Pada suatu waktu, teman saya yang kebetulan pegiat makanan dan dunia kuliner, berujar sesuatu kepada saya. “Orang-orang kenapa dah suka banget makanan pedas?” Belum selesai kaget saya, si teman ini melanjutkan lagi, “Makanan pedas itu menghilangkan esensi rasa dari makanan itu sendiri”.
Sebelum dia melanjutkan, saya segera memotong untuk mengiyakan apa yang si teman tadi katakan. “Ya emang kan? Bukannya makan terlalu pedas justru membuat lidah kita kehilangan sensitivitas untuk rasa yang lain?” Saya nyerocos saja seenak jidat.
Sebagai manusia yang butuh makan, saya juga makan. Dan bisa dibilang saya menyukai pedas sejak saya kecil. Salah satunya karena abang saya yang pernah merantau ke daerah Maluku Utara membawa budaya makanan pedas dari sana. Akibat dari asimilasi budaya makanan pedas itu, akhirnya orang-orang di keluarga saya ikutan menjadi penyuka makanan pedas.
Saya bahkan sempat sangat tergila-gila dengan makanan pedas. Pernah pada suatu waktu, kami membuat ikan bakar. Lalu sebagai pelengkapnya, kami bikinkan dabu-dabu, sambal khas orang-orang Timur. Yang unik dari sambal pelengkap itu justru ada pada cabe yang kami gunakan. Percaya tidak percaya, sambal dabu-dabu itu kami beri cabe 1/4 kg.
Tebak apa yang terjadi dengan rasa dabu-dabu tersebut? Pedas level maksimal. Bahkan menyantap minyak sambal di bagian pinggir saja sudah bisa bikin lidah mati rasa.
Ketika saya merantau ke Tanah Jawa, saya seakan masuk ke surganya dunia kuliner. Di sana-sini segala bentuk makanan harus ada sambalnya, dan harus pedas. Saya terbiasa dengan makanan pedas ini hampir selama dua tahun. Tapi, semua berubah setelah itu.
Pengetahuan tentang dunia yang senang-senang ternyata selalu berbanding terbalik dengan kesehatan. Semakin senang kita dengan satu jenis makanan, semakin kesehatan kita terancam. Ketika minum alkohol sedikit, bisalah buat mata melek atau sekedar panas-panas badan. Tapi, jika minum alkohol dalam jumlah yang banyak, mabuk yang kita dapat. Belum lagi jika itu dilakukan secara terus menerus, kesehatan kita akan ikut-ikutan terganggu.
Hal yang sama tentu saja berlaku juga kepada dunia makanan. Makan sedikit mungkin hanya sekedar mengisi perut kosong. Ketika makan banyak, perut jadi membengkak. Jika dilakukan secara terus menerus, perut akan menjadi segede galon.
Jadi sudah mulai bisa dilihat kan arahnya? Makan dengan level pedas sedikit, boleh lah ya. Tapi, jika pedasnya sudah bikin bergetar, itu makan atau lagi debus lambung?
Benar apa kata teman saya di awal tadi, rasa sedap makanan hilang tertimpa pedas. Bahkan enaknya makanan tidak lagi kita rasakan. Yang ada justru kita seperti makan cabe, bukan menikmati makanannya. Nikmatnya makanan kita terganti dengan bunyi “sh-sh-sh” sebagai respon mulut atas pedasnya makanan.
Tapi nih tapi, masih ada juga yang bilang, enak ya makanannya? Oh, hellloww. Menurut ngana, makanan itu yang dicari apanya? Enaknya atau pedasnya? Gini lho gini, misal kita mau makan mi nih ya, itu yang dicari rasa minya atau rasa cabenya?
Lagian, maaf maaf aja nih ya. Makanan pedas punya dampak buruk untuk kesehatan. Sama halnya kek makanan yang berlebihan tadi. Mulai dari nyeri perut, maag akut, sampai insomnia bisa jadi penyebabnya adalah makanan pedas yang kita konsumsi setiap hari. Belum lagi penyakit-penyakit lainnya.
Sedikit cerita tambahan, saya mengakhiri karier saya di dunia makanan pedas karena banyak faktor. Salah satunya, dua atau tiga teman saya mengalami penyakit pencernaan bahkan sampai operasi karena makanan pedas. Paling tidak itu keterangan dari dokter saat mendiagnosis mereka. Dan sebagai orang yang tidak terlalu suka ambil risiko, terutama soal kesehatan, ya saya menghentikan kegiatan makan pedas saya dong.
Saya mikir, makan pedas sudah menyerang sampai sejauh itu ternyata. Bukan lagi sekedar “sh-sh-sh”. Konyol aja kalau keinginan makan makanan yang harga atau bikinnya tidak seberapa, malah akibatnya masuk rumah sakit bahkan sampai harus dioperasi. Sudahlah makannya tidak nyaman karena kepedasan, malah harus keluar biaya banyak karena penyakit yang menggerogoti setelahnya. Ya saya semacam nggak rela aja gitu.
Apa saya melarang kalian makan makanan pedas? Nggak juga sih, tapi, pikir lagi risikonya. Atau, takar kemampuan kalian. Makan itu bukan kontes, tapi kebutuhan. Kan nggak lucu juga kalian operasi karena ayam geprek kalian kebanyakan cabe.
Penulis: Taufik
Editor: Rizky Prasetya