Hal yang menyenangkan hati banyak sekali kalau kita bermimpi. Sekarang ganti baju agar menarik hati, ayo kita mencari teman. Tapi malesnya kalau dapat teman yang sukanya menggurui. Alih-alih kita bisa berbagi banyak hal, cerita, dan pengalaman. Eh, malah diajarin tetek bengek. Komunikasi jadi searah.
“Jadi begini, kamu tuh terlalu bertele-tele kalau nulis. Langsung aja ke pointnya. Set. Set. Set. langsung paragraf inti. Langsung kesimpulan.”
“Jadi nggak gitu. Banyak ide boleh. Tapi memilih ide yang terbaiklah yang bagus.”
“Jadi seharusnya kamu sebelum nyalain motor. Ya motornya distarter dulu. Jangan dipencet. Pake kick starter. Biar hemat aki. Irit listrik.”
“Jadi ada rumus lingkaran yang musti kita pakai kalau mau tahu diameter roda motor kita.”
“Jadi angka 4 ini dihasilkan dari 2 + 2.”
Cas, ces, cos, dia nyerocos kaya petasan boncos yang bunyinya nggak diharapkan berbunyi. Kalimat yang diawali kata “jadi begini”, “jadi begitu”, seolah apa yang kita lakukan itu salah. Ia memberi kesimpulan yang nggak kita butuhkan.
Ia mengajari sesuatu yang nggak kita butuhkan. Ia menasehati kita tanpa nggak kita minta. Seolah ia sedang mengobral ilmu pengetahuan yang ia ketahui. Setelah usut punya usut. Yaw ampun… Ternyata kawan baru kita ini seorang guru. Guru yang menggurui temannya. Awokwokwok.
Terkadang saya merasa bingung sendiri dengan kawan seperti ini. Dih, apaan sih ini orang. Orang lagi diem aja kok. Dia bisa-bisanya ngasih kesimpulan, “Lu itu orangnya introvert ya bro?”
“Why?”
“Dari tadi diem aja.”
“Enggak. Gue lagi nahan kebelet beol.”
“Wah, jangan ditahan, Bro. Ada satu penyakit yang bisa ditimbulkan akibat nahan beol. Bla… Bla… Bla…”
“Helaw…. Gue nahan beol juga karena kita lagi di atas motor. Kita lagi dalam perjalanan, Bray. Kalau gue lagi di tempat kerja, di rumah, atau di manalah itu. Ngapain gue mau-mauan menderita karena nahan beol. Sumpah, nggak enak!1!1!!!!1!”
Kadang saya berpikir, teman saya ini sebetulnya pintar atau sok tahu, sih? Saya coba gooling-gooling. Eh, googling. Mencoba mencari tahu bedanya orang yang beneran pintar atau emang sok tahu. Tujuannya agar saya nggak kesal-kesal banget, kalau dikit-dikit dapat pelajaran IPA, dikit-dikit dapat pelajaran IPS. Dikit-dikit dapat pelajaran politik.
Di IDN Times, saya menemukan perbedaan orang pintar beneran vs orang sok tahu. Orang pintar beneran itu cenderung diam; nggak suka menggurui orang lain; baru menjawab kalau ditanya; nggak perlu ngotot untuk membuktikan kecerdasannya; merasa kurang dan ingin terus belajar; selalu intropeksi dan menerima ilmu baru; dan nggak pernah menunjukan pencapaiannya.
Sementara orang yang sok tahu memiliki ciri yang suka pamer keunggulan; gemar menggurui orang lain; member tahu tanpa ditanya; sering ngotot demi membuktikan kepintarannya; merasa jadi orang paling pintar; cenderung ngeyel dan selalu merasa benar; selalu menggaris bawahi prestasinya demi mendapat pengakuan.
Setelah meraut dan menimbang dengan benang, fix, saya menilai bahwa teman baru saya ini—bisa jadi—termasuk orang yang sok tahu. Bagus, sih. Memang ilmu pengetahuan yang dia miliki di atas rata-rata teman-teman lainnya, dia bisa tahu tentang banyak hal. Tapi…
…ada tapinya, nih. Dia suka ngomong yang ndaki-ndaki tanpa bisa kita pahami dan tanpa kita minta. Hadehhhh… Capek akutuh dengerinnya.
Untuk menghindari rasa capek itu akhirnya saya mengeluarkan jurus cuek bebek.
Pertama, coba dengarkan apa yang sedang dia utarakan. Kalau memang apa yang dia ucapkan benar adanya dengan data dan fakta. Bagus dong, berarti dia nggak asal bunyi.
Kedua, kalau ternyata dia asal bunyi kayak celengan yang nyaring bunyinya. Cobalah kita luruskan sedikit pandangannya, siapa tahu dia mau belok ke arah jalan yang benar. Ya, siapa tahu. Bukannya dalam obrolan, kita musti bisa saling mendengar?
Ketiga, kalau ternyata dia tidak mau mendengar dan malah mengotot. Mari kita coba kendurkan urat syaraf kita. Coba perlahan abaikan dan biarkanlah dia sampai diam. Tahan-tahan sedikit, meskipun agak pegal. Lagian ngapain sih, ngelayani orang yang merasa sok pintar.
Keempat, sesekali kita lakukan debat. Ya, nggak sampai kayak debat presiden sih. Santai saja. Nyatakan kalau apa yang dia katakan salah. Kalau apa yang dia katakan itu asal bunyi. Tapi, kalau sampai nanti dia tambah ngotot berkobar-kobar macam orang-orang yang ada di ILC.
Yawudah. Diemin aja lah. Yang ada tempat kerja jadi panggung ILC beneran. Yang ada, waktunya produktif kerja, malah jadi acara ILC versi karyawan. Yang ada, tadinya jadi akur malah nggak akur. Kalau begini, besok-besok nggak usah ganti baju dan perlu menarik hati untuk mencari teman, deh.
Kelima, kalau kelakuannya itu sudah kadung massif, sistematis, dan terstruktur. Ya, udah. Cuekin aja. Mau dia ngomong berwek-kwek kaya bebek juga kalau cuma asal bunyi buat apa. Malah nambah-nambah polusi suara saja.
Kalaupun kita berteman, bukan berarti kita langsung bisa menjadi teman yang akrab. Ada proses-proses pendekatan untuk bisa saling mengenal dan lebih akrab. Ada nilai-nilai yang musti kita perhatikan agar tidak terjebak dalam teman yang tergolong toxic people.
Idealnya setiap tempat adalah sekolah. Setiap orang adalah guru. Tapi jangan sampai kita bersekolah di lingkungan yang yang tidak tepat. Jangan sampai kita belajar dengan orang yang sok tahu. Kita musti punya filter agar sifat sok tahu tersebut tidak menular dan meracuni kesehatan mental kita. (*)
BACA JUGA Nasihat Untuk Fresh Graduate dari Driver GrabCar yang Sebenarnya Bos Besar atau tulisan Allan Maulana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.