Menanggapi Tulisan Panitia yang Paling Capek itu Divisi Perlengkapan: Maaf Mas, Belum Pernah Tahu Rasanya Menjadi Bendahara Pelaksana, ya?

bendahara pelaksana

bendahara pelaksana

Beberapa hari yang lalu, sebuah artikel dengan judul Panitia yang Paling Capek itu Divisi Perlengkapan tayang di rubrik Terminal Mojok. Artikel tersebut memuat tulisan mengenai betapa melelahkannya menjadi anggota divisi perlengkapan. Menurut penulis, divisi perlengkapan memiliki tugas yang sangat berat.

Namun, tahukah si penulis bahwa ada salah satu panitia yang pekerjaannya mungkin tak terlihat bahkan seolah tak kasatmata, tapi sangat melelahkan. Dia bukan bagian dari divisi apa pun, namun harus terkoordinasi dengan semua divisi. Namanya Bendahara Pelaksana yang seringnya disingkat menjadi Benpel.

Bendahara Pelaksana bekerja tidak seperti divisi kepanitiaan yang lain. Ia bekerja secara tak kasatmata. Bertugas untuk menghitung dan mengetahui jalannya peredaran dana. Jika divisi Danus (Dana Usaha) adalah orang-orang yang mencari dana, maka Benpel bertugas memegang dan mengawasi dana yang dipegangnya.

Berbeda dengan berbagai divisi lain yang sibuknya kadang hanya pada salah satu di antara pra, hari-H atau pasca acara. Maka tugas Benpel sudah dimulai jauh sebelum acara ditetapkan. Makanya, orang-orang yang dipilih menjadi Benpel biasanya melalui proses yang selektif dan tidak main-main.

Saya termasuk salah satu mahasiswa langganan yang menjadi Bendahara Pelaksana. Pekerjaannya mungkin tidak melelahkan secara fisik, tetapi batin. Setiap hari, saya harus membawa buku catatan untuk mencatat proses pemasukan dan pengeluaran dana, baik tanggal, jumlah uang yang dikeluarkan dan masuk, barang yang dibeli dan yang paling penting: NOTA.

Menjadi Benpel harus siap menjadi orang yang penuh curiga. Kira-kira begitulah petuah yang diajarkan senior pada saya. Jika ada panitia dari sebuah divisi meminta uang untuk membeli keperluan, Benpel harus bertanya sedetail mungkin: untuk apakah barangnya? Berapa jumlahnya? Pentingkah? Jika bisa, cobalah meminjam dulu, jangan langsung membeli apalagi untuk benda-benda sepele.

Setiap saat, baik ketika ada dana masuk atau keluar, Benpel harus selalu menghitung uang yang dipegangnya. Mencocokkannya dengan nota pembelian. Selisih lima ratus perak saja, rasanya sudah pusing apalagi jika selisihnya lebih dari itu. Uang harus dihitung berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa dana yang dipegang sudah sesuai dengan catatan pemasukan dan pengeluaran.

Di awal, Benpel harus berkoordinasi dan kadang sedikit memaksa divisi acara. Apalagi jika acara seminar yang mengharuskan para peserta mengeluarkan biaya. Untuk menentukan HTM (Harga Tiket Masuk), Benpel kadang lebih sering dibuat uring-uringan. Divisi acara inginnya pemateri yang “wah” untuk menarik minat peserta dengan HTM standar mahasiswa, tanpa perlu berbelas kasih melihat ketersediaan dana.

Alhasil, HTM harus dikalkulasikan dengan biaya paling mepet. Dimulai dari konsumsi peserta, honor pemateri, sertifikat peserta, hingga seminar kit dan fasilitas yang didapatkan peserta. Ujung-ujungnya, Benpel harus dengan tega menugaskan divisi acara untuk mencari peserta dengan target tertentu.

Selain itu, Benpel juga harus selalu berurusan dengan divisi konsumsi. Ketahuilah, jika konsumsi yang kalian dapatkan tidak terlalu luar biasa, di belakangnya pasti selalu ada Benpel yang dengan tega memotong banyak anggaran. Tujuannya tentu saja agar honor pemateri dapat dibayarkan meskipun dengan risiko memotong dana konsumsi.

Mungkin memang ada yang namanya sponsorship. Tapi, ketahuilah bahwa sponsorship justru menambah daftar panjang pekerjaan para Benpel. Jika terdapat 5 sponsorship, maka Benpel harus bersiap-siap untuk membuat 5 LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), belum lagi LPJ untuk Universitas atau Fakultas yang susahnya nauzubillah.

LPJ adalah puncak dari semua pekerjaan dari Benpel. Di sana, Benpel harus berurusan dengan hal-hal remeh yang sangat memusingkan, yaitu mencocokkan dana dengan nota. Ya, nota harus dilampirkan di LPJ. Wajib. Masalahnya, tidak semua keperluan pengeluaran ada notanya dan tidak semua nota lolos uji kelayakan LPJ dari kampus.

Kriteria terpenting dari nota dalam LPJ adalah harus ada tanggalnya, nama penjual, jumlah barang dan pengeluaran, stempel dan tanda tangan. Jangan lupa, nama tokonya juga harus dilengkapi dengan alamat. Kasarnya, bukan nota sembarangan yang bebas dijual di pasaran, tapi memang nota khusus milik toko tersebut. Memikirkannya saja saya sudah pusing.

Belum lagi jika LPJ yang diajukan justru ditolak dan direvisi berkali-kali. Rasanya sudah mau nangis saja. Bagian Keuangan di Fakultas atau Universitas biasanya berubah lebih killer dari pada dosen pembimbing tiap kali akan mengajukan revisian LPJ. Kejam!

Kali lain saya dan teman sesama Benpel juga mendapatkan kesulitan tanda tangan dan stempel birokrat kampus yaitu BEM. BEM yang saya ketahui memang ada sekre-nya, tapi para petinggi seperti Presiden Mahasiswa dan Sekretarisnya kadang selalu tidak di tempat. Padahal, di halaman pengesahan LPJ butuh TTD dan stempelnya BEM. hiks~

Jika para panitia dari semua divisi merasa senang dan bahagia sesudah suksesnya acara besar, maka Benpel tidak pernah bahagia. Kalaupun dia tersenyum, sesungguhnya dia hanya berpura-pura dan sedang menangis di dalam—tak kasatmata. Memikirkan pekerjaan yang harus ditanganinya setelah ini. Kesuksesan bagi Benpel adalah ketika LPJ-nya di ACC oleh Bagian Keuangan kampus. Itu sudah lebih dari cukup.

Jadi, untuk penulis yang kemarin mengatakan bahwa ‘panitia yang paling capek itu divisi perlengkapan’: maaf mas, kamu belum tahu rasanya menjadi bendahara pelaksana, ya? (*)

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.
Exit mobile version