Membaca artikel Mbak Dyan Arfiana Ayu Puspita yang berjudul Gelar Hajatan Itu Nggak Wajib, Buat Apa Dipaksakan? membuat saya teringat dua pesan penting yang digadang-gadang saat mau menikah dulu.
Pesan pertama, resepsimu sejatinya adalah resepsi orang tuamu. Yang jelas, kamu nggak akan bisa menolak segambreng daftar undangan dari mereka. Bisa jadi, hal ini pula yang melatarbelakangi hajatan pernikahan seakan menjadi “fardhu ain” yang nggak cuma untuk calon manten, tapi juga orang tua dan calon besan.
“Jangan egois, Anakku. Papa, Mama, bahkan Bude dan Pakdemu juga pengin ngundang orang di hajatanmu!”
Pesan kedua, makanan yang disajikan benar-benar nggak boleh dianggap remeh. Pada saat itu, saya sampai meyakini bahwa makanan adalah hal krusial kedua setelah kehadiran bapak penghulu. Kalau bapak penghulu ditunggu untuk melabeli “halal” hubungan kedua manten, maka yang melabeli “sukses” hajatanmu itu ya karena makanan catering.
Di kalangan tamu undangan, makanan catering lebih berperan membentuk kesan yang baik dibandingkan kelancaran acaramu. Tamu mungkin bisa “memaafkan” kalau pestamu terlambat karena manten kelamaan dandan atau bapak penghulu kejebak macet. Tetapi tamu belum tentu legowo dan “memaafkan” perkara makanan. Bisa jadi, “kegagalan” makan di hajatan ini akan teringat terus dan menjadi bahan gibah abadi.
Makanan hajatan yang biasanya dinilai baik paling minimal adalah semua tamu kebagian makan, dengan porsi yang layak. Nggak usah mikirin kombinasi menu kudu empat sehat lima sempurna, rasa makanan yang ala bintang lima dengan harga kaki lima, atau bagaimana tampilan yang edgy di dalam besek. Itu belakangan. Yang penting, semua tamu bisa makan “layak”.
Kenapa makan “layak” perlu saya tekankan di sini? Karena saya suka miris melihat tamu-tamu undangan yang kehabisan “makanan utama” akhirnya menyerbu meja puding dan buah saja daripada nggak makan. Saya bahkan pernah kondangan yang sampai sana tinggal tersisa pisang satu sisir. Padahal saya datang masih dalam rentang waktu sesuai yang tertera di undangan.
Pernah lihat orang atau serombongan orang pakai baju kondangan, dengan kebaya meriah, makeup bling-bling, dan sepatu hak “tak tuk tak tuk” kemudian makan di KFC? Nah, bisa jadi mereka juga kelaparan sehabis kondangan. Kehabisan makanan ini akan selalu menjadi tajuk yang lebih menarik dibandingkan variasi menu dan rasa makanan.
Biasanya, pihak catering akan memberikan rumus untuk menghitung berapa porsi yang seharusnya dipesan oleh calon manten. Namun untuk makanan prasmanan, nggak jarang orang sengaja memesan porsi makanan lebih sedikit dari jumlah undangan yang disebar. Harapannya, “lebihan” dari porsi prasmanan bisa mencukupi “lebihan” tamu yang datang. Tapi yang biasanya nggak terpikirkan adalah nggak semua undangan yang disebar berwujud dua orang saat resepsi. Bisa saja satu undangan bermutasi menjadi tiga orang untuk pasutri dengan anak satu, atau bahkan empat orang untuk pasutri dengan anak satu plus babysitter-nya.
Dari sebuah perusahaan catering yang saya ajak ngobrol, saya mengetahui bahwa perhitungan yang paling aman untuk menyiapkan hidangan prasmanan di hajatan adalah minimal 2,5 kali dari jumlah orang yang hadir, ditambah jumlah anggota keluarga, sanak saudara, dan para krucil mereka tentunya.
Dengan asumsi satu undangan berwujud dua orang dewasa, jadi kalau kamu menyebar 500 undangan dan handai taulanmu berjumlah 100 orang, maka jumlah porsi makanan catering yang harus kamu pesan adalah (500 undangan x 2 orang) + 100 orang. Totalnya 1.100 porsi. Mau nggak mau, suka nggak suka.
Sebenarnya bisa diakali dengan penyediaan makanan di stall. Tapi, kalau kamu beranggapan tamu yang sudah coba makanan stall nggak akan ngelirik prasmanan, saya yakin kamu nggak pergi kondangan. Percayalah, tamu yang hadir mempunyai kecenderungan (((yang dominan))) untuk melakukan invasi ke stall dan meja prasmanan. Termasuk saya.
Makanan dengan sistem besekan, menurut saya kekuatannya ada di kombinasi menu. Toh dari segi biaya juga sudah lebih murah daripada prasmanan, kan, mbok ya isinya jangan ikut-ikutan dipermurah. Kasihan kan Mbak Dyan yang di artikelnya jadi kudu masak Indomie sebagai substitusi penggugah seleranya setelah melihat menu besekan. Saya yakin di luar sana banyak “Mbak Dyan” lain yang nggak rela di PHP-in besek saat unboxing.
Jadi, kalau kamu pengin hajatanmu memorable, nggak usah mikirin lokasinya yang kudu di puncak Semeru tempat kalian pertama kenalan, atau susah-susah mikirin gimana Doraemon bisa hadir jadi saksi nikahanmu. Percuma! Yang dipedulikan tamu itu cuma makanan. Dan yang akan diingat tamu itu makanan yang enak banget atau malah memilukan.
BACA JUGA Sistem All You Can Eat di Pesta Pernikahan yang Lebih Sering Jadi Bahan Ghibah dan tulisan Dessy Liestiyani lainnya.