Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Memahami Kenapa Orang Bisa Berbeda Kepribadiannya Padahal Belajar Agama yang Sama

Haryo Setyo Wibowo oleh Haryo Setyo Wibowo
15 Oktober 2019
A A
agama sama hasil beda

agama sama hasil beda

Share on FacebookShare on Twitter

2 orang dikasih nasi sama banyaknya tiap hari, respon tubuhnya bisa jadi tidak seragam. 1 bisa gendut, 1 tetep kurus.

2 orang diajari agama yang sama tiap hari, pengaruh terhadap kepribadiannya bisa jadi tidak sama. Satu bisa jadi alim, satu tetep jahat.

Saya tadinya hendak menggunakan contoh 2 orang Shihab. Orang yang sama-sama makan nasi, belajar agama yang sama, mahzabnya juga saya kira sama, ahlus sunah wal jamaah, tapi outputnya bisa beda. Satu halus satu temperamen.

Tapi saya batalkan, karena orang cenderung berfantasi kalau saya tengah menyandingkan pribadi baik dan buruk. Keliru! Karena saya tidak hendak mengadili dan membicarakan itu.

Ok. Tetapi kita tetap bisa mempelajari bagaimana bisa dari satu ajaran, satu mahzab menghasilkan perbedaan dalam laku? Apakah bisa disederhanakan kalau halus melakukan upaya amar makruf, sementara yang galak melakuka nahi munkar? Betulkah keduanya membutuhkan perangai yang berbeda?

Narasi itu terlalu menafikan hal-hal yang sebenarnya juga bagian dari praktek beragama: tabiat, budi pekerti, lebih jauh lagi akhlak terpuji. Ilmu psikologi sebenarnya bisa menjangkau hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu dalam beragama.

Bagaimana orang tuanya mendidiknya? Bagaimana mereka bercengkrama? Kalau memang sudah ideal, bagaimana lingkungan pergaulannya? Belum tentu yang dididik keras akan menjadi pribadi yang keras. Di sekolah atau madrasah bisa saja guru lebih membentuk seorang anak jadi pribadi penuh kelembutan atau sebaliknya.

Lingkungan juga bukan semata gurunya saja yang berpengaruh. Siapa teman berpikirnya? Apa bahan bacaanya, benturan apa saja yang dialaminya dan seterusnya. Ini sering dilupakan. Kita lebih sering menyederhanakannya dengan kata “terpapar radikalisme”.

Baca Juga:

5 Istilah di Jurusan Ilmu Politik yang Kerap Disalahpahami. Sepele sih, tapi Bikin Emosi

4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya

Sepintas keren, ilmiah, dan masuk akal. Tapi impaknya tidak pernah kita pikirkan. Ada pesantren yang dicap sarang teroris, hanya karena santrinya ada yang jadi teroris. Sementara guru-gurunya tidak mengajarkan, pun kurikulumnya tidak didesain untuk membuat santrinya jadi fundamentalis.

Mudahnya begini, orang yang merasa dunia masih bisa diperbaiki dengan lisan tentu akan berpengaruh pada cara dia bersuara. Tetapi orang yang merasa dunia sudah sangat rusak, maka keluaran suara dan lakunya juga bakal lain.

Kalau menggunakan parameter tekun dan ikhlas saja kemudian menyandingkannya dengan ilmu lainnya, katakanlah fisika, menurut saya aneh dan akan gagal sebelum kita mendapatkan jawabannya. Bahkan sangat mungkin konklusinya akan fatal: agama tidak bisa mempengaruhi akhlak atau jadi sarana untuk mengajak kebaikan.

Ya ini sekedar otak atik logika saja. Sangat mungkin keliru! Intinya fragmen hidup orang per orang itu memang berlainan. Itu sangat menentukan juga saat mereka berinteraksi selanjutnya.

Saya kerap membaca betapa bangsatnya Ibnu Muljam, sarjana islam yang di masa kekhalifahan Umar begitu dimuliakan dan diberi kehormatan menjadi guru agama di Mesir. Tidak ada alasan selain pengetahuan agamanya sangatlah baik. Beberapa sumber menyebutkan dia hafal dan ahli Quran.

Tetapi ada satu kejadian yang membuat dia dan pengikutnya membelot. Dia yang semula mendukung Ali, tidak menyukai bagaimana Sayidina Ali menyikapi perang shiffin. Dalam keyakinan, kedongkolan, dan fatasinya yang semakin menumpuk, Ali dianggapnya tidak menjalankan hukum Allah dan pantas dibunuh. Dan itu dilakukannya sambil menyebut kebesaran namaNya.

Ada sumber yang menyebut kalau bibit-bibit pembelotannya tersemai dengan baik justru selama dia mengajar di Mesir. Apa mungkin? Ya mungkin saja seorang guru terpengaruh pada murid dan lingkungan pergaulannya. Bisa saja dia diunggul-unggulkan karena pengetahuannya yang luas kok cuma jadi guru? Bisa saja dia diberi info palsu kalau Sayidina Ali mengabaikan banyak hukum Allah, lemah, dan tidak berpihak pada pendukungnya sendiri.

Politik memang sadis dan kerap mengejutkan. Atmosfer ini juga mempengaruhi bagaimana orang kemudian bersikap, berbicara dan bahkan menjadi agen pelantang yang dalam benaknya teriakan kebenaran. Rakyat kerap menjadi obyek yang diombang-ambingkan kebutuhan politik.

Apakah kita bakal menjadi Ibnu Muljam baru atau tidak, latar belakang psikologinya sangat menentukan. Lho serius, fitnah besar di lapangan politik bisa membuat gila orang-orang yang secara mental sudah sakit. Orang disuruh memahami bahwa dalam politik harus ada kompromi, di kesempatan lain para aktornya menciptakan kondisi perang kebaikan lawan kejahatan.

Ya nggak?

Bisa jadi karena sakit mental kita tidak sedemikian parah, kita tidak tega membunuh manusia. Tetapi sadar atau tidak kita kerap menyuburkan pembunuhan karakter. Hal yang sebenarnya sama mengerikannya. (*)

BACA JUGA Muslim United: Jargon atau Arah Baru? atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya. Follow Facebook Haryo Setyo Wibowo.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Februari 2021 oleh

Tags: agamaPolitik
Haryo Setyo Wibowo

Haryo Setyo Wibowo

ArtikelTerkait

3 Film Korea tentang Kesenjangan Sosial selain Parasite terminal mojok.co

3 Film Korea tentang Kesenjangan Sosial selain Parasite

7 Desember 2020
Saya Sempat Kegocek Narasi Keliru Kapitan Pattimura Sebelum Baca Sumber yang Lebih Kredibel

Saya Sempat Kegocek Narasi Keliru Kapitan Pattimura Sebelum Baca Sumber yang Lebih Kredibel

6 Juli 2022
Praktik Akad Nikah di Sekolah Nggak Berfaedah, yang Lebih Penting Masih Banyak!

Praktik Akad Nikah di Sekolah Nggak Berfaedah, yang Lebih Penting Masih Banyak!

9 November 2022
Fungsi Menanyakan Agama Orang Itu buat Apa, sih? terminal mojok.co tiktok war tanya agama sopan atau nggak

Fungsi Menanyakan Agama Orang Itu buat Apa, sih?

16 Desember 2020
aldi taher muncul sebagai bakal calon wakil gubernur sulteng gerakan millenials mengaji mojok.co

Orang Seperti Aldi Taher Jangan Terlalu Dipikir

5 September 2020
Mana yang Betul Pantekosta atau Pentakosta terminal mojok

Memperdebatkan Pentakosta dan Pantekosta: Mana yang Betul?

17 Oktober 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

3 Desember 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
8 Aturan Tak Tertulis Tinggal Surabaya (Unsplash)

8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana

1 Desember 2025
Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.