Pada suatu hari setelah jogging pagi, tiba-tiba saya merasakan tatapan penuh selidik dari teman saya. Saat saya tanya kenapa dia memandang wajah saya sampai segitunya, dia bilang kulit saya eksotis: selera bule. Saya heran sebab waktu itu wajah saya penuh keringat karena kepanasan dan sudah tertempel asap-asap knalpot kendaraan ibukota.
Oh iya, bule yang diomongin di sini merujuk pada orang kulit putih. Sementara eksotis diidentikkan dengan kulit kecokelatan. Saya paham maksud dia karena memang saya sudah sering dengar komentar beberapa orang Indonesia yang bilang kalau bule suka orang-orang Indonesia yang kulitnya sawo matang, kayak Anggun, Farah Quinn, Shanty, sama Indah Kalalo. Tapi kalau dibanding mereka, saya hanya remahan rengginang. Jadi, saya nggak nganggep diri sendiri selera bule. Lagian nggak ada bule yang ngomong gitu ke saya. Hahaha.
Nah, selain dikatain selera bule, saya dulu juga diejek saudara kalau muka saya kayak “bibi bibi”. Sebab, raut muka saya katanya melas dan buluk. Ibu saya juga waktu lihat berita tentang Cinta Laura di TV tiba-tiba tanya apa dulu ibu Cinta jadi TKW jadi bisa ketemu bapaknya Cinta yang orang bule Jerman? Padahal, mah, ibu Cinta lawyer. Ada suatu kepercayaan bahwa bule memang suka perempuan yang punya “muka pembokat”. Saya jadi mikir, ketika orang bilang saya selera bule, apakah maksud mereka saya punya wajah… anu.
Dulu disebut punya wajah kayak “bibi bibi” memang mengesalkan buat saya. Tapi semakin saya dewasa, saya tidak terlalu ambil pusing karena toh bukan masalah jika disamakan dengan pekerja domestik karena mereka pekerja keras. Salut loh, sama mereka. Kalau saya pikir-pikir, anggapan orang bahwa bule suka muka pembantu masuk akal juga, terutama kalau dilihat dari segi pengetahuannya. Pahlawan devisa kita yang kerja di luar negeri pasti menguasai beberapa bahasa asing. Jadi mungkin karena alasan inilah ada beberapa mantan TKW yang menikah sama orang luar.
Selain itu, saya juga nggak masalah kalau dikatain item. Kan saya orang Indonesia, tinggal di Asia Tenggara. Tentu saja, melanin di kulit emang lebih banyak buat melindungi diri dari paparan sinar matahari. Jadi, cukup syukuri saja pemberian Tuhan….
Perspektif orang Indonesia secara general yang menganggap gen bule itu superior, dikatain jadi selera mereka, memang bisa dianggap sebagai pujian. Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya ada hinaan terselubung. Sebab pada dasarnya, masih ada beberapa orang Indonesia yang menganggap pembantu dan pengasuh itu pekerjaan rendahan, kulit putih itu lebih cantik daripada kulit gelap, apalagi kalau ditambahin embel-embel “nanti bisa memperbaiki keturunan”. Hello…emang ada yang salah dengan orang Indonesia? Kok sampai butuh bule buat “memperbaiki keturunan?”
Saya akui anak-anak blasteran ini emang cakep banget kalau menurut standar kecantikan Indonesia. Putih, tinggi, hidung mancung, dan pasti banyak yang nawarin jadi model atau bintang TV. Ya bolehlah mengangumi orang-orang ini. Tapi ya, jangan minder-minder banget gitu lo.
Inferiority complex ini sangat disayangkan. Saya sedih karena masih ada orang-orang Indonesia yang menganggap dirinya sendiri rendah. 74 tahun Indonesia merdeka ternyata kita masih belum benar-benar bisa memerdekakan diri dari pola pikir warisan kolonial Belanda. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda melakukan segregasi masyarakat Hindia Belanda dengan menjadikan orang keturunan Eropa kulit putih sebagai masyarakat kelas atas, sementara pribumi di tingkat yang paling bawah.
Akibat mentalitas “memperbaiki keturunan” ini, takutnya entar ada bule yang besar kepala terus nanti kepolosan kita dimanfaatin sama bule-bule yang niatnya nggak baik. Kalau nfgak percaya, cek atuh di forum-forum expat di internet. Katanya, orang Indonesia terobsesi sama bule, jadi gampang didapetinnya.
Oleh karena itu bagi saya, dikatain sebagai selera bule, biasa aja sih. Maksudnya, nggak ada feadahnya buat saya karena mencari pasangan hidup yang penting baik kepribadiannya dan asal dapat hidup berbahagia. Nggak peduli dari negara mana. Buat orang-orang yang menganggap itu pujian, ya monggo. Boleh-boleh saja. Akan tetapi, tetap berbanggalah dan cintailah diri sendiri. Bukan karena kehadiran bule terus kita baru bisa menganggap diri kita bernilai.
BACA JUGA Asal-Usul Kata Bule Konon Dimulai dari Bule Itu Sendiri atau tulisan Era Yusnita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.