Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin semua orang dalam mengemukakan pendapatnya dan mengutarakan aspirasinya. Dalam tulisan ini saya akan menggunakan hak tersebut untuk memberikan pendapat terhadap aksi yang katanya damai pada tanggal 22 Mei. Kenapa sangat susah bagi kita untuk menerima aksi ini.
Sebelum itu, duka mendalam untuk para korban yang gugur dalam aksi ini. Semoga semua korban menghadap Tuhan dalam keadaan yang paling baik. Saya yakin semua masyarakat Indonesia tidak ingin ini hal ini terjadi.
Aksi pada tanggal 22 Mei ini dipicu oleh ketidak puasan salah satu pihak dengan hasil Pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU pada tanggal 21 Mei yang lalu. Dimana hasilnya memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf dengan keunggulan 55,50 persen suara.
Setelah diumumkan oleh KPU, kemudian berhembus tentang isu kecurangan yang dilakukan oleh kubu 01. Tuduhan ini dihembuskan oleh para pendukung 02. Isu kecurangan ini sebenarnya sudah dihembuskan kepada 01 sebelum KPU mengumumkan hasil resmi pemilu. Bahkan bisa dibilang jauh sebelum pemilu 17 April, isu kecurangan dengan narasi “Prabowo hanya bisa kalah dari kecurangan” sudah digaungkan.
Alih-alih memprotes keputusan KPU melalui jalan konstitusional, para elit dari kubu 02 malah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Mahkamah Konstitusi. Mereka tidak mau mengajukan sengketa pemilu ke MK karena tidak mempercayai independensi dari lembaga ini. Walaupun pada akhirnya Pak Prabowo mau membawa masalah ini ke MK—dan tentu saja hal tersebut patut diapresiasi.
Dikutip dari CNBC Indonesia, kerugian akibat aksi pada tanggal 22 Mei ini kurang lebih 1 Triliun – 1,5 Triliun. Hal itu karena ditutupnya Tanah Abang selama aksi berlangsung.
Saya setuju-setuju saja dengan aksi damai kedaulatan rakyat—atau apapun namanya. Dengan catatan kalau setelah mengajukan sengketa pemilu dan MK tidak memperdulikan kubu 02 walaupun misalnya mereka memberikan bukti-bukti yang kuat untuk menolak hasil pemilu. Tapi kalau misalnya kubu 02 tidak mampu membuktikan kecurangan yang terstruktur, sitstematis, dan massive seperti yang mereka tuduhkan, alangkah bijaknya jika mereka dengan legowo menerima keputusan pemilu oleh KPU.
Gini deh, saya kasih tahu tentang kisah dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang kehilangan baju besinya. Baju besi tersebut ternyata ditemukan oleh seorang Yahudi—catat: Yahudi—dan hendak menjualnya ke pasar. Ali kemudian mengetahui hal tersebut dan memintanya baju besinya untuk dikembalikan. Tapi orang Yahudi ini tidak mau mengembalikannya. Singkat cerita mereka akhirnya mereka pergi ke pengadilan. Hakim kemudian mempersilahkan Ali untuk membuktikan bahwa baju besi tersebut adalah miliknya tapi Ali tidak mampu membuktikannya. Ali pun kalah dalam pengadilan tersebut. Ali tetap menerima keputusan hakim walaupun dia adalah seorang khalifah dan baju besi itu tentu saja adalah miliknya.
Hal yang dapat kita petik dari kisah ini bahwa bahkan seorang khalifah, menantu Nabi Muhammad SAW, seorang yang hafal Quran, sama kedudukannya di depan hukum dengan seorang Yahudi sekalipun. Ketika tidak mampu membuktikan bahwa baju besi tersebut adalah miliknya, dia dengan ikhlas menerima keputusan hakim.
Saya kok tidak begitu mengerti apa defenisi dari aksi damai setelah melihat gerakan kedaulatan rakyat ini. Aksi damai tapi kok bawa bom molotov, bawa petasan, busur, bahkan ditemukan ada yang membawa senjata api. Berartikan memang ada niat untuk berbuat rusuh. Esensi aksi damai ini benar-benar hilang saat terjadi bentrok antara massa dan juga aparat yang bertugas.
Apalagi sampai melakukan pengrusakan fasilitas umum. Di dalam peperangan saja, Nabi Muhammad SAW bahkan melarang untuk membakar pohon yang tumbuh subur. Nabi melarang untuk melakukan kerusakan di muka bumi. Gerakan 22 Mei kemarin bahkan bukanlah sebuah perang, tapi yang dirusak itu sangatlah banyak. Mobil dibakar, Pos Polisi dibakar, Asrama Brimob diserang. Bahkan ada toko kelontong yang dijarah oleh massa aksi. Sangat jauh bila gerakan ini dikatakan gerakan bela Islam.
“Tapi kan semua itu perbuatan oknum”—kalau seperti itu, tidak perlulah kita ikut membaur dengan para perusuh ini. Sebaiknya menjauh kalau ada yang berbuat anarkis supaya bisa dibedakan. Gara-gara bajingan yang berbuat rusuh ini, orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban.
Menurut saya, gerakan ini sangat tidak perlu atau belum perlu dilakukan. Apalagi sampai mengorbankan nyawa. Sangat tidak sebanding dengan apa yang didapatkan. Tunggulah dulu keputusan MK nantinya. Kalau memang perlu, yah silahkan saja. Tapi tetap dilakukan tanpa aksi vandalisme.
Saya bisa saja salah melihat masalah ini—correct me if I am wrong. Tapi tentu saja dengan cara yang etis. Berikan argumen yang bisa dipahami. Jangan asal menuduh dan ngegas nggak jelas.
Lekas damai, Negeriku!