Budaya Pati kaya raya, tapi nggak dijual
Kabupaten Pati punya Batik Bakaran yang keren, punya wayang krucil yang unik, punya sego gandul yang menggoda. Tapi sayangnya, semua itu seperti mantan yang cakep tapi nggak pede. Belum dipoles, belum ditawarkan ke dunia luar, belum dibranding.
Kudus punya Festival Jenang, Jepara punya Festival Kartini. Tapi, lihat Pati. Festivalnya kadang mendadak, kadang tanpa narasi, kadang cuma jadi ajang lomba selfie. Budaya kita dibiarin nganggur padahal bisa jadi devisa.
Pati tertinggal itu hasil, bukan nasib
Kalau dibilang Kabupaten Pati tertinggal, ya iya. Tapi tertinggal itu bukan nasib, itu hasil. Hasil dari kelamaan nyaman, dari terlalu hati-hati, dan dari sering merasa cukup padahal ketinggalan. Pati itu seperti siswa pintar yang dulunya juara kelas, tapi sekarang nggak ikut lomba, nggak ikut pelatihan, kerjaannya cuma ngeluh temen-temennya kok udah punya startup.
Saya nulis ini bukan buat nyalahin siapa-siapa. Tapi kadang, kritik yang jujur lebih baik daripada tepuk tangan palsu. Pati nggak butuh dibela, Pati butuh digerakkan. Bukan cuma dari atas, tapi juga dari bawah. Bukan cuma dari pemerintah, tapi juga dari rakyat.
Sebab, pembangunan bukan cuma soal bangunan, tapi soal arah dan keberanian buat melangkah. Kalau terus begini, kita cuma akan jadi kabupaten nostalgia—tempat yang dulu pernah jadi pusat, tapi sekarang cuma bisa bangga lewat kenangan.
Yuk, jangan cuma cinta Pati di caption medsos. Cinta yang sesungguhnya itu kerja nyata, bukan sekadar #BanggaPati.
Penulis: Ali Achmadi
Editor: Rizky Prasetya




















