Johar Baru Jakarta Pusat gagal dikelola bersama sehingga menimbulkan berbagai masalah…
Apa yang muncul di benak kalian ketika mendengar kata Jakarta Pusat? Monas? Istiqlal? Tanah Abang? Atau thrifting di Pasar Senen? Lantaran ada embel-embel pusatnya, Jakarta Pusat kemudian jadi semacam episentrum Kota Jakarta.
Namanya episentrum, tentu wilayahnya dianggap mewah dan modern dengan gedung-gedung megah pencakar langit. Padahal tidak selalu demikian, beberapa kecamatan di dalamnya, justru menyimpan ironi dan tampak mengenaskan. Salah satu yang menurut saya jadi daerah yang sangat mengenaskan di Jakarta Pusat adalah Johar Baru.
Daftar Isi
Johar Baru Jakarta Pusat, kawasan favorit para perantau dari penjuru Indonesia
Sebelum menjadi kecamatan mandiri pada tahun 1993, Johar Baru masuk menjadi bagian dari Kecamatan Cempaka Putih. Tujuan dilakukan pemekaran tersebut nggak lain untuk kemudahan administrasi dan pelayanan publik mengingat tingginya kepadatan penduduk di daerah tersebut.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Johar Baru malah tumbuh layaknya bunga yang berbau busuk. Di dalamnya penuh dengan masalah karena menghadapi arus urbanisasi yang nggak terkendali dan kepadatan yang bikin sesak napas. Pasalnya, tempat ini seperti jadi kawasan favorit para perantau yang datang dari berbagai penjuru Indonesia.
Seperti saya bilang sebelumnya, kepadatan adalah corak mengenaskan yang tampak begitu nyata di Johar Baru Jakarta Pusat. Pasalnya luas dari daerah ini hanya 2,39 kilometer persegi, sementara data BPS DKI menyebutkan jumlah penduduknya mencapai kurang lebih 145.283 jiwa. Akibatnya, kepadatan penduduknya mencapai 60.788 jiwa per kilometer persegi. Gambaran ini membuat Johar Baru tak hanya jadi kecamatan paling padat di Jakarta Pusat, tapi termasuk yang paling padat di Indonesia.
Kepadatan penduduk menimbulkan berbagai masalah
Kepadatan penduduk di Johar Baru menimbulkan persoalan multisektor. Dari aspek sosial, masyarakat di dalamnya tentu mengalami keterbatasan ruang hidup. Rumah-rumah mereka sempit dengan ventilasi dan sanitasi yang buruk.
Lantaran berdempet-dempetan, sulit menemukan privasi di daerah ini. Sering terjadi ketegangan dan gesekan sosial antarsesama warga, bahkan untuk perkara yang sederhana. Kondisi tersebut membuat tumbuh kembang anak-anak di sana jadi terganggu. Mereka nggak punya ruang terbuka untuk bermain.
Warga di Johar Baru Jakarta Pusat akan selalu khawatir ketika musim hujan karena rawan banjir. Sementara ketika musim panas, mereka menghadapi ancaman kebakaran. Ketika hal itu terjadi, sulit bagi mobil pemadam untuk mengakses jalan karena jalan-jalan di sana begitu sempit. Permukiman yang padat dengan sanitasi buruk juga menjadi kolaborasi yang epik untuk menjadikan daerah ini sebagai sarang penyakit.
Penyebaran penyakit di Johar Baru adalah persoalan yang sering dibiarkan hilang secara alami. Fasilitas semacam pusat kesehatan sangat terbatas. Warga harus ke kecamatan sebelah untuk mendapatkan layanan kesehatan ketika sakit. Pada masa pandemi COVID-19, Johar Baru termasuk zona merah dengan penyebaran tercepat karena sulit melakukan social distancing. Yah, sangat wajar mengingat kepadatan penduduk di sana.
Di sisi lain, tingkat kriminalitas yang sangat tinggi membuat aspek keamanan jadi hal mewah di sini. Ada banyak pencopetan, pencurian, dan tawuran di sini. Bahkan sudah bukan rahasia lagi jika daerah ini jadi tempat peredaran barang-barang terlarang.
Johar Baru dijuluki GTA-nya Jakarta Pusat karena punya tantangan keamanan yang sangat serius. Mungkin CJ (tokoh utama dalam GTA San Andreas) akan kaget dan takjub ketika masuk ke daerah ini. Kok bisa ada daerah yang persoalannya melebihi San Andreas?
Saya jadi kepikiran, jangan-jangan salah satu latar dalam novel Sisi Tergelap Surga karya Brian Khrisna diambil dari daerah ini. Kumuh dan penuh persoalan.
Gagal dikelola bersama
Kalau boleh membedah secara sederhana, penyebab utama yang membuat Johar Baru Jakarta Pusat menjadi seperti sekarang karena aktivitas urbanisasi ke sini yang berlangsung masif dan cepat tanpa tata kelola atau perencanaan jangka panjang. Nggak ada upaya pengecekan penduduk yang merantau secara berkala dan konsisten. Hal itu sering membuat Johar Baru seperti jadi tujuan pertama perantau ketika tiba di Jakarta.
Kemudian nggak ada banyak program relokasi atau renovasi kawasan kumuh secara menyeluruh. Semua itu membuat tingkat kesenjangan dengan wilayah seperti Menteng atau Cempaka Putih sangat mencolok, padahal masih dalam satu wilayah administratif (Jakarta Pusat).
Para pemangku kebijakan sepatutnya sadar, kepadatan ekstrem di Johar Baru bukan sekadar angka statistik, tapi menunjukkan wajah krisis tata ruang dan penghidupan yang layak. Mereka butuh program yang jelas mengenai peremajaan kawasan kumuh, pengadaan rusun yang layak, dan penyediaan fasilitas publik seperti ruang terbuka, puskesmas, dan fasilitas air yang memadai.
Sekali lagi, Johar Baru bukan sekadar daerah tanpa nyawa di peta Jakarta Pusat. Daerah ini adalah cerminan dari apa yang gagal dikelola bersama. Ketika ketimpangan dibiarkan, ketika ruang hidup layak hanya jadi privilese segelintir orang, maka negara secara terang-terangan sedang menyuburkan ketidakadilan yang bisa menjalar ke mana saja.
Pertanyaannya, sudikah kesengsaraan itu dibiarkan awet dan turun temurun dirasakan oleh warga di Johar Baru? Sampai kapan negara akan menoleh ke arah lain, sementara ada Kota Kumuh yang berisi para calon generasi penerus?
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.