“Potongan rambut menentukan nasib. Rambut gondrong dianggap sebagai sebuah ancaman sehingga kehadirannya dilarang. Yang gondrong dianggap sebagai preman, tak sopan, dan harus dihukum. Negara meletakkan dan menunjukkan kekuasaannya lewat tatanan rambut.” Kutipan artikel Aris Setiawan, esais dan dosen ISI Solo, berjudul “Rambut, Negara, dan Kuasa” yang tarbit di Radar Tasikmalaya memberi secuil gambaran, betapa konyol dan represifnya Orde Baru terhadap urusan rambut. Alasan utamanya karena rambut gondrong dinilai subversif.
Aria Wiratma Yudhistira, alumnus Departemen Sejarah UI, dalam “Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Politik Terhadap Anak Muda 1970-an”, menginformasikan banyak hal mengenai hal ini. Antara lain, represi Orba terhadap rambut gondrong dijalankan sangat serius, setidaknya melalui dua cara. Pertama, dengan menggiring opini masyarakat bahwa rambut gondrong identik dengan tindak kriminal. Disebarlah judul-judul berita di media massa dengan menyorot pelaku kriminal dari tatanan rambutnya. Saat itu berseliweran judul-judul seperti “7 Pemuda Gondrong Merampok Bis Kota”, “6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, “Disambar Si Gondrong”, dan sejenisnya.
Kedua, melalui penggalakan tindakan fisik bagi para gondrong secara sistemik dalam bentuk aturan-aturan yang diinstruksikan dari tingkat pusat kepada institusi negara di daerah-daerah, termasuk sekolah. Sejarah mencatat, Yogyakarta, daerah istimewa yang disebut sebagai Kota Pendidikan itu, pernah menjadi tempat digelarnya lokakarya soal tatanan rambut dalam ranah pendidikan. Saat itu kepala sekolah SMP dan SMA se-Yogyakarta berlokakarya dan menghasilkan keputusan melarang siswa memiliki rambut gondrong. Tak tanggung-tanggung, ancaman hukuman bagi siswa yang melanggar adalah dikeluarkan dari sekolah.
Bagaimana dengan pesantren? Sesuatu yang jelas hingga hari ini bahwa hanya ada segelintir pesantren–untuk tidak mengatakan nyaris tak ada–yang mengizinkan santrinya punya rambut gondrong. Sementara pada galibnya, pesantren mengatur rambut sebagaimana lazimnya sekolah formal “dulu” dan “kini” mengaturnya. Kendati sepintas sikap pesantren sama dengan sikap sekolah, namun hal ini tidak menutup kemungkinan alasan keduanya jauh berbeda. Pertanyaan pertamanya adalah, apa makna larangan ini?
“Larangan” atau al-nahy dalam kajian filsafat hukum Islam menawarkan dua opsi pemaknaan. Kalau bukan makruh, berarti haram. Pun sebaliknya. Salah satu indikator yang mengarahkan suatu larangan bermakna haram adalah adanya sanksi atau punishment bagi yang melanggar. Segeralah kita paham bahwa makna larangan tersebut adalah haram ma’hady, haram menurut aturan pesantren. Sebab, larangan itu diiringi ancaman tegas bagi yang melanggar, seperti dicukur paksa atau dikeluarkan dari ruang ujian.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa rambut gondrong diharamkan? Ini yang jarang dijelaskan. Atau, barangkali karena pertanyaan ini ditabukan sehingga nyaris tak ada yang (berani) menanyakannya?
Saya mencoba menghimpun beberapa kemungkinan. Pertama, rambut gondrong identik dengan kriminal dan pembangkangan. Jika betul mitos ini yang menjadi alasan, pesantren mengamini sekaligus mengamalkan sunah yang telah diwariskan Orde Baru.
Tetapi, saya tak mungkin menyama-nyamakan pesantren dengan rezim Orde Baru. Keduanya adalah entitas yang berbeda, dengan karakteristik dan cita-cita yang berbeda pula. Pengalaman saya menjadi santri pondok modern dan pondok salaf menunjukkan, pesantren adalah tempat dengan iklim demokrasi yang relatif baik.
Pesantren mengajarkan kita menghargai perbedaan pendapat lewat musyawarah. Termasuk membuka luas ruang kritik, senyampang disampaikan dengan elegan dan penuh tanggung jawab. Pesantren juga tidak menghendaki kita serta merta menilai orang dari tampilan luarnya. Pun saya husnuzan, pesantren tidak mungkin menaruh prasangka buruk, toh, semisal ada salah satu santrinya yang punya rambut gondrong. Dengan demikian, kemungkinan ini begitu lemah untuk dijadikan alasan suatu undang-undang.
Kemungkinan selanjutnya, pesantren melarang para santri berambut gondrong karena konvensi tingkat lokal. Guru-guru di pesantren telah ber-ijma’, telah bersepakat bahwa santri tak pantas berambut gondrong. Dan, kita didoktrin agar apresiatif terhadap terhadap ijma’ bahwa merusak ijma’ adalah perbuatan yang tercela. Tetapi, dengan penuh husnuzan pula, saya meyakini, hal ini tidak berarti membungkam atau mengharamkan santri untuk bertanya, melakukan klarifikasi, kritik dan seterusnya. Semua itu bukan tindakan tercela jika dilambari dengan etika. Sebab sekali lagi, pesantren bukan Orba, dan guru-guru kita bukan tiran yang anti-kritik.
Para santri masih diizinkan bertanya semisal, atas dasar apa mereka bersepakat bahwa santri tak pantas berambut gondrong? Apakah kepantasan adalah hal yang definitif sehingga dapat dijadikan ratio legis suatu hukum? Jika nyata-nyata dan tidak boleh tidak alasannya adalah kepantasan, mengapa mesti diundangkan (baca: “diharamkan”) secara tegas? Mengapa hukum yang oleh banyak pengamat sosial dinyatakan berada dalam tataran terendah dalam hirarki kontrol masyarakat justru dijadikan panglima? Tidak cukupkah urusan ini diinternalisasi secara implisit melalui hikmah, mauidzah hasanah, atau dialog yang mencerdaskan, alih-alih menggunakan hukum dan otoritas yang mencekam?
Demikianlah kiranya senarai pertanyaan yang mesti dijawab dan diumumkan oleh pemangku kebijakan. Mengapa mesti? Sebab sebagai makhluk rasional manusia senantiasa membutuhkan alasan-alasan untuk memantapkan laku dan tindakannya, bahkan dalam urusan beragama, lebih-lebih dalam urusan semacam ini. Meminjam ungkapan Cak Nun Abu Sabrang, budayawan kawakan asal Jombang itu, “Hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus.” Inilah di antara makna Sabda bahwa, “Agama adalah akal. Tiada agama bagi yang tak berakal.”
Lagi-lagi, sejarah mewariskan trauma karena telah membuktikan bahwa penyeragaman (dalam maknanya yang luas) yang didukung kuasa atau otoritas, dapat dikata selalu berhasil. Berhasil menciptakan keseragaman dan stabilitas. Kendati di saat yang sama juga berhasil membungkam kreativitas, menciutkan nyali tunas bangsa; serta mengukuhkan citra lembaga pemerintahan sebagai pusat pabrikasi manusia.
Tetapi pesantren punya imunitas yang tangguh untuk tidak terjatuh ke jurang tersebut. Pesantren masih mengajarkan adalah qiyas ma’al fariq, generalisasi, untuk tidak menyebut cacat logika, menyamakan santri berambut gondrong dengan garong di terminal atau pasar. Pesantren punya Gus Muwafiq, Gus Candra Malik, Gus Nadir, Cak Nun, dan masih banyak yang lain. Mereka semua berambut gondrong dan secara laku sosial maupun spiritual jelas-jelas jauh lebih saleh ketimbang para pejabat atau polisi yang berambut pendek dan rapi, tapi bermental korup. Susah ditolak bahwa rambut gondrong guru-guru kita itu tak sedikit pun mencederai kesantrian mereka.
Barangkali Anda menyanggah, “Ya, kan mereka Gus, Kiai. Ndak bisa Anda menirunya!”. Sanggahan ini bagi saya justru tuduhan samar kepada beliau-beliau. Seolah-olah ada yang bermasalah dengan penampilan mereka sehingga tak dapat ditiru. Saya berkeyakinan mereka adalah teladan yang baik, “luar” dan “dalam”. Sebab jika tidak, justru batallah ke-kiai-annya. Lagi pula, kiai macam apa kalau tak bisa ditiru laku (gondrong)nya?
Atau jangan-jangan alasan di balik larangan itu bersifat ta’abbudi, tak bisa dinalar, dan informasi mengenai ‘illat-nya dimonopoli oleh yang punya kebijakan, atau sekurang-sekurangnya hanya diketahui oleh mereka yang tajam hati dan cerlang akal budinya. Jika demikian, tulisan ini telah melakukan kesalahan fatal, sesuatu yang melampaui kapasitas penulisnya. Untuk itu, mohon maaf kepada pembaca budiman karena telah merelakan waktunya membaca tulisan yang agak panjang nan sia-sia. Duh!
BACA JUGA Bagaimana Rasanya Jadi Santri yang Pondoknya Dekat dengan Rumah? dan tulisan Saifir Rohman lainnya.