Rumah saya di Boyolali dan kuliah di Yogyakarta. Penginnya naik sepeda motor saja, la wong cuma dua jam. Sayangnya, sampai sekarang belum punya, jadi terpaksa naik bis ke Solo dilanjutkan naik kereta sampai Yogyakarta.
Sebelumnya, hampir empat tahun saya bolak-balik naik bis jurusan Solo-Yogyakarta. Keputusan naik kereta berawal dari ketidakbetahan saya dengan kepenatan suasana di dalam bis. Bis ekonomi jurusan Solo-Yogyakarta kan suka banget mengisi penuh ruang yang ada. Beneran lo, saya sering sesak.
Bukan hanya itu, terkadang bis yang saya tumpangi, berhenti banyak kali dengan laju yang segitu-segitu saja. Perjalanan Solo-Yogyakarta atau sebaliknya, bisa lo sampai tiga atau empat jam. Saya tidak bohong. Kejadian itu pernah saya alami. Rasanya pengin tak pisuhi sopirnya. Tapi saya ingat diri, siapa to saya ini? Cuma penumpang yang banyak bacot. Biarin dong, ya~
Belum lagi kalau ada pedagang asongan yang memaksa masuk, meskipun kondisinya ra masok. Dalam keadaan yang sesak, pedagang asongan kan sebenarnya gak leluasa menawarkan dagangannya. Saya sih yakin, cara kerja tersebut tidak efektif. Inget lo, memaksakan secara berlebih itu nggak baik. Tapi, saya mahfum kok, memang kebutuhannya seperti itu. Ya sudah, saya menghela napas panjang-panjang saja.
Ketika pedagang asongan sudah turun, naiklah para pengamen. Saya pikir, merekalah penyelamat hidup penumpang. Lagu-lagu yang mereka bawakan membuat pikiran kami sedikit mengendur dari kepenatan. Kami pun serasa mendapat udara segar.
Kamu pasti mengerti. Di dalam bis tanpa AC seperti ini, apa yang lebih segar dibandingkan dengan lagu-lagu pengamen? Udara di luar bis sudah terlanjur busuk. Polusi oh polisi polusi~
Saya masih ingat, pengamen-pengamen tersebut tampil dengan beragam alat pengiring. Kebanyakan pengamen adalah pria yang sendirian dengan gitar akustik. Lagu-lagu yang dibawakan biasanya lagu-lagu pop mellow pujaan para gadis.
Lain waktu, terkadang datang pengamen rombongan. Personilnya mulai dari tiga sampai lima orang. Alat yang dimainkan biasanya kentrung, kendang yang dibuat dari paralon dan karet ban, serta icik-icik dari tutup botol. Pengamen-pengamen seperti ini biasanya membawakan lagu-lagu “Ngamen” dengan berbagai angka versi yang mengikutinya.
Di samping itu, ada dua tipe pengamen yang benar-benar masih saya ingat. Pertama, seorang bapak-bapak dengan gitar dan harmonika. Seingat saya, harmonika yang dimainkannya dikalungkan di leher, sehingga ia pun fasih memainkan dua alat bersamaan. Lagu-lagu yang dibawakan bapak ini, semuanya lagu-lagu Iwan Fals. Lengkap dengan peniruan suara dan gaya bermainnya. Kalau ketemu pengamen ini, saya pasti ngasih lebih.
Kedua, pengamen, siapa pun dan dalam format yang bagaimana pun, yang menyanyikan lagu “Ngamen 6”. Judul ini saya dapat dari google. Meskipun baru tahu ketika menulis tulisan ini, ingatan saya tentang lagu tersebut masih begitu hangat. Kamu pasti tidak luput mendengarnya ketika sempat menaiki bis jurusan Solo-Yogyakarta ataupun sebaliknya.
Lagu ini naik daun sejak 2011 dan dipoluperkan oleh Eny Sagita. Saya masih mengingatnya, karena ketika ada yang menyanyikan lagu tersebut, saya langsung pura-pura tidur. Jujur saja, saya tidak suka dengan lagu ini. Apalagi ketika dinyanyikan oleh beberapa pengamen yang kreatif. Liriknya diganti-ganti seenaknya sendiri.
Untuk menyegarkan ingatan saya, ingatanmu, dan ingatan tentang kita begini kira-kira lirik lagu “Ngamen 6” tersebut.
moto merem raiso melek jarene keno belek
sekolahe dhuwur dhuwur nyambut gawe pancen angel
jebul malah ngamen
ono kadal jare tekek tangine merem melek
simbah lagi menek e kathoke suwek
tak rewangi golek recek, golek duwek soko cepek
jebul malah dinyek
Jika diperhatikan, sebenarnya tidak ada yang menyakitkan hati. Malahan, lirik lagu tersebut memotret fenomena-fenomena yang masih aktual sampai hari ini. Tidak jarang kan kita melihat mahasiswa-mahasiswa ngamen untuk memenuhi kebutuhan makan atau dalam rangka usaha dana sebuah acara.
Sayangnya, ngamen ini masih saja dianggap sebagai pekerjaan yang berkelas rendah. Padahal, yang terpenting kan halalan toyiban. Bukankah tuntutan kita setelah belajar adalah bekerja? Karena dianggap rendah, akhirnya tidak jarang orang-orang memberi upah rendah pada pekerjaan ini. Hal tersebut dapat dibaca dalam lirik lanjutan berikut ini.
pakde mbokde sampeyan opo ngeyek
kulo ngamen ditanggap dudo tuwek
matur suwun diparingi cepek
nopo maleh gambar kethek rambute entek
pakde mbokde sampeyan opo ndelok
kulo ngamen ditanggap bakul klopo
matur suwun diparingi dungo
nopo maleh dipek mantu putumu sing joko
Saya mengerti, pasti sedikit sakit hati ketika sudah menyanyi dengan begitu gembira, eh kok cuma dikasih doa. Bukannya tidak mensyukuri nikmatnya didoakan. Tapi, kan, yang lebih dibutuhkan mereka itu uang. Kebutuhan keluarganya kan tidak selesai dengan nerima dan berdoa saja.
Saya sebagai penumpang bis yang ketar-ketir dengan tingkah sopir, terkadang kok, ya, suka gak nyaman kalau dinyanyikan lagu tersebut. Selain khawatir dengan masa depan saya setelah sekolah tinggi dan ingat kemiskinan hidup ini, saya mengingat akhir lagu tersebut. Lirik terakhir yang kalau iseng, pengamennya suka mengganti-ganti sesuka hati. Berikut ini liriknya.
sing maringi tak dongakno slamet
sing ora maringi tak dongakno pilek
sing etok etok turu tak dongakno lemu koyok sapiku
Saya sih tidak masalah kalau didoakan pilek. Menjengkelkannya itu akhir lirik ini biasanya ditekankan berlebihan untuk memberi peringatan kepada penumpang. Kalau begini, kesannya kan malah jadi maksa.
Lebih menjengkelkannya lagi, kalau sudah diganti-ganti. Seperti ini misalnya, sing maringi tak dongakno slamet, sing ora maringi tak dongakno ra slamet. Sedih, nggak, sih, didoakan seperti itu? Saya kan pengin menghilangkan kepenatan, kok malah tambah tidak menyenangkan?
Tapi, hari ini, setelah lama tidak naik bis jurusan Solo-Yogyakarta, saya kangen lagu tersebut. Lagunya lo, bukan doanya. Kalau doa mah, saya kangen didoakan ibu biar nikahnya sama kamu. Yihaaa~