Permasalahan terkait bagaimana keadilan restoratif digunakan untuk mengerdilkan kekerasan pria terhadap wanita bahkan sudah dibahas oleh para pakar. Allison Moris dalam jurnalnya, menekankan bahwa untuk keadilan restoratif dapat bekerja dalam kejahatan kekerasan pria terhadap wanita, pelaku harus meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan korban serta keluarga. Namun, hal ini tidak membuat proses peradilan pidana dikesampingkan karena bagi Morrison, mereka tetaplah panglimanya dalam menyelesaikan kasus kekerasan pria terhadap wanita.
Bukan cuma mengkhianati semangat keadilan restoratif, penyelesaian kasus pemerkosaan dengan menikahkan pelaku juga bertentangan dengan semangat peraturan perundang-undangan mengenai keadilan restoratif. Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 telah mensyaratkan tidak timbulnya penolakan atau keresahan di masyarakat sebagai syarat materiil dilaksanakannya keadilan restoratif. Bahkan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 lebih jelas memberikan syarat bahwa ancaman pidana penjara terhadap kejahatan tersebut di bawah 5 tahun sebagai syarat dilakukan penutupan perkara menggunakan metode keadilan restoratif.
Pertama, kasus pemerkosaan merupakan kejahatan yang diancam 12 tahun penjara oleh Pasal 285 KUHP. Bukan lagi tidak memenuhi syarat termaktub dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Agung, pemerkosaan termasuk dalam golongan kejahatan diancam pidana berat di KUHP. Menganggap bahwa pemerkosaan bisa diselesaikan dengan menikahkan pelaku sama saja mengerdilkan kejinya kejahatan tersebut. Itu seperti bilang bahwa perampok bersenjata bisa dibebaskan dan dimaafkan jika dia mau tinggal bersama korban yang dirampoknya.
Kedua, masyarakat tak pernah diberikan akses terhadap perkembangan kasus pemerkosaan yang sering dipaksakan untuk diselesaikan lewat jalur keadilan restoratif. Padahal tidak adanya penolakan masyarakat menjadi salah satu syarat terpenting dalam dijalankannya keadilan restoratif. Apalagi mengingat bahwa jika masyarakat merasa pelaku belum meminta maaf secara sungguh-sungguh dan mengoreksi pola pikir yang membuatnya melakukan kejahatan keji tersebut, hal tersebut akan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Saya rasa, kita semua punya kepentingan untuk memastikan bahwa pelaku tidak lagi mencoba mengulangi kejahatannya. Maksudnya siapa yang senang melihat pemerkosa hidup bebas dan bercengkerama dengan orang lain tanpa ada rasa bersalah.
Namun, saat semua teori mengenai keadilan restoratif mengedepankan dialog antara korban, pelaku, keluarga kedua belah pihak, dan komunitas, penegak hukum malah berpikiran bahwa merekalah penentu utama akan berhasilnya keberlangsungan proses ini. Padahal inti utama dari keadilan restoratif adalah keterlibatan aktif korban dan masyarakat. Sekarang dengan diceraikan korban oleh pelaku, tercipta pertanyaan besar terkait keefektifan “keadilan restoratif ala penegak hukum Indonesia” dalam menangani kasus pemerkosaan. Jangan sampai bukan keadilan yang dicari, tapi malah cuma harmoni semu dan pencitraan akan ketentraman masyarakat.
Maka solusi paling tepat dalam menyelesaikan kasus pemerkosaan menurut saya adalah tetap dengan dilanjutkan ke ranah peradilan pidana dan penjatuhan pidana penjara. Di saat bersamaan, hakim dapat mempertimbangkan keringanan hukuman bagi pelaku jika dirinya mau melakukan dialog dengan korban dan meminta maaf secara langsung di depan umum. Mengutip pakar kriminologi Kathleen Daly, keadilan restoratif harus dipahami sebagai hukuman alternatif, bukan alternatif dari hukuman. Bahwa hukuman pidana bukan sesuatu yang harus dihindari dari keadilan restoratif, tetapi harus dilihat sebagai salah satu cara merestorasi rasa keadilan yang tercederai.
Dalam pemerkosaan, kerugian terbesar dari korban adalah hilangnya martabat dan kendali korban atas tubuhnya. Hal yang tak bisa digantikan dengan uang makan dari suami, tetapi lewat permintaan maaf ke korban, pengakuan akan kesalahannya secara terbuka dan rehabilitasi pelaku agar tak mengulangi perbuatannya. Jadi jangan pikir bahwa pemerkosa bisa terus bekerja dan bebas bersosialisasi merupakan bentuk keadilan restoratif. Sebab, akan jadi pertanyaan rasa keadilan siapa yang dipulihkan? Korban, masyarakat, atau jangan-jangan cuma pelaku?
Penulis: Raynal Payuk
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pemerkosaan: Mengutuk Pelakunya, Membongkar Akarnya