Culture Shock Mahasiswa Solo yang Merantau ke Jogja, Ternyata Biaya Hidup Lebih Mahal 

Culture Shock Mahasiswa Solo yang Merantau ke Jogja, Ternyata Biaya Hidupnya Lebih Mahal  Mojok.co politik jogja

Culture Shock Mahasiswa Solo yang Merantau ke Jogja, Ternyata Biaya Hidupnya Lebih Mahal (unsplash.com)

Pada 2018 saya merantau ke Solo untuk melanjutkan studi. Empat tahun menjadi mahasiswa Solo, akhirnya saya lulus. Saya kemudian melanjutkan studi di Jogja.

Di benak saya Jogja tidak akan jauh berbeda dengan Solo. Nyatanya saya perlu banyak melakukan adaptasi. Pengalaman ini tidak saya alami sendiri. Teman-teman saya yang dahulunya mahasiswa Solo juga sempat kaget ketika pertama kali merantau Jogja. 

Di bawah ini beberapa hal yang membuat mahasiswa Solo seperti saya perlu waktu untuk adaptasi di Jogja: 

Biaya hidup tidak semurah ketika jadi mahasiswa Solo

Biaya hidup di Jogja ternyata lebih mahal daripada Solo. Ini paling mengejutkan bagi saya. Gencarnya narasi Jogja memiliki UMR yang rendah membuat saya berpikir biaya hidupnya tidak akan mahal. Nyatanya tidak demikian. 

Sebenarnya selisih harga di Solo dan Jogja tidak berbeda jauh. Namun, sebagai mahasiswa Solo yang terbiasa dengan harga murah, biaya hidup di Jogja terasa lumayan memberatkan. Dilihat dari biaya sewa kamar kos misalnya, di Solo ada banyak pilihan kamar kos dengan fasilitas lengkap di bawah harga Rp500.000. Di Jogja tidak demikian. 

Contoh perbedaan lain yang sangat terasa adalah perihal makanan. Harga makanan di Solo sangatlah murah-meriah. Kita bisa dengan tenang membawa uang Rp5.000 untuk datang ke warung makan di Solo. Kalau di Jogja, bawa uang Rp10.000 saja masih was-was takut nggak cukup.

Hasil pengamatan saya selama merantau di Jogja, nasi-sayur-telur harganya Rp9.000-an. Selisih tiga ribu lebih mahal dibandingkan dengan harga makanan di Solo. Mungkin saya saja yang belum menemukan hidden gem rumah makan murah di Jogja ya. Semoga saya segera menemukannya. 

Orang Solo lebih ramah

Saya merasa orang Solo sangat ramah kepada siapa saja. Ketika berpapasan dengan orang asing di jalan, warga Solo akan menjawab dengan ramah disertai senyum lebar. Mereka terlihat nyaman saling bertegur sapa. 

Kebiasaan itu harus saya sesuaikan ketika di Jogja. Ketika berpapasan dengan warga sekitar, mereka tidak mengharuskan kita untuk menyapa. Malah terkadang, mereka akan lanjut sibuk dengan berbagai kegiatan dan terlihat tidak berharap untuk disapa. 

Bukan perkara benar-salah atau baik-buruk. Saya hanya mengira orang Solo dan Jogja mirip tindak-tanduknya mengingat budayanya yang tidak begitu berbeda. Namun, ekspektasi saya ini ternyata keliru. 

Lubang masuk gorong-gorong di sepanjang jalan

Keberadaan penutup lubang gorong-gorong di tepi jalan adalah hal yang wajar di suatu kota. Namun, selama saya menjadi mahasiswa Solo, keberadaan penutup gorong-gorong tidak begitu mengganggu. Berbeda cerita ketika di Jogja. 

Selama di Jogja, saya mengamati ada berbagai jenis dan bentuk penutup lubang gorong-gorong. Letaknya tidak hanya di pinggir jalan, bisa di tengah-tengah jalan, di samping pagar rumah, trotoar, di mana-mana. Saya menyadari hal ini karena sering merasa nggronjal-nggronjol ketika berkendara. 

Keberadaan penutup gorong-gorong ini memang penting. Namun, jumlahnya yang banyak dan pemasangannya yang tidak sesuai cukup mengganggu perjalanan. Bahkan tidak mungkin menimbulkan bahaya. 

Membakar sampah tidak kenal waktu

Membakar sampah jelas bukan hanya kebiasaan orang Jogja. Di Solo juga ada kok orang yang suka bakar sampah. Perbedaannya, orang Jogja membakar sampah seperti tidak kenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, selalu saja ada samar-samar bau bakaran sampah tercium. 

Bakar sampah yang saya maksud memang bukan dalam skala besar, hanya sampah-sampah rumah tangga.  Namun, aktivitas itu tetap menimbulkan asap yang mengganggu. Walau tidak semua teman saya mengalami hal ini, sejauh pengalaman saya kebiasaan membakar sampah di Solo tidak sesering di Jogja.

Di atas beberapa pengalaman yang membuat saya kaget sebagai mahasiswa Solo yang kini merantau ke Jogja. Mahasiswa Solo lain yang kini tinggal di Jogja, apakah merasakan culture shock yang sama? 

Penulis: Kamsu Aji Wiguna
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Culture Shock Orang Jogja Saat Merantau ke Surabaya: Salah Saya Apa kok Dipisuhi Cak Cuk Terus?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version