Melanjutkan pendidikan ke luar negeri menjadi mimpi banyak orang. Apalagi perguruan tinggi yang dituju begitu prestisius dan termahsyur di masyarakat. Sebut saja Universitas Al-Azhar di Mesir, siapa yang tidak tertarik menempuh pendidikan di tempat Gus Dur dan Quraish Shihab pernah belajar ini? Nggak heran kalau jumlah mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di universitas ini bisa mencapai sekitar 13.000 orang. Dan, saya adalah salah satunya.
Sebagai salah satu mahasiswa yang merantau dari Indonesia, saya merasakan betapa menantangnya kuliah di Mesir. Bukan hanya soal perkuliahan studi, menyesuaikan diri dengan bahasa, budaya, dan kondisi geografis juga jadi tantangan tersendiri. Itu mengapa, kalian yang ingin kuliah di Mesir sebaiknya pikir lebih matang lagi, banyak tantangan yang akan kalian hadapi:
Daftar Isi
Kuliah di Mesir mesti siap menghadapi cuaca yang sadis
Negara Mesir terletak di perbatasan Asia dan Afrika. Letaknya yang lebih ke utara dibanding Indonesia dan dikelilingi oleh gurun membawa dampak dari segi iklim dan cuaca. Itu mengapa Negeri Piramida itu punya cuaca dan suhu yang cukup ekstrem, kalau sedang panas ya suhunya panas sekali, begitu pula saat dingin. Iya, kalian tidak salah dengar, Mesir punya cuaca dingin walau tidak sampai turun salju sih.
Asal tahu saja, di Mesir, lebih tepatnya di Kota Kairo, musim panas suhu puncaknya bisa mencapai tercatat pernah sampai 45 derajat dan suhu terdinginnya bisa sampai 6 derajat di kota. Itu belum diperparah dengan angin gurun yang kering. Berbeda sekali dengan Indonesia yang iklimnya cenderung lembab.
Penyesuaian cuaca dan iklim ketika hidup di luar negeri terdengar hal yang umum, tapi ketika menjalaninya sendiri, ternyata sungguh merepotkan. Bagi orang Indonesia yang hidup di Mesir, kebanyakan mengalami kulit dan bibir yang lebih cepat mengering dan dehidrasi. Benar-benar tidak ada enak-enaknya kalau sedang di puncak iklim panas atau dingin.
Menyesuaikan kultur perlu waktu panjang
Disamping cuaca yang sadir, menyesuaikan diri dengan bahasa dan budaya di Mesir juga perlu waktu. Bahasa tutur yang digunakan orang-orang di sini berbeda dengan bahasa Arab yang dipelajari orang-orang ketika mempersiapkan studi di Mesir. Dengan kata lain, perlu terjun langsung ke lapangan untuk bisa fasih.
Selain itu, kebiasaan-kebiasaan yang dianggap biasa di Indonesia ternyata tabu di Mesir. Misal, jongkok di tempat umum. Di Mesir tindakan ini dianggap kurang sopan karena jongkok diibaratkan buang air besar di sana. Selain itu, penggunaan sandal identik dengan tempat yang dekat dan jorok, ke kamar mandi dan pasar misalnya. Saya pernah dengar cerita, konon beberapa orang Indonesia mengunjungi rumah salah satu orang Mesir menggunakan sandal. Kerabat dari tuan rumah tersebut berujar “Ini mereka (tamu) orang miskin atau bagaimana, kok tidak punya sepatu”. Tidak pandang sandal semahal apapun, nampaknya sandal tetap dianggap barang murahan.
Ada juga kebiasaan orang Mesir yang mengecoh dan meluluhkan hati kita, apalagi bagi orang yang baru menginjakkan kakinya di sini. Jika kita berpapasan dengan warga lokal di jalan, atau ketika kita berinteraksi dengan mereka seringkali mereka memberikan pujian yang agak berlebihan, ini disebut dengan mujamalah. Mereka menggunakan ini umumnya hanya untuk basa-basi atau ketika ada maksud tersembunyi. Salah tingkah kadang bisa membawa ke situasi yang kurang menguntungkan.
Birokrasi jauh dari kata modern
Orang Indonesia yang kuliah di Mesir juga harus menghadapi tantangan lain yang tak kalah pelik: birokrasi yang masih jauh dari modern. Jika di Indonesia kita terbiasa dengan layanan digital dan proses cepat, di Mesir mahasiswa harus siap dengan sistem administrasi yang serba manual. Hampir semua pengurusan, pencatatan, dan pendataan masih menggunakan cara yang amat manual, ditulis tangan.
Iya, kalian tidak salah baca, benar-benar ditulis secara manual menggunakan tangan. Entah mungkin mereka alergi dengan teknologi atau apa, tapi yang jelas ini benar benar memperlama waktu pengurusan segala sesuatu. Dari awal proses pendaftaran sampai akhir kelulusan, semua masih dikerjakan 90 persen manual oleh tangan. Ini belum membahas “budaya” pegawai sini yang mengerjakan sesuatu mengikuti mood ya. Semua hal ini membuat pengurusan sesuatu 2 kali lipat lamanya. Peliknya birokrasi Mesir ini konon disebabkan oleh sistem yang kadung korup dan pejabat yang kolot, seperti diungkap seorang politisi Mesir Muhammad Nosseir pada laman dailynewsegypt.com.
Kuliah di Mesir perslu siap menghadapi pengendara Mesir yang ugal-ugalan
Hal lain yang cukup membuat orang Indonesia tak habis pikir adalah kebiasaan dan budaya berkendara di Negeri Firaun ini agaknya jauh lebih ugal-ugalan dan nekat dibanding Indonesia. Terlebih, mengenakan helm bagi pengendara sepeda motor belum menjadi kewajiban disini. Mesir memang akhir-akhir ini terlihat sedang fokus untuk menggenjot infrastruktur transportasinya, ini nampak dari masifnya pembangunan jalan dan jembatan layang. Hal ini seakan memperluas peluang untuk menemukan fenomena unik di jalanan.
Kondisi ini mengharuskan wisatawan atau pelajar yang belum terbiasa dengan kultur lalu lintas tersebut untuk menambah kewaspadaan di jalan raya. Anda tak perlu kaget jika menaiki mobil disini dan dikendarai oleh orang lokal, sang sopir tak akan segan memundurkan mobilnya ketika di lajur cepat karena salah ambil jalur keluar.
Sekalipun demikian, tantangan-tantangan tersebut rasanya sebanding dengan hasil yang diraih. Selain memperoleh ilmu dari pendidikan formal maupun nonformal, bisa bersinggungan dengan bangsa yang berbeda latar belakang maupun budaya dengan kita sebagai “tamu” merupakan pengalaman yang berharga dan berguna untuk menumbuhkan sikap toleransi di masyarakat yang lebih majemuk. Setidaknya itulah yang diharapkan.
Penulis: Muhammad Iqbal Fawwazi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Hal yang Lumrah di Spanyol, tapi Nggak Wajar di Indonesia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.