Tak dapat dimungkiri jika Amerika Serikat merupakan negara superpower alias adidaya di muka bumi ini. Hampir segala bidang kehidupan mereka kuasai, termasuk dalam olahraga sekalipun.
Pada bidang olahraga, kedigdayaan Amerika Serikat bisa dilihat pada ajang sekelas Olimpiade. Tercatat negara ini menjadi yang tersukses di ajang olahraga terakbar di dunia dengan total perolehan medali mencapai 2,520 hingga saat ini.
Meskipun demikian, bukan berarti Amerika Serikat itu jago di segala bidang olahraga. Di sub bidang olahraga sepak bola, Amerika Serikat bukan negara yang begitu diperhitungkan.
Tapi eh tapi, bukan berarti timnas Amerika Serikat itu benar-benar medioker lho. Sejarah mencatat bahwa mereka pernah menjadi juara ketiga di ajang Piala Dunia 1930. Tentu saja dengan format kompetisi serta jumlah peserta yang sangat berbeda dengan Piala Dunia yang kita kenal sekarang.
Sebenarnya, cukup wajar bila sepak bola Amerika Serikat tak sedigdaya negara-negara di Amerika Latin maupun Eropa. Dari segi popularitas saja, olahraga ini hanya berada di peringkat kelima.
Di tengah ketidaktertarikan masyarakat Amerika Serikat akan sepakbola, talenta-talenta muda asal negeri Paman Sam justru mulai menginvansi beberapa klub top di Eropa. Ada Christian Pulisic di Chelsea, Sergino Dest di Barcelona, serta Weston McKennie di Juventus. Belum lagi kalau nama-nama seperti Giovanni Reyna, Conrad de la Fuente, dan lainnya dimasukkan.
Dari segi usia, mereka masih tergolong muda bahkan sangat muda. Selama memiliki arah yang tepat serta jam bermain yang cukup, bukan tidak mungkin para pemain muda ini bisa membawa timnas Amerika Serikat berbicara banyak di pentas dunia, khususnya di Piala Dunia.
Kondisi yang sedemikian rupa tersebut membuat nurani ini tergelitik. Sebagai rakyat yang mencintai sepak bola, saya juga ingin melihat pemain-pemain Indonesia bisa bermain di klub-klub top Eropa seperti mereka. Kemudian membawa dampak terhadap timnas Indonesia.
Akan tetapi, ada banyak kendala yang mungkin harus dihadapi dan diatasi. Salah satunya terkait dengan peringkat FIFA. Per Desember 2020, Indonesia terjebak di peringkat 173 bersamaan dengan Kamboja. Sementara Amerika Serikat berada di peringkat 22.
Peringkat ini bukan hanya sekadar angka saja. Liga seperti Premier League memandang serius terhadap hal ini. Agar pemain bisa memperoleh izin kerja di Inggris, negara asal pemain tersebut minimal harus berada di peringkat 50 besar versi FIFA. Plus, ada aturan persentase minimum penampilan internasional selama 24 bulan bagi pemain tersebut.
Meskipun demikian, sebenarnya ada setitik celah yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk mentas di Premier League. Pemain bisa saja mengajukan banding untuk mendapatkan izin kerja. Tapi, metode ini akan jauh lebih rumit daripada dengan mengikuti aturan sesuai paragraf sebelumnya.
Hal ini juga yang kabarnya membuat Bagus Kahfi gagal main di Arsenal. Meskipun sempat menarik perhatian dari klub tersebut, peringkat Indonesia yang berada jauh di bawah standar Premier League—yang waktu itu masih berpatokan pada 70 besar versi FIFA—membuat klub London Utara tersebut mengurungkan niatnya. Beruntung, kegagalan ini masih bisa membawanya bermain di klub Eropa lainnya, FC Utrecht.
Kegagalan Bagus Kahfi seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi para pengurus PSSI. Sudah sering kritikan masuk namun belum ada perubahan yang berarti. Lebih banyak polemik yang terdengar daripada prestasi atau perkembangan positif sepak bola.
Meskipun demikian, selalu ada harapan agar Sang Garuda bisa bangkit dan terbang setinggi mungkin. Sejauh ini, ada sosok seperti Shin Tae-yong yang menangani timnas Indonesia. Beliau bukan pelatih sembarangan. Coach Shin Tae-yong pernah menangani Korea Selatan di ajang Piala Dunia 2018 meskipun gagal di fase grup.
Harapan ini memang terdengar klise alias basi. Namun, sebagai orang Indonesia asli, tentu ada harapan agar Indonesia bisa mentas di Piala Dunia. Bosan juga rasanya kalau terus-menerus mendukung timnas lain di ajang tersebut.
Bukan tanpa alasan jika sepakbola perlu diperhatikan. Perlu diingat bahwa sepak bola merupakan olahraga terpopuler kedua setelah badminton. Kalau melihat peringkat popularitas tersebut dengan Amerika Serikat yang saya bahas sebelumnya, tentu hal ini bisa menjadi tamparan keras.
Plus ada faktor sejarah yang berbicara. Meskipun tak sementereng Amerika Serikat, setidaknya Indonesia—lebih tepatnya Hindia Belanda—pernah mencicipi kompetisi Piala Dunia di tahun 1938. Bahkan Indonesia diakui secara resmi oleh FIFA sebagai negara pertama dari benua Asia yang pernah mentas di ajang Piala Dunia.
Memang tak mudah untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia. Banyak hal yang perlu dibenahi. Mulai dari sistem kompetisi hingga fisik para pemain yang sempat dikeluhkan oleh Coach Shin tae-Yong. Pekerjaan rumah ini tentu bukan hanya menjadi milik PSSI saja, melainkan juga menjadi milik seluruh insan yang menggeluti sepak bola di Indonesia.
BACA JUGA 3 Salah Kaprah tentang Mabuk Perjalanan dan tulisan Muhammad Fariz Kurniawan lainnya.