Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Kritik Penanganan COVID-19 Telah Berubah Jadi Perulangan Perang Cebong-Kampret 

Rofii Zuhdi Kurniawan oleh Rofii Zuhdi Kurniawan
13 Mei 2020
A A
mengkritik pemerintah, wabah corona covid-19 residu politik Seandainya Elite Politik Negeri Adalah Kenshin Himura, Betapa Indahnya Negeri Ini

wabah corona covid-19 residu politik Seandainya Elite Politik Negeri Adalah Kenshin Himura, Betapa Indahnya Negeri Ini

Share on FacebookShare on Twitter

Tanggal 2 Maret 2020 menjadi awal mula munculnya kasus COVID-19 di Indonesia. Pengumuman itu sekaligus menampar wajah pongah pejabat yang selalu menyiarkan wacana tentang kekebalan Indonesia terhadap virus COVID-19. Kesombongan ditambah kesan pejabat menyepelekan pandemi selama bulan Januari dan Februari 2020 dapat digambarkan sebagai sikap antisains. Diperparah lagi penolakan mereka atas kenyataan wabah telah menyebar secara global, termasuk dengan melawan pernyataan otoritas kesehatan global yang didukung oleh para ilmuwan.

Pada sisi lain Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sering mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap virus COVID-19. Peringatan Anies didasari oleh data-data berdasarkan ilmu pengetahuan yang beliau mulai pelajari sejak dari virus COVID-19 menyebar di Wuhan, China. Fokus beliau mempelajari COVID-19 rupanya berbanding terbalik dengan pemerintah pusat dalam menghadapi pandemi COVID-19. Kewaspadaan Anies ia klaim sudah dilakukan semenjak akhir Januari dengan menyiapkan berbagai skenario khusus untuk menghadapi COVID-19 di DKI Jakarta.

Pada kedua kasus di atas, terjadi kontestasi wacana penanganan COVID-19. Anies lebih menekankan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan dan kewaspadaan sejak dini terhadap pandemi, sedangkan pemerintah pusat malah bertindak sebaliknya. Kontestasi wacana antara Anies dengan pemerintah pusat khususnya Kemenkes baru disadari masyarakat pada Maret. Baru di bulan itulah media mulai fokus menyorot penanganan virus COVID-19 di Indonesia.

Peran media konvensional dan media sosial untuk menjadikan virus COVID-19 topik utama pembicaraan berbanding lurus dengan atensi publik yang semakin luas. Salah satu topik yang sering diangkat ialah penanganan COVID-19 oleh pemerintah. Di sinilah mulai terjadi perang opini dari berbagai kalangan yang pro dan kontra terhadap penanganan COVID-19 oleh pemerintah pusat. Pihak kontra penanganan COVID-19 oleh pemerintah pusat umumnya menahbiskan Anies sebagai simbol dan sumber referensi. Kontestasi wacana tentang COVID-19 oleh pemerintah pusat terhitung terjadi hampir setiap waktu baik di media konvesional seperti TV, radio, koran, hingga media sosial.

Pada momen ini juga terjadi perpindahan arena pertarungan wacana dari yang semula fokus kepada penanganan COVID-19 malah merembet pada pertarungan identitas politik bawaan pemilu 2019. Sebagian masyarakat bukan lagi menganggap bahwa Anies merupakan simbol kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan, sedangkan pemerintah pusat anti ilmu pengetahuan. Sebaliknya, mereka malah menganggap Anies adalah simbol kubu yang kalah di pilpres lalu serta mengagungkannya bertindak lebih baik dalam penanganan COVID-19. Pemerintah pusat disimbolkan sebagai penguasa yang menang pemilu tapi lalai atau buruk dalam menangani COVID-19.

Munculah kontestasi di media sosial yang mirip dengan kejadian selama pemilu 2019 lalu. Residu politik pemilu 2019 yang berbasis identitas kembali menyeruak di media sosial selama COVID-19. Mulai dari pertarungan beberapa tagar seperti #jokowitidakbecus dengan #nyamanbersamajokowi dan pertarungan opini tentang cebong-kampret yang muncul kembali. Respons pemerintah pusat pun tidak terlalu baik dalam menangani residu politik di tengah COVID-19. Memang pemerintah pada fase kedua (Maret-sekarang) penanganan COVID-19 sudah menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar utama penanganan sehingga perdebatan tentang anti dan pro pengetahuan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, tindakan dan seringnya, perbedaan pendapat terkait penanganan COVID-19 antara pemerintah DKI Jakarta dengan Pusat terlihat mengamini perang wacana di media sosial.

Keluarnya Perpu 1/2020 dan PP 21/2020 tentang penanganan COVID-19 justru bukan mendinginkan suasana, tapi semakin memicu perdebatan di ranah media. Kedua peraturan itu dianggap oleh beberapa pihak dapat membungkam kritik publik karena pejabat pemerintah diberi kekebalan hukum sehingga ditakutkan mengancam demokrasi. Ditambah dengan UU ITE yang secara tersirat memberi wewenang pemerintah untuk mendefinisikan mana hoax dan mana bukan. Residu politik pemilu 2019 yang kembali muncul di tengah pandemi COVID-19 justru ditangani secara otoriter oleh pemerintah pusat.

Fenomena munculnya residu politik pemilu 2019 sebenarnya tidak muncul begitu saja. Budaya politik afektif yang menimbulkan orientasi politik subjektif menjadi permasalahan pokok yang harus diperbaiki. Budaya politik afektif tidak menghadirkan rasionalitas dalam demokrasi, tapi melahirkan perasaan emosional yang mengikat kuat. Elite politik patut dijadikan kambing hitam dalam permasalahan ini karena tidak melalukan sosialisasi dan edukasi politik dengan baik.

Pertarungan wacana ini bisa digambarkan sebagai dampak dari literasi digital masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Terbukti dengan adanya laporan Bank Dunia (2018) yang menyatakan bahwa 55% masyarakat Indonesia masih buta huruf fungsional atau kurang bisa memahami informasi yang dibaca/dicerna. Efek dari budaya politik afektif dan rendahnya literasi inilah dampak nyata dari mudahnya residu politik muncul ditengah pandemi ini. Edukasi menjadi jalan utama agar publik tidak mudah terpancing residu politik pemilu lalu.

Elit politik sebagai pihak seharusnya menjadi promotor utama dalam program edukasi politik kepada masyarakat. Sayangnya, mereka malah bertindak sebaliknya dengan memperkeruh dan menggunakan budaya politik serta rendahnya literasi digital menjadi momen untuk kepentingan politik sesaat. Dibanding mengeluarkan peraturan yang resisten, seharusnya pemerintah melakukan edukasi semakin masif melalui pendidikan. Sejauh ini upaya pendidikan politik yang dilakukan oleh pemerintah belum maksimal. Alih-alih menjadikan pendidikan sebagai wahana pengetahuan politik, pendidikan justru malah dijadikan kedok kepentingan politik belaka. Seperti kekayaan budaya yang luar biasa Indonesia telah disangkal, dibengkokkan, atau dilupakan dalam pelajaran sejarah resmi dan ingatan publik, karena berbagai kelompok modernis bersaing untuk mencoba memaksakan satu deinisi yang lebih sempit mengenai arti menjadi Indonesia yang sah dan terhormat

Di sinilah peran masyarakat untuk lagi-lagi saling menyadarkan satu sama lain tentang edukasi poltik. Kembali ruang yang seharusnya diisi oleh negara malah kembali harus diemban oleh masyarakat. Sebagai masyarakat kita harus sadar bahwa Indonesia memiliki kekayaan suku bangsa, sejarah, dan budaya yang sangat beragam. Kekayaan ini merupakan berkah dari campuran berbagai pandangan, kerja kreatif orang-orang berpikiran kosmopolitan yang mengupayakan versi lokal modernitas campuran. Seharusnya COVID-19 membawa kita ke dalam perdebatan lebih substantif dan empiris sebagai bentuk kontrol terhadap negara. Menjadikan kita sadar bahwa residu politik yang menekankan pengotak-kotakan identitas sesama anak bangsa diganti dengan dengan perdebatan ide brilian untuk memajukan Indonesia.

BACA JUGA Pendidikan di Era Digital Membawa Jenis Ketimpangan Baru yang Lebih Parah dari Sebelumnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 13 Mei 2020 oleh

Tags: Cebongcovid-19KampretPilpresPolitik
Rofii Zuhdi Kurniawan

Rofii Zuhdi Kurniawan

Mahasiswa lajon Jogja-Wonosari saban akhir pekan.

ArtikelTerkait

Pemerintah yang Gagal Kendalikan Pandemi, kok, Malah Rakyatnya yang Disalahin? terminal mojok.co

Pemerintah yang Gagal Kendalikan Pandemi, kok, Malah Rakyatnya yang Disalahin?

8 Juli 2021
Memahami Politisasi Sains dan yang Ditakutkan dari Prahara BRIN

Memahami Politisasi Sains dan Hal-hal yang Ditakutkan dari Prahara BRIN

14 Januari 2022
survei elektabilitas 2024

Survei Elektabilitas Capres, Berita Penting di Waktu yang Salah

11 Oktober 2021
Depok Jawa Barat Lebih Terkenal daripada Daerah Bernama Depok Lain karena Hal-hal Ajaibnya Mojok.co

Depok Jawa Barat Lebih Terkenal daripada Daerah Bernama Depok Lain karena Hal-Hal Ajaibnya

28 Januari 2024
Drama Nyelekit Angkatan Giveaway dalam UTBK 2020

Drama Nyelekit Angkatan Giveaway dalam UTBK 2020

11 April 2020
Honor Pemakaman Covid-19 untuk Pejabat Itu Bukan Salah Sasaran, Cuma Cacat Nalar dan Nurani terminal mojok.co

Honor Pemakaman Covid-19 untuk Pejabat Itu Bukan Salah Sasaran, Cuma Cacat Nalar dan Nurani

27 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Sleeper Bus Solusi Menghindari Penumpang Menyebalkan (Unsplash) bus sleeper

Pengalaman Pertama Naik Bus Sleeper: Susah Tidur, Perut Mual, Ruang Sempit!

18 Juli 2025
Kasihan Bantul Nggak Butuh Dikasihani seperti Namanya, Kecamatan Ini Sudah Overpower

Kasihan Bantul Nggak Butuh Dikasihani seperti Namanya, Kecamatan Ini Sudah Overpower

17 Juli 2025
Pengalaman Naik KA Kahuripan: Masih Saja Kecewa, padahal Sudah Pasang Ekspektasi Serendah Mungkin Mojok.co

Pengalaman Naik KA Kahuripan: Masih Saja Kecewa, padahal Sudah Pasang Ekspektasi Serendah Mungkin

14 Juli 2025
Pengalaman Pertama Naik Bus Ekonomi 14 Jam: Murah sih, tapi Banyak Huru-hara, Sopir Nggak Ramah!

Pengalaman Pertama Naik Bus Ekonomi 14 Jam: Murah sih, tapi Banyak Huru-hara, Sopir Nggak Ramah!

17 Juli 2025
4 Makanan Khas Purwokerto yang Pantas Jadi Oleh-oleh selain Keripik Tempe dan Nopia, Sayangnya Tidak Banyak Wisatawan Tahu Mojok.co

4 Makanan Khas Purwokerto yang Pantas Jadi Oleh-oleh selain Keripik Tempe dan Nopia, Sayangnya Tidak Banyak Wisatawan Tahu 

14 Juli 2025
Hal yang Perlu Diluruskan tentang GKB Gresik biar Nggak Salah Kaprah

Jangan Pernah Bahas 4 Hal Super Sensitif Ini di Depan Warga Gresik, Jika Kalian Tak Ingin Ribut!

17 Juli 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=GyP2I7Gxgvg

DARI MOJOK

  • Pengalaman Naik Bus Malam: Laptop Berisi Skripsi Digondol Maling, Ganti Rugi Tak Seberapa tapi Mimpi Jadi Sarjana Harus Tertunda
  • Kok Bisa Menyesal Ambil KPR di Tanah Rantau, Memangnya Sebelum Ambil Rumah Nggak Pake Mikir?
  • Film “Sore: Istri dari Masa Depan” Memberi Penyesalan, Harapan Semu, dan Dendam pada Kehidupan Rumah Tangga di Masa Lalu
  • Rekomendasi 7 Drama Korea Medis Terbaik Sepanjang Masa
  • Profesi Relawan Menyadarkan Saya Pentingnya Kata Selamat Tinggal dan Terima Kasih di Kehidupan yang “Chaos”
  • Rasanya Ditipu Berkali-kali sama Suami Saat Naik Sepeda Jarak Jauh, Menempuh 55 Kilometer via Jalur Biadab Menuju Waduk Sermo

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.