Satu dekade yang lalu, Banguntapan adalah sebagaimana daerah lainnya di Jogja yang bergelut dengan keheningan. Ramai-ramai paling ketika musim panen tiba. Di daerah saya misalnya, ramai-ramai acapkali dilakukan ketika menyambut panen raya dengan mengadakan beberapa acara seperti nanggap wayang dan jatilan.
Yang lalu tentu biarkan berlalu, walau kadang rindu selalu menggebu untuk dibingkai dalam memori semu. Kini Banguntapan digadang-gadang sebagai “kota satelit” dengan peningkatan dalam hal infrastrukturnya. Pemandangan sawah, kini bergeser kepada perumahan-perumahan dari mulai yang elite hingga yang biasa saja. Semua ada. Tertarik? Senin harga baik.
Ketika satu dekade lalu saya tersesat di galengan sawah, kini ketersesatan tersebut agaknya dimodifikasi menjadi sedikit lebih keren, yakni tersesat di kompleks perumahan. Tidak perlu saya sebutkan, perumahan satu dengan perumahan lainnya seakan menyambung tidak terputus. Bentuk rumahnya sama dan hanya berbeda kata belakangnya saja. Kalau nggak “Asri”, “Permai”, “Gemilang” ya pastinya “Indah”.
Entah apa daya tariknya Banguntapan hingga banyak investor mau menanamkan modal, yang jelas jika pemilik Perumahan Yonder dalam film Vivarium (2020) tinggal di Indonesia, pasti tertarik membangun perumahan super njlimetnya itu di Banguntapan. Namanya diubah sedikit menjadi Griya Yonder Gemilang.
Vivarium merupakan film produksi XYZ. Sebagaimana pabrikan XYZ yang lain, film Vivarium menempatkan premis-premis menarik dalam pengembangan ceritanya. Diceritakan Tom dan Gemma sedang mencari rumah, bertemulah dirinya dengan Martin yang merupakan sebuah agen perumahan dengan gaya kaku seperti pemerintah sedang menerapkan aturan-aturannya. Mulai dari sana, keanehan pun dimulai.
Film Vivarium ini penuh pesan subliminal khas Dua Garis Biru dengan kerang dan ondel-ondelnya. Banyak yang bilang ceritanya rumit, tapi bagaimana jadinya jika Perumahan Yonder ini berada di Banguntapan? Bukannya penuh kebingungan dan ketegangan akan alien-alien, yang ada malah keseruan khas mBantulan yang acapkali ditemui di tiap perumahan. Ya, beginilah sekiranya.
Gemma, guru PAUD Bina Anak Sholeh Segar Bugar baru saja selesai mengajar. Ia pun melihat muridnya yang sedang sedih melihat burung gemak ke tlindes truk gabah yang melaju menuju Piyungan. “Jangan sedih, Le, beginilah hidup, jika nggak hati-hati memilih tempat, maka itu risiko yang ia terima,” kata Gemma kepada muridnya.
“Tapi aku tidak ingin sembarangan dalam memilih tempat. Apalagi rumah,” kata muridnya dan berlalu meninggalkan Gemma. Ia hanya mbesengut, merasakan apa yang muridnya ini katakan, seakan memberikan kode tersembunyi bagi dirinya.
“Burung gemak sejatinya burung lincah. Saking lincahnya, ia bisa berlari sampai jalan raya dan tertabrak seperti ini,” kata Tom sambil datang menjemputnya. Tom adalah suami Gemma. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan mereka di GSP. Jika di film Vivarium mereka berciuman di depan PAUD, di versi ini mereka hanya salim. Indonesia, Buos!
Dengan senyum-senyum manja, Tom mengatakan bahwa ia ingin membelikan rumah untuk Gemma. Ketimbang mencari informasi ke agen perumahan, mereka memilih mencari informasi perumahan murah di Instagram. Kalau nggak ya di forum jual beli di Facebook. Namun, terkadang isinya malah postingan orang-orang pekok kemakan giveaway palsu.
Tom pun melihat sebuah postingan, dari pemilik akun bernama Martin Bapakke Azhari. Begini postingannya: RUMAH ATAS NAMA BAPAK MARTIN: Rumah Baru Siap Huni, LURddd! Mohon maav admin, numpang promo NGGiiihhh mbok dhe,, Rumah tanpa perantara. Cat warna hijau, PERUMAHAN GRIYA YONDER GEMILANG. Ancer-ancer Terminal Giwangan agak mengalor banting kidul terus bablas ambil wetan agak ngalor.
Walau postingannya aneh karena gaya bahasa alay menyerupai sandi alien, Tom tidak mempermasalahkan karena harganya murah. “COD tempatx aja LuRRRddd~” Mereka bergegas menuju lokasi COD yang dijanjikan. Setelah masuk kompleks perumahan Griya Yonder Gemilang, keanehan pun mulai dirasa.
Pertama, rumah di sini bentukannya sama semua. Agak kotak dan berwarna hijau. Kedua, tiap satu meter selalu ada polisi tidur. Ini naik mobil lewat jalanan kompleks berasa joget dangdut di Purawisata. Pating nggliyer nggak karuan. Ketiga, jika di film Vivarium nggak ada orang, tapi di sini Tom dan Gemma ketika lewat kompleks malah ditatap dengan curiga dan mereka bisik-bisik nggateli.
Ia pun sampai di kediaman Pak Martin yang mau dijual. Bentukan rumahnya sama semua, dari ujung sampai ujung lagi. “Kok jadi ingat Squidward pindah rumah, ya?” kata Gemma. Lagu di mobil pun melantun pelan “pindah berkala rumah ke rumah~” seakan memberikan pesan tersembunyi untuk mereka.
“Ini rumah nomer 9. Tapi lingkungan sekitar nggak enak. Kita mau balik aja?” kata Tom, Gemma malah menolak, ia memutuskan untuk tetap melihat-lihat. Ia tahu kondisi keuangan Tom, dan rumah ini adalah termurah dari yang termurah. Sesampainya di dalam rumah, Pak Martin selain alay, ia juga benar-benar aneh.
“Ini ruang tamu, kalau malam kondisinya dingin, sering ada beruang laut… tapi boong, ehe,” kata Pak Martin mencoba sok asyik. Tom dan Gemma kemekelen secara terpaksa.
“Bisa kurang sedikit, Pak? Pasangan baru lho, Pak, kita ini.”
“Waduh, NET je, Mbak. Ini paling murah, apalagi di pinggiran Jogja. Ke bandara cuma 10 menit.”
10 menit ndyasmu, pikir Tom. Jika menuju bandara, pasti macet di Ring Road. Jika liwat Piyungan, wah malah muter-muter dan kejebak di Jalan Solo. Mereka pun akhirnya deal. Berselang beberapa menit kemudian, Pak Martin hilang entah ke mana.
Tom dan Gemma coba untuk muter-muter kompleks dan keluar sebentar mencari Indomaret terdekat. Namun, hal-hal yang bikin merinding pun terjadi. Ia terus berputar-putar di daerah yang sama, melewati rumah nomer 9 lagi. “Wah, digodani demit iki pasti,” ujar Tom.
Sinyal nggak ada, bensin habis, mereka hanya bisa duduk di dalam rumah. Jika di film Vivarium mereka dapat paket-paket aneh (bahkan ada yang isinya bayi) di sini mereka kedatangan kurir dari Shopee. “Punteun PAKEEEET!” kata kurir paket dengan nada akhiran yang selalu melengking.
“Benar ini rumah Pak Toyib? Ada paket alat rekaman dari PT. Suara Pemerintah Tidak Enak. Isinya autotune supaya kalau bikin lagu agak nyaman di kuping pendengarnya.”
Gemma yang bosan lantaran ini puluhan kalinya kurir paket salah alamat pun membanting pintunya dengan acuh. Mereka nggak bisa keluar dari Griya Yonder Gemilang selama 3 bulan bukan karena terjebak lagi, tapi karena kesepakatan Pak Dukuh yang menyatakan lockdown mandiri di perumahan tersebut guna memutus mata rantai pandemi corona.
Jika di film Vivarium banyak kejadian aneh seperti “anak mereka” yang rewel dan selalu berteriak dan membuat mereka pusing, di sini mereka juga berjumpa ras manusia yang nggak kalah rewel dan bikin pusing, yakni tetangga. Ras mahkluk di bumi yang katanya tidak pernah pernah membiarkan tetangganya bahagia.
Mereka juga selalu mengeluarkan kata-kata yang bisa bikin tetangganya overthinking. “Kemarin saya baru beli mobil, Jeng. Duh gimana, ya, milenial ini kan peran mobil itu begitu urgensi. Apa ya Jeng Gemma nggak tertarik kredit mobil?”
Tom pun sama, ia sangat stres karena bapak-bapak di sini humornya terlalu jauh dari range umur Tom. Sebelas dua belas dengan guyonan Pak Martin di awal mereka berjumpa. Satu sisi Tom merasa cringe, sisi yang lain ia harus tertawa karena lawakan tersebut. “Pak Tom, kemarin saya ketemu alay. Ngasih saya mie. Mienya mie goyeng. Ayam goyeng. Ehe.”
Pertanyaan lain pun menyertai: Kapan beli ini? Kapan beli itu? Kapan sedekah dua miliar di masjid kompleks? Kapan kerja bakti? Kerja apa? Kerja di mana? Seakan privasi nihil di kompleks bernama Griya Yonder Gemilang. Pertanyaan yang ultimate bagi mereka tentu saja ketika mereka ditanyai, kapan punya anak. Pertanyaan ini lebih perih dari kapan lulus walau Gemma lulus dari FIB UGM selama 7 tahun.
“Emangnya aku sapi apa, ditanya kapan punya anak. Ya mau sih jelas mau, tapi nggak begitu dong!” sambat Gemma. Khas sambatan para pengantin muda. Padahal, belum mau punya anak adalah prinsip masing-masing pasangan. “Masa Jeng Tini suruh aku makan tokolan biar subur terus. Kompos tuh subur! Emang rahimku ini tanah!”
“Wuih, istri aku progresif sekali. Kamu pasti penulis Magdalene,” timpal Tom nggodani istrinya. “Aku juga sih, bingung aja sama bapak-bapak sini doyannya bikin TikTok ngelawak padahal nggak lucu blas.”
“Stres aku di perumahan ini, walau harganya murah. Aku jadi inget burung gemak yang ketlindes truk pembawa gabah. Aku bilang sama muridku beginilah hidup jika nggak hati-hati memilih tempat. Eh, malah kita yang kena batunya.”
“Sudah, Gemma. Kamu ini hanya terlalu baik. Ketika lockdown selesai, yang pertama kali aku lakukan adalah beli gembok. Biar tetangga kita nggak bisa keluar masuk sak penak udel e dewe ke rumah kita.”
Mereka pun menonton televisi, betapa kagetnya ketika beberapa alien menangis dan berteriak, “Terimakasih gerai MenCeDel atas kenangannya, aw aw”. Alien-alien itu berkerumun, menangisi sebuah gerai fast food yang katanya mau ditutup. Beberapa influencer yang nggak nginfluence-nginfluence amat juga berlomba bikin konten di sana.
Acara pun berubah ke breaking news ala-ala, “Bersama saya, Jeremi Teti, akibat ulah alien-alien ndablek bin pekok, masa PSBB dan swakarantina harus diperpanjang. Hal ini ditakutkan munculnya kluster-kluster baru selain kluster humaniora dan saintek. Sekian.”
Tom dengan mata sembab karena bosan di rumah pun hanya mbatin, “Bajingan.”
BACA JUGA Ketika Pogung Jadi Lokasi Syuting Film Maze Runner atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.