Kita hidup di dalam keanekaragaman manusia. Kita hidup dalam kemajemukan yang tak jarang menjemukan. Setiap kepala punya pikiran sendiri, baik yang disampaikan ataupun ditahan-tahan. Jadi, jika ada melihat pemuda suburban tengah nongkrong di pagi, siang, hingga malam hari, bolehlah Anda punya penafsiran dan justifikasi versi Anda sendiri. Saya pribadi sempat menjadi bagian dari budaya pinggiran kota itu. Saya tak sepenuhnya lepas dari tongkrongan, hanya frekuensinya saja yang berkurang. Bisa dibilang, mereka ini ganteng doang nongkrong depan gang.
Sejarah terciptanya budaya ini juga tak mudah diteliti, minim dokumentasi. Namun, tiap daerah, tiap gang, tiap jalan tikus, tiap pinggir jembatan, tiap pinggir kali, punya sejarah dan ceritanya sendiri-sendiri. Di tempat saya misalnya, ada satu titik sentral pemusatan budaya nongkrong ini. Sebuah pertigaan, tempat angkot dan tukang ojek mangkal, merupakan pusat pemerintahan dan personalia dari budaya nongkrong. Penataran yang cenderung bersifat kekeluargaan dilakukan di tempat ini. Nongkrong di zaman ‘70 sampai ’80-an, semua semata-mata untuk menjaga keamanan, karena memang para anggota pengaman yang mendiami (mereka ini yang pada akhirnya dikenal sebagai konteng atau preman).
Nongkrong di kala itu, dipandang sebagai kebutuhan keamanan juga eksistensi tiap daerah. Pangkalan ojek ini, melawan pangkalan ojek sana, bukan dengan adu jotos, tapi adu olahraga.
Tiap konteng akan membentuk tim voli atau sepak bola, tentu melibatkan anak daerah situ, kebanyakan anak yang ikut nongkrong. Jadi di masa itu, nongkrong di daerah suburban yang keras, adalah hal yang bisa dipandang positif, walau miras dan judi juga ikut berpartisipasi. Pokoknya anak muda punya wadah dan kegiatan yang positif. Waktu bergeser ke media ’90-an, saat preman senior mulai pensiun, muncullah generasi anak muda lain, tetap mengikuti kegiatan olahraga dan saat itu ditambah belajar musik dan kesenian jathilan, namun sayang judi dan miras terlalu mendominasi.
Sehingga pada akhirnya, nongkrong di tempat itu sudah bukan sesuatu yang membanggakan dan terkesan positif lagi. Yang membuatnya makin terpuruk adalah, para penerus ini hanya mengikuti lifestyle-nya saja. Nongkrong tapi nggak kerja, jika dulu iuran dan uang keamanan hanya sebatas seikhlasnya dan yang penting dihormati, di medio ’90-an ini semua dilakukan dengan pemaksaan, nggak asik. Sehingga di masa inilah, nongkrong mulai dipandang negatif dan orang tua melarang anaknya keluar.
Masuk ke era 2000-an, masa kecil saya. Angkot dan ojek sudah mulai ditinggalkan masyarakat suburban. Di era ini, motor dan mobil pribadi merajalela, pertigaan menjadi sepi, kering kerontang. Tempat nongkrong pun berpindah masuk ke sudut gang atau depan warung kelontong (angkringan belum masuk wilayah saya, Magelang). Abang-abang saya ini kerjanya ya main PS dan Sega, ngerokok, minum di malam Minggu, main voli atau sepak bola di sore hari, sampai touring naik motor keluar kota. Kekompakan masih ada, namun unsur miras dan judi mulai berkurang, yang hilang adalah sosok penjaga ataupun preman. Alhasil, olahraga kurang berkembang dan kesan yang timbul hanyalah main-main saja. Alat musik dan peralatan jathilan rusak tak terawat, hingga pada akhirnya hilang entah kemana. Para orang tua mulai melihat nongkrong era ini sebagai gaya-gayaan saja, main saja, membuat nilai sekolah jelek dan lama-kelamaan, hilang ditelan zaman. Kini, hanya sedikit yang mengamalkan nongkrong jenis ini, saya boleh mengaku sebagai angkatan terakhir, angkatan 2010-an ke sini dikit. Angkatan tanpa miras dan judi, namun penuh medsos.
Saat fenomena nongkrong pemuda suburban hilang, rupanya banyak hal positif yang ikut raib. Maling merajalela, hajatan dan orang meninggal sepi sinoman (penjelasan mudahnya, para pemuda tukang angkat baki minuman dan snack), kerja bakti sepi pemuda, dan yang paling menyedihkan, olahraga dan kesenian tak berkembang. Rupanya, tanpa adanya nongkrong, lini kepemudaan menjadi ambrol, kurang kompak. Di era saya, tanpa disuruh, jika ada orang meninggal atau dimintai tolong di hajatan, kami selalu siap sedia jadi sinoman. Ada kerja bakti, langsung berangkat. Semua itu terjadi, karena ada abang-abangan yang jadi panutan, walau ngajarin minum, tetap saja merekalah yang mengajari untuk menjadi bagian dari masyarakat dengan baik dan benar, mabuk boleh, rusuh dan apatis jangan.
Era ABG saya, nongkrong mulai berganti menjadi organisasi karang taruna, kami rutin berkumpul setiap seminggu sekali, membuat program kerja, dan lain-lain. Tentu setelah itu ngumpul di depan gang atau warung, namun tetap aktif di kegiatan desa. Sekarang, tak ada lagi ABG yang mau ikut rapat karang taruna, entah kenapa para orang tua juga tak memperbolehkan anaknya ikut kumpulan. Sudah berkali-kali saya dan teman-teman melakukan semacam ajakan dan permohonan izin ke orang tua, agar anaknya boleh ikut kegiatan kami. Namun sepertinya, kegiatan kami tak bermutu dan hanya akan mengganggu sekolah dan kuliah putra putrinya.
Lalu kenapa nggak (dibolehin) ikut kerja bakti dan nyinom? Bukankah itu kegiatan positif? Dan di mana buruknya karang taruna?
Nyatanya stigma negatif tetap harus kami terima, karena kami lulusan tongkrongan, sehingga tak bisa dipercaya. Pergeseran budaya nongkrong, rupanya berimbas pada menipisnya rasa kesatuan dan kerukunan. Nongkrong doang depan gang, yang selama ini dianggap sebagai kegiatan negatif, rupanya benar-benar kita butuhkan di era keAkuan dunia penuh medsos ini.
BACA JUGA 7 Spesies Operator Sound System yang Sering Muncul di Hajatan Kampung dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.