Sejak zaman Orde Baru sosio-kognisi kita telah diisi dengan frasa “ayo menabung”, sampai-sampai dibuatin lagunya agar menabung menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan tanpa paksaan. Namun, patut diperhatikan bahwa ada yang salah sejak dari niatan dengan konsep menabung orbais yang sebenarnya tidak menguntungkan pemilik tabungan, tapi justru pihak bank. Sebab, uang yang ditabung di bank akan tergerus inflasi yang nilainya semakin rendah dari waktu ke waktu. Ada penjelasan mengapa hal itu bisa terjadi.
Bank tidak hanya tempat untuk orang-orang menyimpan uangnya dengan aman namun juga tempat orang bisa meminjam uang. Lantas dari mana bank mendapatkan uangnya? Ya dari simpanan orang-orang. Setiap seribu rupiah tabungan yang Anda miliki di bank, sistem memberikan keistimewaan bagi bank untuk bisa meminjamkan sepuluh ribu rupiah; artinya sepuluh kali lipat dari uang yang Anda tabung di bank.
Saya akan membuat sebuah ilustrasi yang akan membantu memahami bagaimana ekonomi dan sistem perbankan bekerja. Sebut saja Pak Karyo seorang developer sekaligus pemilik toko bangunan. Ia memiliki uang 100 juta di rumah. Namun, ia ketakutan menyimpan duitnya di rumah karena bisa disatroni oleh Roni, ketua perampok yang terkenal di kampungnya. Jadi Pak Karyo lebih memilih untuk mengamankan uangnya dengan menyimpannya di bank milik Bang Anton.
Setelah uang Pak Karyo disimpan di Bang Anton, Bang Anton juga malas memegang uang besar karena dia tahu uang yang dia simpan adalah liabilitas. Risiko tinggi kehilangan jika disimpan, lebih baik uang ini dipinjamkannya ke orang lain, dengan bunga tentunya. Bankir menjadi sama dengan dermawan baik hati karena meminjamkan uang kapada yang membutuhkan. Setelah anak buah dari Bang Anton mencari-cari orang yang tepat, ditemukanlah seorang perempuan bernama Bu Dewi yang cocok untuk dipinjamkan.
Bu Dewi adalah seorang pedagang kue yang ingin membangun toko kue agar bisnisnya lebih maju. Setelah hitung-hitungan, Bang Anton yakin Bu Dewi adalah orang yang tepat karena ia akan meminjam uang untuk membangun usaha, bukan membuang-buang uang membangun istana, apalagi pindah ibu kota.
Akhirnya ibu Dewi diberikan pinjaman uang 100 juta oleh Bang Anton dengan bunga yang telah disepakati. Uang itu digunakan Bu Dewi untuk diserahkan kepada Pak Karyo membangun toko kuenya. Pak Karyo yang ketiban rezeki menyimpan lagi uang di bank. Istirahat dulu ya karena saya ingin bertanya. Jadi berapa uang Pak Karyo di Bang Anton?
200 juta.
Teeet. Betul!
Lantas berapa uang yang ada di Bang Anton?
200 juta.
Neng nong. Salah!
Hanya ada 100 juta uang yang ada di Bang Anton.
Loh loh… owalah iya uang itu muter tapi jumlahnya di bank tidak berubah.
Kita lanjutkan lagi ya. Ternyata 100 juta tidak cukup untuk membangun toko Bu Dewi, Pak Karyo meminta uang tambahan 100 juta. Karena Bu Dewi tidak ada uang maka meminjamlah Bu Dewi, lagi-lagi ke Bang Anton untuk kemudian diberikan kepada Pak Karyo. Mendapat tambahan 100 juta, Pak Karyo menabung lagi uangnya di Bang Anton. Jadi berapa uang Pak Karyo di bank?
300 juta.
Teet. Betul!
Lantas berapa uang yang ada di Bang Anton?
300 juta.
Neng nong. Salah lagi.
Hanya 100 juta uang yang ada di Bang Anton.
Yap, kira-kira begitulah ekonomi bekerja. Begitulah sistem perbankan bekerja. Tentu saja lebih kompleks dari itu, saya menyederhanakannya agar lebih mudah dimengerti. Bank rata-rata mempunyai keistimewaan memberikan peminjaman sampai 10 kali nilai uang yang tersimpan di brankasnya. Meski uang di Bang Anton tidak bertambah secara fisik, tetap 100 juta, namun uang milik Pak Karyo di Bang Anton sudah 300 juta. Bagaimana jika Pak Karyo mau mengambil uang 300 jutanya di Bang Anton saat itu juga?
Ekonomi akan kolaps!!!
Dengan cara ini bank mendapatkan keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan cara ini pula uang Anda semakin kehilangan nilai dari waktu ke waktu karena bank rata-rata diberikan keistimewaan mencetak uang sejumlah 10 kali nilai dari duit yang ada di simpanannya. Inilah yang kemudian akan berkontribusi menjadi inflasi. Setiap rupiah yang kita tabung sebenarnya berkontribusi terhadap inflasi. Lho, lho, kok saya malah menambah kabar buruk di tengah pandemi?
Ya tidak apa-apa kan. Yang bertugas memberikan kabar baik itu Pak Jokowi dan Menteri Terawan. (Meski Pak Terawan saat ini kita tidak tahu di mana rimbanya. Apakah mungkin diculik alien? Kok sudah tidak kelihatan sejak kurva positif korona mendaki puncak Rinjani.)
Tugas memberi kabar buruk adalah tugas Ibu Sri Mulyani. Dan jika kabar buruk itu masih kurang jelas keburukannya, saya akan bantu menjelaskan bila perlu mensosialisasikannya.
Saat ini Ibu Sri sudah menerbitkan surat utang dan berancang-ancang untuk mencetak uang untuk membantu keuangan negara mengatasi pandemi yang akan mengancam ekonomi Indonesia ke depannya. Resesi dan krisis ekonomi sudah mengancam di depan mata bahkan sebelum pandemi jadi semakin nyata saja. PHK sudah terjadi di mana-mana. Perusahaan-perusahan mulai terseok-seok. Bahkan Ibu Susi Pudjiastuti dalam ILC saja mengatakan bahwa perusahaannya mungkin hanya mampu bertahan 2-6 bulan lagi jika tidak ada intervensi dari pemerintah. Kurang nyata apa ancaman resesi dan krisis ekonomi?
Ada sesuatu yang menarik yang disampaikan Robert Kiyosaki tentang perbedaan resesi dan krisis yang sebenarnya gak beda-beda amat. Bedanya adalah jika tetanggamu kehilangan pekerjaan/penghasilan maka itu bukanlah krisis ekonomi melainkan resesi, namun jika kamu juga ikut kehilangan pekerjaan/penghasilan baru namanya krisis ekonomi.
Nah bagaimana situasi kalian saai ini? Sedang mengalami krisis atau resesi ekonomi?
Lah, dari tadi kok serem-serem saja dibahas coba kasih solusi. Apakah tidak ada solusi?
Tentu saja ada.
Dengan ancaman krisis ekonomi dan nilai uang yang semakin turun drastis merupakan suatu kesalahan menyimpan uang dalam bentuk fisik. Jika kalian punya kelebihan uang mungkin bisa bantu menggerakkan sedikit roda ekonomi di sekitar kalian seperti yang disampaikan Kepala Suku Mojok. Berbelanjalah! Ini merupakan solusi yang paling konkret.
Apakah ada cara lain? Karena saya ingin finansial saya bertahan bukan buang-buang uang.
Untuk Anda yang rada perhitungan ada solusi lain, investasi!
Jangan dengarkan omong kosong Daniel Kaito yang mengatakan menabung 60% yang ngawur sekali karena menabung secara konseptual saja sudah salah. Jangan dengarkan rayu gombal Harto, jangan pula dengarkan bujuk rayu lagu indah orbais “Ayo Menabung”. Menabung bukanlah solusi. Catat, mamen!
Menabung hanya menjadi benar jika yang ditabung itu bukan uang dalam bentuk kertas karena uang kertas jika terjadi krisis tidak lebih dari sampah kertas, seperti terjadi di Venezuela. Menabung malah justru memperburuk keadaan karena roda ekonomi saat ini butuh pergerakan uang, bukan malah disimpan yang hanya membuat nilainya semakin memburuk. Jika Anda bukan tipikal enterpreneur yang mampu berwirausaha, Anda boleh memikirkan menabung dalam bentuk bentuk lain. Bisa emas, properti, obligasi, dan saham, yang lebih dikenal sebagai investasi.
BACA JUGA Mengukur Ekonomi Anak Kos dari Sabun Mandi yang Dipakainya dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.