Sewaktu kecil, entah kenapa saya alergi terhadap udang. Bahkan untuk makan kerupuk udang sekali pun. Padahal, yang saya tahu, udang merupakan salah satu menu seafood yang nikmat. Beberapa kali saya memaksakan diri mengonsumsi udang agar terbiasa, beberapa kali pula saya terkena alergi. Tenggorokan gatal, batuk-batuk, sampai dengan muncul bintik merah pada kulit.
Walau berangsur sementara, jelas hal tersebut dirasa mengganggu. Ternyata, soal alergi udang, bukan hanya saya yang mengalami. Beberapa dari teman saya pun kesulitan dan enggan memakan udang karena alasan yang sama. Tapi, hal itu sudah biasa saya temui di lingkungan sekitar sehingga bukan lagi menjadi hal asing.
Yang betul-betul belum saya temui secara langsung adalah seseorang yang tidak menyukai daging ayam. Pikir saya, siapa yang tidak menyukai daging ayam dengan berbagai macam olahannya? Digoreng dengan tepung, dibuat sup, dibuat opor, semuanya terasa enak. Bahkan, dari kepala sampai ceker pasti ada yang menyukai.
Hampir semua anggota tubuh yang dimiliki ayam dapat dikonsumsi, termasuk jeroannya. Siapa yang tidak selera menyantap bubur ayam, lengkap dengan sate usus atau ati ampela? Ada sih, tapi yang saya temui lebih banyak orang yang menyantap sate tersebut bersamaan dengan sarapan bubur.
Dalam mengonsumsi daging ayam, semuanya kembali kepada selera masing-masing. Ada yang lebih memilih dada dengan alasan ukuran dagingnya lebih besar, ada pula yang lebih menyukai kepala dan ceker ayam seperti halnya Ibu saya, sisanya ada yang memilih bagian sayap dan paha.
Untuk bagian sayap dan paha, biasanya memang lebih enak jika dibuat dan dilumuri dengan bumbu yang pedas. Seperti banyak menu di fastfood yang biasa ditemui: chicken fire wings. Rasanya aneh jika diganti dengan dada atau anggota tubuh yang lain. Bisa jadi akan lebih enak atau sebaliknya.
Dan di antara semua anggota tubuh yang dapat dikonsumsi dari seekor ayam, yang paling saya suka adalah kulit ayam. Siapa yang bisa menyangkal cita rasa dari kulit ayam yang digoreng? Mau digoreng begitu saja, pakai tepung agar lebih krispi, sampai dengan dibuat sup pun masih tetap enak.
Tak jarang kulit ayam ini menjadi rebutan. Itu kenapa, jika sedang makan di restoran cepat saji yang menjadikan ayam tepung sebagai menu utama—seperti KFC dan McD—bersama dengan beberapa teman yang usil dan penyuka kulit ayam, saya selalu menyantap kulit ayam lebih dulu agar tidak kecolongan atau direbut. Padahal, dalam situasi normal saya lebih memilih memakan sesuatu yang dirasa nikmat di akhir. Yah, istilah kerennya sih, save the best for the last.
Namun, kesenangan saya kadang kala mendapat interupsi dari pasangan, sebab menurutnya kulit ayam merupakan salah satu makanan yang kurang sehat untuk dikonsumsi secara terus menerus dan berkelanjutan. Malah menjadi salah satu penyebab kolesterol meningkat. Karenanya, saya tidak leluasa jika sedang makan kulit ayam dengan pasangan.
Walau saya juga memahami, hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa sayang yang diaplikasikan secara langsung dan perhatian akan kesehatan pasangan. Lagipula, rasa sayang tidak melulu diekspresikan dengan kata, toh? Tahap lanjut dari rasa sayang justru hal tersirat, bukan jalan di tempat dan selalu fokus pada yang tersurat.
Meskipun sudah dilarang sedemikian rupa, biasanya sih saya tetap bandel dan selalu mencuri-curi kesempatan memakan kulit ayam. Tak jarang saya pun memohon kepada pasangan agar dapat memakan kulit ayam yang enaknya tidak dapat diungkapkan dengan sembarang kata. Ya, sebegitunya posesif saya terhadap kulit ayam.
Selain beruntung karena memiliki pasangan yang perhatian dengan kesehatan saya, saya pun diberi anugerah lain oleh Gusti Allah, yakni pasangan yang sama sekali tidak menyukai kulit ayam. Sehingga, saat makan menu ayam di mana pun kulit ayam selalu dihadiahkan kepada saya. Lalu, sudah jelas tidak alasan bagi saya untuk mendustakan beberapa nikmat tersebut.
Jika sedang di rumah pun, saya selalu meminta pasangan untuk tidak membuang kulit ayam yang sedang dikonsumsi. Daripada dibuang dan mubazir, lebih baik disisihkan untuk kemudian saya makan. Saya dapat tahan dengan banyak godaan, tapi tidak dengan kulit ayam. Dan bisa jadi, tiga hal yang dapat mengubah saya sebagai seorang lelaki di kemudian hari di antaranya adalah harta, tahta, dan kulit ayam. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.