Pak tua Fidel Castro mungkin sedang tersenyum bahagia di singgasana. Pasalnya apa yang diimpikannya terjadi di Kuba dulu sedang diwujudkan oleh generasi penerusnya saat ini.
Comandate, sebagaimana sapaan rakyat Kuba untuk beliau semasa hidupnya memang mendambahkan adanya solidaritas global antar negara. Fidel Castro kerap bericara solidaritas sembari dengan lantang menggaungkan suara anti-imperialisme dan neo-kolonialisme. Dia begitu vokal dalam menyerang Amerika dan negara-negara Eropa barat yang masih saja menghegemoni negara-negara jajahan mereka.
Dalam pidato panjangnya (iya, pidatonya emang panjang, durasinya sampai 4,5 jam!) yang dia sampaikan di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Fidel Castro sampai berbicara seperti ini:
“Perjuangan rakyat Kuba dalam mempertahankan kemerdekaan dari imperialisme Amerika adalah masalah yang juga dialami oleh banyak negara lain yang dijajah. Dengan bangga kami mengatakan bahwa hari ini tidak ada kedutaan yang menguasai rakyat kami. Negara kami diatur oleh rakyatnya sendiri!”.
Kalimat penutup dari pidato panjang ini jadi begitu populer, lengkap dengan perkataan khasnya, “Patria o muerte, venceremos!” yang atinya, “Tanah air atau mati, kita pasti menang!”. Sampai sekarang, ide-ide yang digagasnya masih terasa bukan hanya di Kuba, tapi juga di negara-negara Amerika Latih, hingga Asia dan Afrika.
Fidel Castro dan Che Guevara memang menginspirasi banyak manusia. Mereka mencontohkan nilai-nilai kemanusiaan dengan selalu bersolidaritas kepada negara-negara yang sedang tertindas dan membutuhkan bantuan. Sudah sering sekali Kuba di jaman mereka mengirimkan bantuan medis dan melatih pasukan di berbagai negara konflik seperti Libya, Kongo, dan lainnya. Che, juga diberikan tugas mengelola proyek yang tujuannya untuk mendanai gerilyawan militan untuk membantu negara-negara itu.
Solidaritas yang diberikan Kuba masih lestari hingga kini. Buktinya, ketika banyak negara bersepakat untuk menutup diri dan memberlakukan aturan keras bagi warga negara mereka, Kuba jadi negara yang tetap membuka akses dan bersedia memberikan bantuan. Pasukan jubah putih (sebutan bagi tim medis Kuba) dengan gagah berani mendatangi sejumlah negara untuk membantu mereka melawan virus corona. Sebuah misi kemanusiaan yang tidak banyak negara berani lakukan. Sungguh Kuba memang negara kecil dengan nyali yang besar.
Kuba hanya negara kecil yang juga terpencil di Kepulauan Karibia. Negara ini hanya memiliki 11,48 juta penduduk per tahun 2017 dan. Dan memiliki luas wilayah yang lebih kecil dari pulau Jawa yaitu hanya 109.884 km². Saya pikir tidak banyak orang jaman sekarang mengenal namanya. Orang-orang jaman dulu sepertinya lebih familiar dengan Kuba terbukti dari populernya poster dan kaos bergambar Che Guevara dengan baret merahnya.
Negara ini juga tidak kaya. Malah, sejak jalur perdagangannya diblokade AS, pertumbuhan ekonomi Kuba tidak banyak bertumbuh dibanding negara-negara lain. Kalau dibandingkan dengan Indonesia pun kalah jauh. Pendapatan per kapita Kuba hanya sebesar 87,13 miliar USD di tahun 2017, Indonesia sendiri di tahun yang sama punya pendapatan 1.016 triliun USD.
Tapi meskipun begitu, Kuba selalu ada di garis terdepan saat membantu negara-negara yang membutuhkan. Saat virus Ebola melanda Afrika Barat, sampai saat Haiti diserang wabah kolera. Dokter-dokter Kuba selalu terjun ke sana. Dan semuanya tanpa minta imbalan dan balas budi. Hal ini hanya bisa dilakukan karena Kuba memang memiliki sistem kesehatan yang bagus. Mereka punya rasio dokter dan pasien terbaik di seluruh dunia, hal yang tentu tidak mengherankan karena di Kuba untuk kuliah kedokteran bisa dilakukan secara gratis.
Dalam perang melawan virus corona ini Kuba mengirimkan bantuan ke 16 negara, juga aktif membuat anti virus yang dinamai Recombinant Interferon Alpha 2B (IFNrec) yang sekarang digunakan oleh dokter di China untuk mengobati warga yang terinfeksi corona. Obat ini salah satu dari 30 obat yang dipakai otoritas Kesehatan Tiongkok untuk melawan virus Corona. Obat ini sejak 2003 silam diproduksi oleh perusahaan patungan kedua komunis ini bernama ChangHeber.
Dengan meningkatnya kasus baru per hari, tidak ada salahnya pemerintah Indonesia dapat membuka diri. Apakah pemerintah terutama pejabat-pejabat negara yang sebelumnya bersikap remeh itu akan terbuka? Di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang masih terus seruhkan anti komunis. Tapi menurut saya dalam situasi genting ini, baiknya perdebatan-persebatan seperti itu mestinya ditinggalkan demi solidaritas kemanusiaan.
BACA JUGA Belajar dari Bhutan kalau Kekayaan Tidak Menjamin Kebahagiaan dan tulisan Hupla Nehemia Sobolim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.