Sebagai anak S-2 yang lagi jengah betul dengan keruwetan proposal tesis yang nggak lepas dari kelindan idealisme topik yang keren versus realistis supaya nantinya bisa digarap, saya kadang-kadang mencari hiburan dengan membaca Terminal Mojok. Eh, lah, saya kok kemudian membaca tulisan ini.
Lha, kok jadi saya pengen ikutan sambat. Apalagi di bagian akhir tulisan, penulisnya malah nanya, “Apa kabar kuliah online-mu?”
Dari sederet jungkir baliknya penulis artikel tersebut dalam kuliah online S-2 yang dilakoni, saya tentu related dengan beberapa hal. Jam kosong sebagai bom waktu adalah suatu kebenaran sebab penggantinya tentu akan mengisi sela-sela jadwal yang sudah padat. Tumpukan tugasnya juga ya kurang lebih sama, demikian pula dengan masalah kesehatan karena kurang tidur.
Hanya saja, coba deh, segala jungkir balik itu ditambahkan satu parameter saja: ngasuh anak. Semakin mantap tentu saja.
Saya cerita dulu ya. Saya ini sudah bapak-bapak dengan satu anak berusia hampir 3 tahun. Istri saya kerja di Rumah Sakit sehingga dia bukan work from home selama masa pandemi ini, tapi work from hospital.
Dalam masa normal, anak saya biasa berada di daycare. Iya, tempat berkumpulnya belasan anak dalam satu tempat dan cukup identik dengan estafet pilek tiada akhir. Yha, kalau pilek mah masih bisa dikendalikan. Masalahnya sekarang yang ditakutkan itu SARS-CoV-2 dengan tingkat keparahan yang belum banyak diketahui tapi sudah jelas-jelas ada banyak korban meninggal sedunia.
Kebetulan orang tua lain di daycare-nya juga WFH, jadilah itu daycare cuti massal seluruh member-nya. Berhubung tadi emaknya berangkat kerja, maka otomatis anak batita ini diasuh bapaknya yang sedang ikut pembelajaran jarak jauh (PJJ) alias kuliah online.
Kalau mau dibilang ribet dan harus ada banyak yang dikeluhkan, sebenarnya bisa saja. Akan tetapi, saya mencoba melihat peristiwa ini dari sisi yang berbeda saja supaya nggak kebanyakan sambat.
Kalau kelak saya lulus S-2 (amin!), maka yang terjadi bulan-bulan ini akan menjadi kisah yang selalu bisa dikenang sepanjang zaman. Di sisi lain, saya jadi bisa mengikuti tumbuh kembang anak. Sebagai gambaran, sebelum kuliah S-2, pekerjaan saya sering kali mengharuskan diri untuk pergi ke luar kota dalam waktu 3-7 hari.
Saat anak saya menikmati MPASI untuk pertama kali, bapaknya sedang terdampar di bandara Manado, kena delay 6 jam. Kala anak saya bisa buka kemasan dan lantas makan balsem bayi, saya lagi di Denpasar. Ketika anak saya akhirnya bisa jalan di usianya 14 bulan, saya tengah berada di Palu. Jadi, saya anggap saja momen-momen ketika dia mulai bisa bercerita, “Pada suatu hari…,” atau jatuh dari sepeda untuk pertama kalinya adalah garis Tuhan sebagai pengganti ketiadaan saya di awal-awal milestones-nya.
Secara umum, kuliah online S-2 sambil jaga anak itu menyenangkan sekalius menegangkan.
Tugas banyak? Tentu saja. Saat tulisan ini dibuat, saya barusan menyelesaikan 2 tugas sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) dan masih utang proposal tesis serta beberapa tugas lainnya yang akan jatuh tempo dalam sepekan ke depan.
Ketika saya nangkring di depan laptop demi tugas-tugas yang menyerang, tidak jarang anak saya justru ngganduli sambil bilang, “Papa turun, jangan kuliah!” Sering terjadi juga, saya ngetik 1-2 paragraf, balik badan nyuapin, ngetik lagi, nyuapin lagi, demikian sampai kelar. Oya hal itu jadi lucu ketika kemudian dia lantas mengambil laptop saya yang sudah modar—dan memang saya serahkan kepadanya sebagai mainan—kemudian ikutan ngetik sambil bilang, “Eto kuliah….”
Belum lagi ya namanya baca jurnal yang pada umumnya boso enggres itu bagi saya yang TOEFL-nya 700 3 kali tes tentu butuh fokus-kus-kus. Tentu saja fokus itu hanya bisa diperoleh kala anak saya tidur atau fokus dalam asuhan “orang lain”.
Sejauh ini, anak saya cukup tenang dalam asuhan Om Blippi dan Daddy Pig. Sila cek YouTube saja pada akun Blippi dan Peppa Pig. Supaya nggak di nonton di gagdet, video YouTube disetel di televisi. Dan itu berarti…
Yak, betul! Penggunaan kuota internet yang sangat masif. Sebulan bisa lebih dari 100 GB. Dan ya sudahlah. Toh memang begini jalannya.
Lepas dari berbagai masalah itu, kisah paling pelik sebenarnya terjadi ketika sedang presentasi.
Suatu saat, saya sedang presentasi via Google Meet, terus tiba-tiba headset saya ditarik sambil si bocah meraung-raung soalnya kesadarannya belum prima karena baru bangun. Presentasi yang digarap sampai tengah malam pun jadi sedikit tersendat. Entah ngaruh ke nilainya apa tidak, saya nggak tahu soalnya nilainya kan belum kelar. Semoga saja nggak.
Pada momen lain, saat juga tengah presentasi, anak saya copot celana karena mau pipis. Atau terakhir ketika saya presentasi proposal tesis, eh si bocah teriak-teriak “Anjing… anjing…” karena melihat anjing di depan rumah sampai di-notice dosennya.
“Eh itu siapa yang anjing?”
Oya, semua kegiatan kuliah dan ngasuh anak tadi tentu saja berkelindan dengan tugas rumah tangga seperti ngepel, cuci piring, cuci baju, jemur, sampai kadang-kadang ya nyetrika juga. Model begini mah nggak kebayang sama sekali waktu saya dalam usia 26 tahun masih rebahan di kamar dalam kondisi jomblo menahun dan berkerak.
Jadi kalau ditanya bagaimana kuliah online S-2 saya? Tentu saja jawabannya adalah seru sekali~
BACA JUGA Perdebatan Soal Working Mom yang Masih Itu-Itu Saja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.