Pergantian tahun tinggal menghitung hari. Pada saat ini, semua negara telah bersiap-siap menyambut juru selamat yang ditunggu-tunggu kedatangannya untuk mengendalikan keganasan covid-19, juru selamat tersebut adalah vaksin.
Ketersediaan vaksin ini benar-benar dinantikan oleh semua orang di dunia ini. Saking dinantinya, sampai-sampai ada rumah sakit yang sudah membuka preorder bagi yang mau beli. Tentunya yah dengan harga ratusan ribu lah yah.
Bicara soal harga, saya jadi teringat dengan Prof. Henry Subiakto. Pada acara ILC sebulan lalu, Profesor yang punya gelar kompresor ini mempertanyakan harga vaksin corona yang dibandrol kisaran dua dolar, alias seharga 30 ribuan rupiah. Kesangsian beliau ini menurut saya sangat berdasar, mosok vaksin yang dicari-cari oleh seluruh negara di dunia cuma dihargai 30 ribu, harga itu bahkan lebih murah dari obat Sanmol (penurun panas) yang diminum oleh teman saya waktu dia dirawat di rumah sakit.
Anehnya, ketika vaksin dinyatakan mulai tersedia dan akan segera disebarkan ke penjuru dunia, eeeh ada beberapa negara yang berani-beraninya menggratiskan untuk warga negaranya. Ini kan kalau mengacu pada sudut pandang Prof Henry Subiakto, sungguh tidak bisa diterima. lah dihargai dua dolar saja aneh, ini kok malah digratiskan. Apakah para pejabat negara-negara yang menggratiskan ini tidak paham teori supply and demand yah?
Beberapa negara yang saya ketahui menggratiskan vaksin adalah Belgia, Hongkong, Saudi Arabia, Bahrain, Jepang, Perancis, Amerika Serikat, Kanada, bahkan India. Iya India, negara yang notabenenya punya predikat sebagai negara overpopulasi seperti Indonesia.
Sebagai seorang warga negara yang menterinya sempat diundang oleh WHO karena dianggap berhasil mengatasi Covid-19, saya perlu menyarankan negara-negara tersebut untuk mencontoh Indonesia dalam urusan vaksin corona.
Di Indonesia, urusan vaksin yah harus bayar, paten itu. Vaksin merupakan barang langka, mendapatkannya juga butuh waktu tunggu yang tidak sebentar. Sebagaimana logika supply and demand yang dikemukakan oleh Prof. Henry Subiakto waktu di ILC dulu, maka harganya haruslah mahal. Oleh karena itu patokan harga yang dikalkulasikan oleh pemerintah di kisaran angka 400 ribu sampai 500 ribu rupiah. Kalkulasi semacam ini harusnya ditiru oleh negara-negara yang menggratiskan. Mereka harusnya paham, bahwa vaksin saat ini merupakan komoditas yang bernilai ekonomis.
Setelahnya, untuk membuat masyarakat mau beli, pemerintah Indonesia punya senjata yang bernama influencer. Setiap cuitan, postingan, serta suara yang mereka keluarkan bisa membuat masyarakat jadi tergerak untuk segera membeli vaksin, persoalan harganya yang agak sedikit mahal, bisa dikesampingkan, yang penting apa yang dikampanyekan oleh influencer pemerintah soal vaksin dan tetek bengek lainnya ini bukan hoax.
Jadi mau tidak mau masyarakat harus percaya, kalau tidak percaya dan tidak membeli, nanti dicap sebagai antipemerintah. Langkah ini harusnya dicontoh oleh pejabat-pejabat negara yang menggratiskan vaksin. Mereka harusnya sadar bahwa kekuasaan mereka mampu memaksa rakyat untuk membeli vaksin tersebut. Jadi harusnya tidak perlu digratiskan segala.
Kemudian, yang unik dari pejabat pemerintah Indonesia adalah pungli. Bukan pungutan liar, tapi pungutan mulia. Ini sungguh patut diperhatikan dan ditiru oleh negara-negara yang menggratiskan vaksin itu.
Di Indonesia, pejabat pemerintahannya itu butuh pungli untuk mensejahterakan hidup mereka. Gaji mereka ini sedikit loh, lebih sedikit dari gaji TKI di Korea atau Jepang yang menembus angka 25 jutaan.
Contohnya nyatanya kita bisa lihat dua menteri di Indonesia yaitu Pak Edhy Prabowo dan Pak Juliari Batubara. Mereka berdua memang diciduk oleh KPK karena dianggap korupsi dan menerima suap, tapi padahal, mereka sebenarnya sedang menerapkan praktik pungli, yaitu pungutan mulia.
Mereka hanya berusaha mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi gaya hidup mereka yang tidak cukup bila hanya bersandarkan dari gaji seorang menteri. Kebetulan mereka sedang apes saja sehingga ketahuan KPK.
Lah Mahkamah Agung saja dalam perkara Fahmi Darmansyah yang memberikan suap berupa mobil mewah kepada Kepala Lapas Sukamiskin disebut aksi kedermawanan. Lembaga negara setingkat MA saja bisa berstatemen seperti itu. Artinya para pejabat di Indonesia ini memang butuh dikasihani.
Melihat hal tersebut, maka akan sangat aneh jika urusan vaksin yang dananya pasti gede, oleh negara lain akan diberikan gratis kepada rakyatnya. Nanti punglinya jadi susah, skema cashback sepuluh ribu seperti bansos jadi sulit dipraktikkan. Jadi wajar jika di Indonesia vaksin itu harus bayar, karena kalau tidak nanti pejabatnya tidak ada pemasukan tambahan.
Maka dari itu, negara-negara yang menggratiskan vaksin harus mengubah kebijakan mereka menjadi vaksin berbayar. Kasihan loh pejabat-pejabat negaranya, nanti tidak bisa sesejahtera pejabat negara di Indonesia.
BACA JUGA Pengalaman Jadi Buzzer Produk Sukses di Twitter dan tulisan Muhammad Iqbal Haqiqi lainnya.