Kasus penganiayaan di Pondok Pesantren Tahfidz Al-Hanifiyah Kediri sedang menjadi sorotan. Korban sampai harus meregang nyawa akibat penganiayaan tersebut, namun pihak pesantren justru sempat menutupi hal tersebut dengan mengatakan korban meninggal akibat terpeleset di kamar mandi.
Perkara serupa sebelumnya juga sudah pernah terjadi pada 2022 silam di Pesantren Gontor. Ada seorang santri meninggal akibat penganiayaan di pondok pesantren, namun oleh pihak rumah sakit pesantren dinyatakan meninggal karena sakit.
Jika kita baca kesaksian ibunda korban yang meninggal di Pondok Pesantren Tahfidz Al-Hanifiyah itu, kita mungkin akan mendapati sejumlah potongan pesan singkat korban kepada ibunya untuk segera menjemputnya, tanpa memberikan alasan yang jelas. Hal tersebut sangat wajar, terlebih apabila ponsel yang digunakan adalah ponsel milik pihak pesantren.
Akses komunikasi yang terbatas dan hampir tanpa privasi itulah yang barang kali menyebabkan korban tidak mungkin bercerita secara gamblang tentang apa yang ia alami melalui pesan singkat. Dia mungkin berpikir bahwa akan ada risiko lebih buruk di depan jika ia kedapatan mengadu tentang penganiayaan tersebut kepada orang tuanya.
Bukan yang pertama
Dalam bentuk kekerasan yang lain, seperti kasus kekerasan seksual misalnya, upaya menutupi borok pesantren juga kerap kali terjadi. Misalnya di Pondok Pesantren Shiddiqiyah Jombang pada 2022 lalu. Penangkapan putra kiai yang juga pemerkosa itu berlangsung amat alot karena keluarga, santri serta masyarakat sekitar berbondong-bondong membela kebejatan pelaku.
Tabiat buruk ini perlu dilihat lebih jauh sebagai buah dari pohon feodalisme yang tumbuh di pesantren melalui pola relasi patron klien antara pengasuh dengan santri. Dalam hal ini, pengasuh pondok pesantren kerap kali dianggap sebagai pihak otoritatif yang tidak mungkin salah. Celakanya, hal ini tidak hanya berlaku dalam segi keilmuan, namun berlaku di hampir setiap sendi kehidupan santri.
Feodalisme ialah sistem sosial yang memberikan kekuasaan kepada golongan tertentu. Biasanya didasarkan kepada garis keturunan. Hal ini juga dipraktikkan di pesantren melalui bagaimana para kiai dan keluarganya dipersepsikan memiliki hak otoritatif atas hidup santrinya.
Seorang pengasuh pondok pesantren biasanya memiliki peran ganda. Yaitu sebagai pengajar yang perlu diteladani keilmuannya, dan pengasuh sebagai pimpinan pesantren yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan kegiatan pesantren. Hal ini menjadikan pengasuh pesantren memiliki kekuatan otoritatif yang besar di pesantren. Dan sebagaimana biasanya watak kekuasaan, bahwa semakin besar kekuasaan semakin rentan untuk disalahgunakan.
Di sisi lain, santri juga tidak dididik untuk kritis terhadap pendapat atau situasi relasi kuasa tersebut. Sebaliknya, narasi yang beredar kerap kali hanyalah mengelu-elukan jasa para pengasuh dan perlunya penghormatan besar kepada mereka. Tentu tidak salah menghormati seseorang yang telah membekali kita banyak ilmu. Tetapi akan menjadi masalah jika penghormatan tersebut beralih bentuk menjadi ketundukan mutlak, bahkan dalam perkara yang salah sekalipun.
Dimanfaatkan oleh oknum pondok pesantren
Ketidakmampuan para santri untuk berpikir kritis ini nyatanya dipupuk oleh pihak pondok pesantren supaya para santri dapat dimanipulasi sesuai keperluannya. Dalam contoh paling lumrah misalnya seperti mengarahkan suara para santri dan keluarganya untuk kepentingan politik praktis. Dalam versi lebih ekstrem, seperti yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyah Jombang, suara para santri dan keluarganya digunakan untuk menutupi kebejatan.
Perilaku-perilaku abusive yang kemudian ditutupi tersebut juga merupakan buah dari praktik feodal dengan dalih menjaga nama baik pesantren, meskipun itu seharga nyawa manusia. Akibat kekuasaan absolut para pengasuh itu pula lah, santri seolah menjadi pihak yang tak punya daya untuk mempertahankan dirinya bahkan nyawanya karena dari awal sudah didoktrin bahwa pendidikan di pesantren pasti benar dan tidak mungkin salah.
Semoga kejadian ini menjadi akhir dari budaya feodal pondok pesantren dan menyadarkan kita semua bahwa santri perlu diajarkan untuk berpikir kritis dan mandiri. Hal ini penting untuk mengembalikan marwah pesantren sebagai laboratorium ilmu agama produktif yang menghasilkan pemikir-pemikir, bukan pengekor-pengekor.
Orang tua santri juga harus berbenah dan bersikap kritis dalam memilah tempat belajar anaknya. Seyogyanya, tempat belajar dipilih bukan hanya karena nama besar kiai atau alasan non substansial lainnya. Tetapi lebih penting bagi orang tua untuk memastikan bahwa anaknya bisa iklim belajar yang kondusif.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gunung Es Praktik Kekerasan di Pondok Pesantren Modern
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.