Yuval Noah Harari adalah penulis best seller. Seseorang yang kini dianggap paling mampu untuk memprediksi masa depan itu, dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow mengatakan suatu hal. Katanya, perkembangan teknologi yang begitu cepat akan membawa dunia kepada disrupsi yang tak terkendali. Di mana kecerdasan buatan akan mengalahkan manusia dalam segala aspek. Hal ini akan membawa manusia pada suatu permasalahan sosial baru, yakni munculnya kelas ‘manusia tidak berguna’. Duh ngeri amat.
Sebenarnya ramalan Harari ini sudah pernah disampaikan Einstein meski dengan redaksi yang sedikit berbeda. Ia mengatakan, “Saya takut bahwa suatu saat teknologi akan melampaui umat manusia dan pada saat itu dunia akan dihuni oleh orang-orang idiot.” Meskipun ada begitu banyak perdebatan tentang kebenaran benar tidak kutipan itu, tampaknya dunia mulai menjurus ke arah sana. Lihat saja kaum rebahan yang hobinya nonton YouTube, main Facebook, Instagram, dan tweetwar rela menghabiskan waktu mereka dengan sia-sia. Bukannya menggunakan teknologi dengan efektif tapi hanyut dikuasai teknologi itu sendiri.
Akibat terlalu sering nonton YouTube, akhirnya malah terjebak trading saham karena selalu nonton iklan Binomo yang menampilkan sosok Budi Setiawan sang trader profesional. Bukannya untung tapi mak, rugi mulu. Tentu saja karena untuk menjadi trader profesional tidaklah mudah, dibutuhkan investasi uang yang besar, dan waktu yang sabar sebagai modal. Mana ada trader pemula bakal sukses dengan cepat hanya dengan bantuan aplikasi. Kalau ada ya semua orang jadi kaya karena untung. Kalau semua orang untung, lantas siapa yang rugi? Duit kan berputar terus, mana mungkin semua untung?
Terbukanya borok bahwa Budi Setiawan bukanlah trader profesional dengan penghasilan US$ 1000 perharinya tanpa keluar rumah, yang ternyata hanyalah orang susah yang hidup ngekos di Bali. Membuat netizen kecewa. Harapan menjadi trader profesional dengan bantuan Binomo sirna sudah. Semua kisah tentang Budi Setiawan ternyata palsu semata, dibuat untuk menarik sebanyak-banyaknya kaum rebahan yang ingin kaya tanpa kerja.
Para milenial tidak bisa disalahkan karena memang mencari kerja zaman sekarang susah sekali. Maka ketika ada bukaan CPNS beramai-ramai mereka datang karena hanya PNS saja pekerjaan yang dianggap paling aman dengan risiko sangat sedikit (menolak mengatakan tanpa risiko). Pekerjaan lain tentu saja mengalami banyak risiko di era disrupsi ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk kita yang di hidup di negara ber-flower saja telah terlihat beberapa pekerjaan sudah digantikan dengan teknologi. Salah satu contoh yang paling nyata terjadi adalah munculnya mesin ATM yang mulai menggantikan pegawai Bank. Belum lagi para teknisi yang semakin tidak sabar dan mulai menciptakan mobil yang dioperasikan tanpa supir, hanya dengan kecerdasan buatan. Pada tahun 2025 diprediksi 60% pekerjaan akan diambil alih oleh kecerdasan buatan. Lantas apa yang tersisa untuk umat manusia ini?
Para milenial yang sedang dilema dalam menentukan apakah setelah lulus akan langsung bekerja atau berkuliah, jika berkuliah sebaiknya mengambil jurusan apa, atau kemampuan apa yang akan sesuai dengan pasar kerja masa depan, dibuatnya semakin gelisah dengan keadaan ini. Muncul pertanyaan, seperti apa pekerjaan yang bisa bertahan atau terdisrupsi oleh perkembangan teknologi? Apa kira-kira pekerjaan yang bisa bertahan di masa depan? Lantas apakah harus kuliah atau langsung kerja? Jika kuliah ambil jurusan apa? Kemampuan seperti apa kira-kira yang akan terus diperlukan umat manusia kedepannya?
Harari menjelas kemampuan yang paling dibutuhkan seseorang adalah menyiapkan kecerdasan emosional dan keseimbangan mental karena kedepannya tantangan terbesar adalah tantangan psikologis. Karena meskipun ada pekerjaan baru yang mungkin pemerintah siapkan untuk kita, tentu saja kita harus terus melatih diri dan tiada henti belajar.
Berbeda dengan zaman sebelum-belumnya ketika perubahan tidak datang dengan cepat, ke depannya kemungkinan besar tidak akan seperti itu. Sebab, dibutuhkan apa yang disebut mental fleksibilitas untuk menangani transisi. Semakin tua manusia, semakin susah untuk menghadapi transisi. Pada usia 20-an hal ini akan lebih mudah tapi seiring usia bertambah 40, 50, dan seterusnya transisi akan sangat membuat stres.
Jadi satu-satunya kemampuan yang paling dibutuhkan adalah menyiapkan kecerdasan emosional dan keseimbangan mental untuk menghadapi masa transisi yang mungkin harus dihadapi berkali-kali. Pasalnya, masa depan yang semakin tak menentu, mimpi jadi Budi Setiawan sirna, mari berharap setiap tahun ada bukaan PNS, siapa tahu beruntung dan negara ini tidak bangkrut tentunya.
BACA JUGA Viral! Bahaya Memakai Aplikasi FaceApp atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.