Setiap kali masa ospek selesai, poster-poster ajakan masuk organisasi mahasiswa ekstra kampus selalu bermunculan. Warnanya mencolok, logonya gagah, slogannya heroik: “Membela kaum tertindas!” atau “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!”. Membacanya bikin darah muda mendidih, seolah kita sedang dipanggil untuk menjadi bagian dari sejarah.
Tapi jangan buru-buru daftar. Masuk organisasi mahasiswa ekstra kampus itu kadang lebih mirip ikut negara dalam versi mini. Ada DPR-nya, ada kabinetnya, ada oposisi, sampai intrik politiknya. Bedanya, kalau negara main miliaran, organisasi ini mainnya di level uang kas dua ribu per kepala.
1# Rapat organisasi mahasiswa ekstra kampus = DPR Versi Mini
Kalau kamu kira rapat organisasi mahasiswa ekstra kampus itu produktif, siap-siap aja kecewa. Malam-malam yang dulunya bisa dipakai buat maraton drakor atau push rank mendadak habis untuk rapat yang entah ujungnya di mana. Jam 8 malam rapat dimulai, jam 10 masih bahas pembukaan, jam 12 masih berdebat soal teknis, dan jam 2 dini hari baru sadar bahwa keputusan ditunda ke rapat berikutnya.
Bunyinya mirip banget sama DPR: penuh jargon, penuh wacana, tapi realisasi minim. Malah kadang agenda rapat organisasi mahasiswa ekstra kampus adalah “menentukan jadwal rapat berikutnya”. Serius, ini organisasi mahasiswa atau panitia arisan RT?
Yang bikin tambah miris, banyak anggota baru terjebak dalam lingkaran rapat tanpa ujung ini. Dulu niatnya masuk organisasi buat berjuang, ujung-ujungnya malah jadi penonton setia debat internal. Mirip rakyat kecil yang tiap hari harus nonton drama paripurna di televisi: gaduh, ribut, tapi hasilnya nihil.
2# Senioritas = Feodalisme ala Politik
Di organisasi mahasiswa ekstra kampus, senior itu ibarat pejabat lama: sulit digeser, suka bicara soal “pengalaman panjang”, dan merasa paling paham arah perjuangan. Junior? Ya mirip rakyat jelata: disuruh iya, ngeluh salah.
Ada pepatah tak tertulis: jangan macam-macam sama senior kalau nggak mau disingkirkan. Kritik dianggap pembangkangan, inisiatif bisa dituduh kudeta kecil. Padahal katanya organisasi ini mengajarkan demokrasi, tapi praktik sehari-harinya lebih mirip feodalisme.
Kalau kamu tahan banting, mungkin bisa menikmati proses ini. Tapi kalau kamu mahasiswa idealis yang percaya pada kesetaraan, siap-siap kecewa. Bukannya belajar demokrasi, kamu malah belajar bagaimana tunduk pada kekuasaan. Ya mirip rakyat yang selalu diajak dengar pidato pejabat tentang keadilan, tapi giliran praktiknya: “Yang muda harus sabar, tunggu giliran.” Lah, kapan giliran itu datang? Bisa-bisa nunggu sampai pensiun.
Dan jangan heran, konflik internal akibat senioritas ini sering lebih panas daripada politik nasional. Ada “koalisi” antar senior, ada “oposisi” yang suka nyeletuk, ada pula yang main dua kaki demi selamat. Organisasi mahasiswa ekstra kampus benar-benar miniatur negara dengan segala dramanya.
3# Stempel ideologi organisasi mahasiswa ekstra kampus itu abadi
Begitu kamu gabung, stempel ideologi langsung menempel. “Oh, dia anak kiri, siap-siap ngomongin revolusi.” Atau, “Wah, itu anak kanan, pasti doyan bicara soal moral bangsa.” Padahal kamu masuk cuma karena pengin punya circle nongkrong baru.
Sayangnya, sekali dicap, sulit lepas. Sama kayak politik nasional: dukung kandidat A bisa dianggap musuh bebuyutan kandidat B. Padahal rakyat biasa cuma pengin harga beras turun, listrik nggak naik, dan internet tetap murah.
Akibatnya, hidupmu bisa repot. Di kampus, kamu dipandang dengan kacamata ideologis. Di luar kampus, stigma ikut terbawa. Ada mahasiswa yang gagal magang karena HRD tahu dia aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus tertentu. Alasannya, “Takutnya kamu lebih sibuk demo daripada kerja,” kata HRD dengan senyum kecut. Lah, niatnya belajar organisasi, ujung-ujungnya malah dianggap ancaman.
Polarisasi organisasi mahasiswa ekstra kampus ini persis polarisasi nasional: banyak bicara soal rakyat, tapi ujung-ujungnya sibuk mempertahankan label ideologis. Yang rugi? Kamu sendiri. Karena label itu nempel kayak tato, susah dihapus meski kamu sudah insaf.
4# IPK Jadi Korban = Rakyat Jadi Tumbal
Kalau negara sering bikin kebijakan yang rakyatnya jadi tumbal, organisasi ini pun begitu: anggotanya yang jadi korban. Kuliah terbengkalai, IPK anjlok, skripsi molor.
Pepatah organisasi mahasiswa ekstra kampus bilang, “Nilai bisa dicari, pengalaman nggak bisa dibeli.” Kedengarannya mulia, tapi realitasnya banyak anggota yang justru kesulitan lulus. Katanya membela rakyat, tapi dirinya sendiri belum bisa selamat dari DO.
Bukannya belajar manajemen waktu, malah belajar bagaimana mengorbankan semuanya demi rapat atau aksi. Sama kayak rakyat yang diminta rela berkorban demi pembangunan. Bedanya, pejabat masih bisa liburan ke luar negeri, sementara mahasiswa organisasi mahasiswa ekstra kampus liburannya cuma di sekretariat penuh spanduk usang.
Dan ironisnya, kalau kamu jatuh di tengah jalan—misalnya nilai jeblok atau gagal skripsi—organisasi nggak selalu peduli. Mereka tetap jalan, sementara kamu ditinggal. Sama persis kayak negara yang suka bilang “demi rakyat”, tapi giliran rakyat susah, dibilang kurang bersyukur.
Penutup
Jadi, kalau kamu maba yang lagi galau mau masuk organisasi mahasiswa ekstra kampus, pikirkan baik-baik. Organisasi ini memang bisa bikin kamu matang, tapi juga bisa bikin kamu tenggelam dalam drama tanpa ujung. Jangan sampai kamu masuk dengan mimpi jadi pahlawan mahasiswa, tapi keluar hanya sebagai cameo di drama politik kampus.
Ingat, skripsi saja sudah cukup menyiksa. Jangan sampai kamu menambah beban dengan jadi rakyat di negara kecil bernama organisasi mahasiswa ekstra kampus.
Penulis: Moh. Mudhoffar Abdul Hadi
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















