Salah satu penghuni Desa Beleq, Gumantar, Kayangan, Lombok Utara, menelpon saya. Desa tempat saya KKN itu memang masih menyayangi saya dengan apa adanya. Bahkan, di sana saya jauh menemukan rumah ketimbang di rumah sendiri. Salah satu penduduk desa yang selalu baik kepada saya, Bang Wira, mau menikah.
Bayangan saya langsung jauh ke dua tahun yang lalu. Di mana saya KKN dengan syahdu. Hampir tiap pernikahan, saya merasakan makanan enak. Bukan makanan sepat dan nggak banget buatan teman-teman KKN saya. Selain makanan enak, di sana ada tradisi nyongkolan. Di desa saya, nyongkolan adalah pesta terselubung.
Saya nggak pernah merindukan dangdut atau ngibing selama KKN. Pandangan saya tentang Lombok dan julukannya, sempat membuat saya masam lantaran harus berpisah dengan hobi saya, ngibing dangdutan. Jebul gambaran saya berbeda, semua disambut dengan meriah dan hormat. Termasuk tradisi ngigel, ngibing, njoget, atau julukan lainnya.
Bang Wira pun berkata, “Wah, coba ke sini (desa saya KKN), aku rindu jogetan sampeyan, Mas Gusti,” begitu. Nggak ada logat Sasak sama sekali. Bahkan, Bang Wira yang produk asli Sasak, lumayan lancar ketika ngobrol pakai bahasa Jawa. Walaupun kondisi seperti ini sempat diprotes kawan saya, katanya terlalu Jawasentris!
Saya terkenal dengan jogetan paling wangun seantero desa. Yang bikin saya kemekelen dalam batin dan sukma nih ya, medan desa KKN saya ini nanjak Gunung Rinjani. Sedangkan dalam nyongkolan (salah satu prosesi perkawinan Suku Sasak), terdapat prosesi bak pawai yang membawa speaker yang besarnya ngaudzubillah. Jadi, speaker tersebut dibawa pakai gerobak dan kondisinya nanjak!
Sambil njoget, saya melihat wajah-wajah merah penduduk desa dan kawan-kawan saya KKN yang malu ngibing. Mereka ini sungguh nggak tahu keuntungan. Udah asyik ngibing, malah ndorong-ndorong speaker melawan terjalnya kaki Gunung Rinjani. Sampai lokasi, ada yang capek karena ngibing, ada yang goleran karena buasnya medan Gunung Rinjani. Kapok!
Esoknya, Bang Wira video call saya, memakai gaun pengantin. Warga sana doyan sekali yang namanya fitur video call, padahal sinyal kempas-kempis. Ia akhirnya menikahi seorang gadis asal Dasantreng, Gumantar. Rona wajahnya bahagia luar biasa. Namun, yang membuat saya sumringah, lagi-lagi sayup tembang Didi Kempot terdengar renyah.
Saya hanya senyum-senyum sendiri. Warga desa saya KKN, sangat gandrung lagu-lagu Jawa. Apalagi tembang-tembang almarhum Didi Kempot. Mereka menyanyikan Cidro dengan wajah yang amat bahagia. Ini adalah pengalaman baru yang selama ini saya lihat. Lha gimana, kebanyakan kawan kampus saya, nyanyi Cidro sambil mbrebes mili di pojokan kosan, je.
Namun, hadirnya lagu Didi Kempot di tanah Sasak, seakan mengijabah salah satu doanya: patah hati, dijogeti saja. Warga tempat saya KKN, walau nggak paham lagu Ambyar menceritakan tentang apa, kondisinya bagaimana, dan medan terjalnya seberapa, tetap saja dijogeti dan diprengesi dengan baik dan hormat. Setelah melihat mereka, saya hanya bisa senyum dan mbatin, “Didi Kempot orang baik, pun dengan para pendengar lagu-lagunya.”
Yang menjadi favorit mereka adalah Banyu Langit. Selain nadanya yang enak sambil menikmati badai gunung Rinjani, menjadi idola karena liriknya begini, “Banyu langit sing ono nduwur kayangan.” Ya, benar, ada kata “kayangan” lantaran di desa saya, Kayangan adalah nama kecamatan. Selain ketertarikan historis dan suasana, lagu ini, kata mereka, sangat nikmat untuk bersedih.
“Emang abang tahu lagunya?” tanya saya suatu ketika kepada salah satu penduduk desa.
“Nggak, Bang. Tapi nggak tahu kenapa enak aja didengarkan ketika sedih.”
Bahkan bukan hanya ketajaman lirik, lagu Didi Kempot juga sangat syahdu sejak dalam spektrum suara. Getaran suara Didi Kempot dalam lagu Banyu Langit, katanya, sangat enak untuk meratapi pacar di Berugak (sejenis cakruk atau saung di Lombok).
Saya masih sering mendengarkan lagu Perang Cine. Lagu Sasak yang mbois sekali di telinga saya. Pun warga desa saya KKN, masih doyan lagu-lagu Didi Kempot. Hal ini menjadi daya magis yang menembus nadi-nadi sektoral
Di akhir video call tersebut, tradisi mendorong speaker masih saja terjadi. Sepertinya, itu menjadi puncak dan perwujudan bahwa kerukunan masih ada dan terselip dengan khusyuk di suatu daerah. Siapa sangka, lagu yang dicap membuat sedih, bisa membakar semangat seseorang untuk mendorong gerobak berisikan speaker yang gedenya ngaudzubillah itu.
Sembari bercerita mengenai perkawinannya, lagu Sewu Kutho berkumandang. Saya senyum lagi, jebul Mas Didi nggak pernah ingkar janji. “Sewo kuto uwis tak liwati, sewu ati tak takoni,” nggak sekadar kecu belaka. Bahkan, Didi Kempot sudah menyambangi Kayangan guna menakoni ati-ati yang ia sambangi. Tapi ya itu, “Kabeh podo rangerteni, lungamu neng endi.”
BACA JUGA Bukan Kambing Guling, Makanan Khas Pesta Pernikahan di Lombok Justru Berbahan Batang Pisang dan tulisan Gusti Aditya lainnya.