Jika ditanya tentang bagian mana dari perjalanan hidup yang akan selalu saya syukuri, dengan tegas akan saya jawab: kuliah di Jogja. Iya, saya selalu bersyukur akan hal tersebut, karena sedikit-banyak mengubah pandangan saya tentang beberapa hal.
Bagi mahasiswa, pengalaman dan pengembangan diri seringkali bukan berasal dari bangku kuliah, melainkan dari lingkungan yang ada. Oleh karena itu, terlepas dari Anda kuliah di UGM, UNY, UIN, atau kampus lainnya, menuntut ilmu di Jogja adalah pengalaman yang berharga.
Memang tiap kota akan memberikan pengalaman berharganya masing-masing bagi para perantaunya. Akan tetapi Jogja selalu punya cerita dan kebermanfaatan yang terus tumbuh, hinggap, dan tak pernah habis untuk dikenang dan diceritakan.
Kota besar
Bagi anak kabupaten seperti saya, dapat merantau di kota besar adalah pengalaman visual yang berharga. Harus diakui bahwa di Indonesia ketimpangan masih sangat terasa.
Di kota besar, Anda dengan mudah mendapat akses yang lengkap. Seperti toko buku, perpustakaan, pusat hiburan, kuliner, kafe untuk mengerjakan tugas dengan tenang, serta pertokoan lain yang menunjang kelengkapan kebutuhan yang ada.
Ini tentu berbeda dengan kabupaten tempat saya berasal, yakni Lamongan. Di sana, bahkan Gramedia pun tidak ada. Iya, akses di kota sangat berbeda dengan di desa. Ketimpangan terasa betul. Dan jika saya tak kuliah di Jogja, saya belum tentu menyadari hal tersebut.
Memahami perbedaan
Jogja adalah melting pot. Benar Jakarta adalah tujuan utama para perantau, tapi saya pikir Jogja lebih tepat untuk disebut sebagai melting pot di Indonesia. Setidaknya, orang datang ke Jogja tak melulu untuk cari uang, tapi lebih ke mencari jati diri. Keberagaman budaya yang dibawa, serta banyaknya orang mencari jati diri mereka di kota ini, bikin kita belajar banyak hal.
Di Jakarta, kau belajar bahwa hidup itu keras. Di Jogja, kalian belajar menjadi manusia. Sudah paham kan perbedaannya?
Kawah Candradimuka para orang hebat
Salah satu yang bisa disyukuri dari kuliah di Jogja adalah, setidaknya, pernah berproses di kota yang menghasilkan banyak orang-orang hebat di Indonesia. Ah, saya bahkan tak bisa menuliskan nama-namanya saking banyaknya. Hal tersebut, menyumbangkan magisnya sendiri. Meski belum tentu kita berhasil seperti mereka, setidaknya kita jadi tahu, kenapa mereka “jadi orang” setelah kuliah di Jogja.
Bahkan, beberapa orang besar yang “dididik” oleh Jogja, masih membumi seperti dulu ketika mereka merintis karier. Jangan begitu kaget melihat Joko Pinurbo atau orang ternama lain beda meja kopi dengan kalian.
Progresif
Saya nggak bisa berkata banyak tentang ini, tapi yang jelas, kalian akan jadi orang yang berbeda setelah kuliah. Itu semua karena lingkungan yang progresif dan komunitas-komunitas yang akan memberi kalian sudut pandang berbeda tentang hidup. Saya pikir, inilah salah satu daya tarik kuliah di Jogja: membentuk manusia.
***
Tak ada gading yang tak retak, tak ada pemain sepak bola yang tak blunder. Kota ini tak sempurna. Konflik antarsuku, UMR yang tak manusiawi, tumpukan sampah di Piyungan, sampah visual, melumuri keindahan Jogja yang bikin keindahannya terlihat muram.
Namun, mungkin saja, itulah yang bikin kalian menapak tanah. Tak ada yang benar-benar indah, tak ada yang patut dipuja berlebihan. Mungkin itulah yang bikin saya benar-benar bersyukur pernah kuliah di Jogja. Kota ini membuatmu sadar, membuatmu jadi manusia.
Dan pada satu titik, kota ini bikin kalian ingin pulang. Mengenang apa-apa yang ada, dan bersyukur itu telah terjadi.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Dosa dan Pahala Kampus Swasta di Jogja