barangkali juga termasuk pengaruh dari jumlah followers yang ada. Lagipula, sosok kiai dan gus dari pesantren bukan untuk ditonton, melainkan diteladani dan diikuti laku tirakat dan semangat dakwahnya. Untuk itu, biarlah para kiai dan gus-gus kita yang mulia itu fokus kepada hal yang lebih besar, persoalan teknis di dunia maya biarlah santri-santri yang melakukannya.
Santri-santri sudah sepatutnya melek teknologi, menguasai desain grafis dan memahami peluang digital. Terutama admin-admin akun Instagram pesantren yang mempunyai followers banyak, sudah selazimnya mengikuti pengajian kiai dan gus-gus sembari live streaming. Agar dakwah digital dan trend ngaji online dari kalangan pesantren tidak kalah dengan kajian-kajian Islam online yang diselenggarakan oleh tim ahlinya ustaz-ustaz selebgram. Wallahu A’lam.
BACA JUGA Pandemi Corona Datang, Ngaji Daring Jadi Andalan atau tulisan Ahmad Ali Adhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.